Blog yang berisi catatan-catatan singkat dan sederhana. Mencoba menangkap dan menulis pesan bijak dari berbagai sumber.

About

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 27 Juli 2014

Dewa Laut, Kamp NAZI dan Catatan Ketidakberdayaan

Sumber gambar: vectorstock.com
           Dalam mitologi Yunani, Poseidon dikenal sebagai dewa penguasa laut, sungai dan danau. Kita juga pernah mendengar atau dikenalkan dengan Dewa Neptunus. Nah, Dewa dalam mitologi Romawi ini mempunyai tugas yang sama dengan Poseidon. Tapi sesungguhnya Neptunus adalah padanan Poseidon. Saudara Zeus, Dewa tertinggi dalam Mitologi Yunani ini memiliki senjata berupa trisula yang bisa menyebabkan banjir dan gempa bumi. Ia juga memiliki kendaraan yang ditarik oleh makhluk setengah kuda setengah ikan, yang disebut Hippokampos
            Dalam film Clash of the titans (2010) dan sekuelnya Wrath of The Titans (2012), sedikit banyak kita disuguhkan dengan kehidupan para Dewa dalam mitologi Yunani. Tiga bersaudara Zeus, Poseidon dan Hades (penguasa Neraka) dikisahkan dalam film Box Office ini. Juga tentang anak-anak mereka yaitu Ares dan Perseus. Dalam Wrats of Titans, Poseidon dan Zeus terbunuh, lalu Hades menjadi manusia biasa. Kejadian ini sekaligus mengakhiri rezim para dewa di maya pada. 
          Dalam tulisan ini, yang Saya maksud dengan Poseidon bukanlah Dewa Laut dalam mitologi Yunani. Tapi tentang kisah sebuah kapal pesiar berukuran besar dan mewah, yang diberi nama Poseidon. Oh iya, ini juga sekaligus nama sebuah Film yang berkisah tentang kapal ini. Poseidon dirancang dengan menggunakan teknologi super canggih dan mampu berlayar dalam kondisi cuaca buruk. Poseidon juga layaknya sebuah hotel berbintang lima. 
       Tulisan yang berjudul Poseidon Tragedi Titanic II dalam dreamscometrue.0catch.com menjelaskan bahwa Film yang disutradarai Wolfgang Petersen ini diperankan oleh beberapa tokoh utama.Seorang penjudi dan mantan anggota AL AS bernama John Dylan (Josh Lucas), mantan walikota new york (Kurt Russel), putrinya (Emmy Rosum) dan tunangannya (Mike Vogel). Ketika menikmati suasana pergantian tahun, mendadak datang gelombang besar yang menghantam kapal. Banyak kru dan penumpang menjadi korban. Hanya sedikit yang hidup dan mereka bertahan diruang ballroom utama. 
       Meski kapten kapal sudah meminta agar para penumpang jangan meninggalkan tempat, ada sebagian yang menentang. Seperti sang mantan walikota yang bersikeras mencari putrinya, serta Dylan diikuti kenalannya (Jacinda Barret), putranya (Jimmy Bannet), dan satu penumpang lain (Richard Dreyfuss)
     Saat kapal di ambang kehancuran, hanya merekalah yang masih bertahan hidup. Menghadapi marabahaya yang datang silih berganti, dipimpin oleh Dylan mereka berusaha mencari jalan keluar lewat baling-baling kapal. Satu per satu ruangan pun dijelajahi demi menghindari terjangan air maupun ledakan gas sekaligus menuju palka. Sampai akhirnya mereka selamat keluar dari kapal.
       Yang kadang menjadi pertanyaan adalah mengapa ada orang atau beberapa orang yang tidak mau berbuat atau menyerah dan pasrah saja menerima keadaan? Tak mau berjuang atau tak mau menempuh daya upaya untuk membebaskan diri dari situasi yang tidak menguntungkan? Mengapa mereka membiarkan dirinya dalam ketidakberdayaan? 
       Selain kisah Poseidon diatas contoh yang paling dramatis bisa dipetik dari pengalaman-pengalaman Victor Frankl, yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi dan menjadi salah satu psikolog terkemuka abad ini. Dalam bukunya, Man’s Search for Meaning, Frankl melukiskan saat banyak narapidana menjadi tidak berdaya. Di sebuah kamp, sewaktu para narapidana baru masuk, si penjaga berpaling kepada mereka dan mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan kamp tersebut. Menurut Frankl, orang-orang yang yakin dengan kata-kata penjaga tersebut tidak berapa lama kemudian meninggal. Diantara para narapidana yang tidak terbunuh, yang menolak ramalan buruk si penjaga dan mempertahankan suatu keyakinan bahwa “situasi ini akan segera berlalu” bertahan hidup. Namun, ketika narapidana itu tidak dapat bangun dari ranjangnya, diapun kehilangan harapan. Dan itu menjadi hari kematiannya. 
       Paul G. Stolz, dalam bukunya yang berjudul Adversity Quotient menjelaskan secara detail tentang ketidakberdayaan ini. Stolz menceritakan eksperimen Martin Selingman, saat menjadi mahasiswa pascasarjana di University of Pennsylvania, yang menghasilkan salah satu terobosan penting dalam bidang psikologi manusia. 
         Setelah mengamati sejumlah eksperimen dimana beberapa ekor anjing menerima sebuah kejutan listrik, Dr. Selingman melihat bahwa beberapa diantara anjing itu sama sekali tidak bereaksi. Mereka hanya telentang dan menahan penderitaannya. Pada waktu itu, belum ada teori dibidang psikologi yang bisa menjelaskan perilaku ini. 
        Selingman menciptakan eksperimen dua tahap yang cerdik untuk menentukan mengapa ada anjing-anjing yang langsung menyerah. Dalam tahap pertama, anjing-anjing di grup A dipasangi pakaian kuda dan mendapat kejutan ringan.Mereka bisa menghentikan kejutan dengan menekan sebuah palang dengan hidung mereka, dan segera mereka belajar melakukan hal ini. Anjing-anjing grup B diberi pakaian yang serupa dan mendapat kejutan yang sama, tetapi tidak diberi suatu cara untuk menghentikan kejutannya. Anjing-anjing itu menerima saja penderitaannya. Grup C disebut grup pengontrol. Anjing-anjingnya dipasangi pakaian kuda dan tidak mendapat sengatan listrik. 
         Hari berikutnya, Selingman melakukan eksperimen Tahap Kedua. Satu demi satu, ia menaruh semua anjing itu ke dalam alat yang disebutnya kotak ulang-alik, sebuah kotak dengan palang rendah ditengahnya. Setiap anjing ditempatkan disatu sisi, tempat anjing itu mendapat sengatan listrik ringan. Yang perlu dilakukan untuk menghentikan sengatannya adalah melompati palang menuju sisi yang lain. 
      Anjing-anjing grup A (Anjing-anjing yang bisa mengendalikan sengatan listrik) dan anjing-anjing kelompok C (yang tidak mendapat sengatan) dengan cepat mengetahui bagaimana meloncati palangnya dan menjauhi tempat yang tidak menyenangkan itu.Tetapi anjing-anjing yang tidak dapat mengendalikan sengatan dalam Tahap Pertama mempunyai respon yang berbeda.Mereka hanya telentang dan mendengking-dengking.Mereka tidak mencoba untuk melarikan diri.
          Apa yang ditemukan oleh Selingman dan peneliti-peneliti lainnya memperlihatkan bahwa anjing-anjing itu telah belajar untuk menjadi tidak berdaya, suatu perilaku yang praktis menghancurkan dorongan mereka untuk bertindak. Ilmuwan-ilmuwan kemudian menemukan bahwa kucing, anjing, ikan, kecoa, tikus rumah dan manusia-manusia semuanya mempunyai kemampuan untuk mempelajari ciri ini. Ketidakberdayaan yang dipelajari itu menginternalisasi keyakinan bahwa apa yang Anda kerjakan tidak ada manfaatnya. Hal ini melenyapkan kemampuan seseorang untuk memegang kendali. 
        Namun, setelah diilhami oleh terobosan yang dilakukan Selingman, para ilmuwan tidak puas hanya mengetahui bagaimana binatang-binatang mempelajari ketidakberdayaan itu.Ratusan penelitian kemudian dilakukan. Pakar-pakar kelas wahid dalam bidang ini adalah Martin Selingman, Chris Peterson, Steven Maier, bersama-sama mereka mengarang sebuah tinjauan yang paling lengkap tentang riset dalam tentang teori Learned Helplessness. 
         Dalam salah satu eksperimen dengan manusia mengenai ketidakberdayaan yang dipelajari itu, Donald Hiroto, seorang mahasiswa pascasarjana di University of Oregon, menempatkan sekelompok orang di sebuah ruangan dan memperdengarkan suatu suara yang besar sekali. Ia kemudian menugaskan mereka untuk mempelajari bagaimana menghentikan suara itu. Mereka mencoba setiap kombinasi tombol di panel yang terdapat di ujung jari-jari mereka, tetapi suara itu tidak bisa dihentikan. Kelompok lain dapat menghentikan suara itu dengan memencet kombinasi tombol-tombol yang tepat. Pada kelompok yang lainnya lagi suara keras itu tidak diperdengarkan sama sekali. 
       Sama dengan anjing-anjing itu, Hiroto kemudian membawa subyek-subyek eksperimennya ke sebuah ruangan dimana ia menempatkan tangan-tangan mereka, satu demi satu ke dalam sebuah kotak ulang-alik. Apabila mereka meletakkan tangannya di salah satu sisi kotak, suara ribut itu terdengar. Apabila mereka menggerakkan tangannya ke sisi yang lain, suara itu akan berhenti. 
       Meskipun waktu, tempat dan situasinya telah diubah, mayoritas orang yang tadinya mendengar suara yang tidak dapat dihentikan akan duduk-duduk saja. Seperti anjing-anjing tadi, mereka bahkan tidak mencoba untuk mengakhiri penderitaannya. Orang-orang yang tadinya bisa mengendalikan suara itu belajar mematikannya dengan menggerak-gerakkan tangan mereka di dalam kotak ulang-alik itu.
       Hasil-hasil serupa telah dicapai dalam eksperimen-eksperimen yang berkaitan. Howard Tennan dan Sandra Eller dari The State University of New York di Albany, misalnya, telah melakukan sebuah penelitian dengan 49 mahasiswa.Mereka membuktikan bahwa orang yang diajar menjadi tidak berdaya dengan diberi teka-teki yang tidak dapat dipecahkan. Belakangan, mereka yang menjadi tidak berdaya menghasilkan kinerja yang buruk dibandingkan dengan kelompok control yang diberi teka-teki yang bisa dipecahkan.
      Ketidakberdayaan yang dipelajari itu menyangkut hilangnya kemampuan mengendalikan peristiwa-peristiwa yang sulit. Seperti kisah dalam kamp konsentrasi NAZI dan sebagian besar penumpang yang pasrah menerima keadaan dalam kapal Poseidon. 
      Terhadap masalah ini, Stoltz paling tidak punya tiga catatan. Pertama, Hambatan Definitif terhadap Pemberdayaan. Kita harus mengetahui pentingnya seseorang memiliki kekuatan. Anak-anak diharapkan memiliki kekuatan untuk mengatakan “tidak” pada obat-obat terlarang, seks, dan situasi-situasi yang merusak. Orang tua perlu diberdayakan demi kepentingan anak-anak mereka; menjaga rumah tangga yang sehat dan penuh kasih; dan membimbing perkembangan anak-anak. Pemimpin-pemimpin perusahaan harus diberdayakan supaya bisa mengatasi kesulitan yang mereka hadapi dari segala sisi setiap harinya.Anda harus diberdayakan supaya bisa melanjutkan pendakian anda.
       Kedua, Memupuk Rasa Tidak Berdaya dalam Diri Orang lain. Grace Ferrari, seorang dosen komunikasi massa di Quinnipiac College melakukan penelitian terhadap isi siaran-siaran berita local dan efeknya pada masyarakat. Penelitiannya mengungkapkan bahwa 71% isi berita menimbulkan sikap tak berdaya.Contohnya adalah keluhan seorang korban yang tidak berdaya menyelamatkan diri dari tangan seorang pemerkosa, atau sepasang suami-istri yang lengah sejenak dan kehilangan anaknya. Hanya 12% dari berita-berita tersebut yang menunjukkan kendali atas situasi yang dihadapi.Inilah situasi-situasi dimana usaha mendatangkan hasil. 
         Ketiga, Imunisasi terhadap Keputusasaan. Dalam penelitiannya, Dr. Selingman menemukan bahwa meskipun sebagian besar anjing belajar menjadi tidak berdaya, beberapa anjing tidak dapat diajarkan untuk mengikuti pelajaran yang melumpuhkan ini. Entah bagaimana mereka telah menjadi kebal. Selingman menyelidiki apa yang membuat mereka berbeda dan menemukan bahwa pada awal kehidupannya, mereka memang telah diajarkan tindakan-tindakan yang berbeda. Sebagai hasilnya, mereka kan terus berusaha setelah anjing-anjing lain menyerah. Bahkan mereka tidak akan pernah berhenti berusaha! 
        Lawan dari ketidakberdayaan adalah pemberdayaan. Secara sederhana, Stolz menyebut orang-orang yang memiliki daya ini dengan sebutan Climbers. Yaitu orang-orang yang membaktikan dirinya pada pendakian.Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik, dia terus mendaki. “Dia seperti kelinci pada iklan baterai Energizer di pegunungan. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah, membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental atau hambatan lainnya menghalangi Pendakiannya”. Tegas Stolz.

Rabu, 09 Juli 2014

Strategi Perang NAZI pada Laga Jerman VS Brazil

Sumber gambar: learnfromwar.blogspot.com
          Cepat...! cepat...! Teriak komandan pasukan NAZI Jerman. Pada saat itu pula, tentara NAZI bergerak dengan cepat, bersama kendaraan perang mereka yang terdiri dari motor, panzer dan kendaraan lapis baja pendukung. Sementara dari angkasa, pesawat pembom Jerman terus menjatuhkan berton-ton bom kearah sasaran. Pasukan itu sangat terorganisir dan bergerak sangat cepat sesuai perintah. Jerman sedang menggunakan Bliztkrieg, strategi perang kilat di Perang Dunia II. Strategi perang ini sangat efektif. Negara-negara Skandinavia, Belanda, Belgia sampai akhirnya Prancis, dapat dicaplok hanya dalam waktu kurang dari setahun. 
          Kecepatan serangan Jerman sangat luar biasa. Pasukan sekutu dibuat panik. Eko Laksono dalam bukunya yang berjudul Imperium III, menulis: “Pasukan Sekutu, terutama dari Inggris yang ada di daratan Eropa, melarikan diri dari kejaran mesin-mesin perang Jerman yang berkekuatan besar. Dan, pada Juni 1940, lebih dari 360 ribu pasukan sekutu terperangkap di tepi laut Dunkirk, utara Perancis, dipinggir selat yang memisahkan Prancis dan Inggris. Dalam situasi yang menegangkan dengan pasukan Jerman yang makin mendekat, ribuan kapal -termasuk perahu-perahu kecil nelayan- digunakan untuk menyeberangkan mereka semua ke Inggris. Berbagai senjata, perlengkapan, dan kendaraan tempur ditinggalkan begitu saja dipinggir pantai. Prancis sudah menyerah, lalu Hitler berfoto di Menara Eiffel bersama pasukannya. Inggris sekarang sendirian. Hitler segera mempersiapkan rencana untuk menjajah bangsa Inggris”
        Panik! Ada apa dengan panik? Dalam Kamus Bahasa Indonesia, panik diartikan sebagai bingung, gugup, atau takut dengan mendadak (sehingga tidak dapat berpikir dengan tenang). Agak sedikit gamblang, shvoong.com mendefinisikan Panik sebagai sebuah perasaan yang luar biasa dari ketakutan dan kecemasan. Merupakan sensasi tiba-tiba yang menyebabkan ketakutan yang begitu kuat yang mendominasi atau mencegah akal dan pemikiran logis, menggantinya dengan perasaan luar biasa dari kecemasan dan agitasi panik konsisten dengan reaksi fight-or-flight kebinatangan. Panik dapat terjadi pada individu tunggal atau nyata tiba-tiba dalam kelompok besar sebagai kepanikan massal (terkait erat dengan perilaku kawanan).
          Menurut beberapa ahli, sebagaimana dijelaskan dalam situs Psikologi Zone, panik terjadi secara tiba-tiba, emosional tinggi, tidak rasional, respon yang kacau. Semua itu terjadi ketika menghadapi ancaman langsung, berat serta tidak ada jalan keluar. Panik mungkin adalah sebuah reaksi dari sejumlah orang yang bertindak secara individu kemudian mempengaruhi secara parallel. Oh Iya, dalam tulisan ini Saya menggunakan kata panik sebatas pada kejadian yang terjadi secara tiba-tiba, emosional tinggi, tidak rasional, kehilangan fokus dan respon yang kacau. Maksudku seperti kejadian yang dialami oleh Brazil dalam pertandingan semifinal semalam. 
        Permainan sepak bola ala tari Samba yang biasanya dimainkan dengan gaya yang indah, tehnik mengolah bola yang sangat lihai, lengket di kaki, digiring meliuk-liuk, melewati pemain lawan, menjadi tak berdaya dihadapan Der Panzer Jerman. Brazil kehilangan semuanya akibat gol cepat dan berulang yang waktunya tak berjauhan. Joga Bonito panic. Hilang fokus akibat “Bliztkrieg” Jerman. Seperti paniknya pasukan sekutu di Perang Dunia II. Seorang komentator sepak bola, menyebut pertandingan yang berakhir dengan 7-1 untuk kemenangan Jerman ini sebagai pertandingan yang memalukan bagi Brazil. Betapa tidak, Brazil bermain di depan publik sendiri, dengan ekspectasi tinggi bahwa merekalah yang akan menjadi kampiun World Cup 2014
           Nampaknya Jerman sangat memahami arti fokus dalam pertandingan semifinal semalam. Sejak jauh hari mereka telah mempersiapkannya. Jerman tak ingin konsentrasinya meraih gelar juara dunia di Brasil terganggu hal-hal di luar lapangan. Karena itu, tim Panser, julukan Timnas Jerman sengaja membatasi interaksi pemainnya dengan dunia luar. Upaya memproteksi pemain Jerman dari dunia luar sudah terlihat dari pemilihan markas mereka di Santos Andre, Bahia. Di kamp latihan Jerman tersebut, mereka membuat sebuah tembok yang tujuannya agar media, warga lokal, ataupun para fans tidak dapat melihat latihan dan aktivitas tim asuhan Joachim Loew. 
        Sebagaimana diberitakan oleh Sumetera Express online, begitu tertutupnya markas Jerman, koran nasional Brasil, Folha de St Paulo, sampai mengatakan bahwa tim Panser sengaja membangun "Tembok Berlin" di Bahia. Ini untuk menggambarkan betapa ketatnya proteksi yang dilakukan Timnas Jerman. Saking ketatnya, jurnalis pun hanya diperbolehkan untuk mengambil gambar 20 menit pertama untuk dua atau tiga kali sesi latihan. Pelatih Joachim Loew pun tak banyak menyambangi media center yang ada di situ. Paling banyak Loew berada di sana dua kali selama empat minggu terakhir. 
          Semua itu tak lepas dari formula latihan Jerman yang berbunyi "konzentration und fokussierung" atau konsentrasi dan fokus. "Ini merupakan filosofi yang menjadi bagian dari tim kami," ujar juru bicara Timnas Jerman, Jens Grittner seperti dilansir oleh Reuters. Menurut Grittner, apa yang dilakukan oleh jajaran tim pelatih dengan membangun "Tembok Berlin" itu semata-mata merupakan elemen terpenting dalam kiprah Die Mannschaft, julukan lain Timnas Jerman di Piala Dunia. "Saya tidak akan berinterpretasi bahwa markas kami tertutup bagi publik. Ini hanyalah langkah persiapan kami secara profesional," tutur Grittner, sebagaimana di kutip oleh Sumatera Express online. 
         Pernyataan tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan Loew. Pelatih yang sebelumnya menjadi asisten Juergen Klinsmann saat Piala Dunia 2006 itu mengatakan, kebijakan menutup diri itu akan memudahkan pasukannya untuk berkonsentrasi. "Saya tidak membaca koran satu pun sejak tiba di Brasil. Saya melakukannya supaya pikiran saya tetap jernih dan hanya berkonsentrasi pada hal penting," ungkap Loew bangga. Tidak hanya membangun tembok tebal, para pemain serta staf pelatih juga mendapatkan nomor baru yang berguna menghindari kejaran media. Terutama media asli Jerman, yang berusaha untuk mengorek skema serta strategi yang akan dimainkan. 
        Dan hasilnya telah kita saksikan semalam. 7 (tujuh) gol mereka sarangkan ke gawang Brazil. Der panzer bermain sangat efektif dan penuh konsentrasi. Mereka menciptakan gol cepat yang membuat Brazil panik dan kehilangan konsentrasi. Tapi anak asuhan Joachim Low tak berhenti sampai disitu. Mereka memanfaatkan kepanikan tersebut dengan menciptakan gol beruntun, dengan pergerakan yang cepat, terorganisir dan efektif. Brazil baru sadar ketika 5 (lima) gol sudah bersarang di gawang mereka. Tapi sudah terlambat. Jerman sudah menggenggam kemenangan. Ini benar-benar pertandingan antara ‘Panic Room’ (Brazil) VS ‘konzentration und fokussierung’ (Jerman). Siapa yang tetap konsentrasi dan fokus, maka dialah pemenangnya. Bravo Jerman.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More