Dalam beberapa minggu terakhir ini, berita tentang seorang bocah yang menjadi tulang punggung keluarganya ramai menghiasi tampilan layar kaca maupun media cetak kita. Bocah 12 (dua belas) tahun itu bernama Taspirin, yang tinggal di Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok Banyumas. Ia yang seharusnya duduk di bangku kelas VI SD ini, harus meninggalkan sekolahnya untuk mengambil alih tugas ayah dan ibunya sebagai orang tua bagi ketiga adiknya. Sang Ibu telah mendahului mereka menghadap Yang Maha Kuasa akibat tertimpa lonsor beberapa waktu sebelumnya. Sementara sang Ayah harus ke kalimantan untuk bekerja di kebun kelapa sawit sejak beberapa bulan yang lalu.
Mereka kerap menggigil kedinginan menahan hembusan angin malam di gubuk yang hanya berukuran 4x4 meter. Sebuah gubuk yang sesungguhnya tidak layak bagi pertumbuhan mereka. Tapi itu tak melemahkan Taspirin untuk merawat ketiga adiknya, yaitu Riyanti, Dandi dan Daryo. Di siang hari, taspirin harus berbelanja dan memasak serta menyiapkan makan adik-adiknya. Pada sore hari tidak lupa Ia memandikan adik-adiknya dan menidurkan mereka saat malam tiba.
Mereka hanya makan seadanya, dengan kerupuk sebagai pendamping nasi. Tidak layak memang. Sungguh tidak layak gizi. Tapi ini juga sebagai strategi menghemat untuk bertahan hidup. Maklum, mereka hanya mengandalkan kiriman dari Sang Ayah yang juga seadanya. Jika ingin uang jajan, ia harus harus menawarkan tenaganya untuk membantu tetangga. Karena hanya dari sinilah Ia bisa mendapatkannya. Hebatnya, dalam kondisi seperti itu Tasripin tidak lupa untuk selalu mengajak ketiga adiknya belajar Agama di Mushola yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Dan berharap suatu saat nanti Ia bisa melanjutkan sekolahnya lagi.
Apa sebenarnya yang dimiliki Taspirin sehingga Ia mampu melakukan semua itu? Tentu banyak pilihan jawaban yang bisa kita berikan. Tidak hanya sebatas perhatian kepada keluarga (seperti yang dilakukan Taspirin), dalam konteks yang lebih luas dimana masyarakat menjadi obyek kepedulian atau medan amal seseorang, pun memiliki pilihan jawaban yang beragam.
Tapi untuk pertanyaan tersebut, saya sependapat jika kekuatan cinta adalah penggeraknya. "Tidak ada kebaikan yang dapat kita semaikan di tengah masyarakt, kecuali apabila kita memulai persentuhan kita dengan lingkungan sosial di mana kita berada dengan cinta". Begitu kata Anis Matta dalam bukunya yang berjudul Delapan Mata Air Kecemerlangan. "Cinta adalah energi jiwa yang dahsyat, yang bukan saja menjadi rahim yang melahirkan keharmonisan dalam rumah tangga, tempat kerja, dan organisasi, tetapi juga dalam masyarakat, bahkan bangsa dan kemanusiaan. Cinta mencerahkan kehidupan kita dan menjadikannya nyaman untuk diresapi. Cinta adalah kumpulan dari semua keinginan baik kepada orang lain". Jelas Anis
Masih menurut pria yang pernah menjadi wakil ketua DPR RI ini, Cinta mengejawantah dalam beberapa sikap. Pertama, Cinta mengejawantah dalam bentuk perhatian penuh yang kita berikan kepada obyek yang kita cintai. Perhatian pada keadaannya yang sebenarnya, sisi kebaikan dan keburukannya, keindahan dan kejelekannya, kekuatan dan kelemahannya, kesedihan dan kegembiraannya, harapan dan kecemasannya, sejarah masa lalu dan impian masa depannya, kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya, dan kebutuhan-kebutuhan jiwa, pikiran, dan fisiknya yang terungkap maupun tidak terungkap untuk tumbuh dan berkembang.
Kedua, Penumbuhan. Cinta selanjutnya mengejawantah dalam bentuk usaha-usaha menumbuhkan potensi kebaikan yang ada pada obyek cinta, dan memaksimalkan pengembangan bakat dan kemampuan yang dimilikinya. Cinta yang mengejawantah disini mengharuskan kita memfokuskan pandangan kita terhadap sisi-sisi positif yang ada pada obyek cinta, serta mendorong kita untuk bersikap optimis dan bekerja untuk mengembangkannya semaksimal mungkin.
Ketiga, Perawatan. Cinta pada tahap ini berarti bahwa kita berusaha untuk menyiram bunga cinta pada obyek cinta kita dengan kebaikan-kebaikan. Sebab cinta hanya tumbuh dan bersemi diatas tanah yang subur. Hal ini karena ia dipupuk dengan perbuatan-perbuatan baik, sikap-sikap bijaksana, serta tindakan-tindakan arif yang penuh kasih. Hal-hal tersebut berfungsi seperti air yang menyuburkan dan matahari yang menumbuhkan.
Jika kita menyebut Kota Baubau sebagai obyek Cinta kita atau obyek cinta masyarakatnya, maka sudah sepantasnyalah setiap orang yang ada didalamnya mengejawantahkan ketiga sikap di atas. Karena cinta adalah juga "kata kerja", maka harus ada karya besar yang dikontribusikan. Kontribusi itu dapat kita berikan pada wilayah pemikiran, atau wilayah profesionalisme, atau wilayah kepemimpinan, atau wilayah finansial atau wilayah lainnya.
Namun, kontribusi apapun yang hendak kita berikan, Kata Anis Matta, sebaiknya memenuhi dua syarat: memenuhi kebutuhan masyarakat kita, dan dibangun dari kompetensi inti kita. Masyarakat adalah pengguna karya-karya kita, maka yang terbaik yang kita berikan kepada mereka adalah apa yang paling mereka butuhkan dan yang tidak dapat dipenuhi oleh orang lain.
Tentu cukup banyak pilihan wilayah kontribusi. Saat membaca buku 'Menyibak Kabut di Keraton Buton', Saya menemukan tulisan Ir. Nasruddin Kasim yang berjudul Mengenali Peta Masalah Pembangunan di Kota Baubau. Dalam tulisan tersebut, beliau menjelaskan bahwa paling tidak, permasalahan di Kota Baubau dapat dipetakan menjadi beberapa bagian, yatu: Manajemen pengelolaan kota, keuangan dan pembiayaan pembangunan, pelayanan perkotaan, lahan dan perumahan, kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam, serta budaya lokal dan pariwisata. Kita tinggal memilih satu atau dua diantara problematika tersebut untuk berkontribusi.
Hal paling riil dan sederhana yang bisa kita lakukan adalah jangan sampai kita membiarkan tetangga kita kelaparan karena kehabisan bahan makanan. Pada sisi lain, kita berikan perhatian dan bantuan kepada yang membutuhkan, kepada Taspirin-Taspirin lain yang mungkin ada di Kota ini. Atau dengan cara yang lain, sesuai kesanggupan kita.
Akan tetapi, Kata Anis Matta, cinta dalam pengertian seperti ini, yang mengejawantah dalam cara yang seperti ini, memang hanya bisa lahir dari pribadi-pribadi yang matang, yang memiliki kesabaran, kasih sayang, kemurahan hati, kelapangan dada dan ketekunan. Walaupun demikian, hal tersebut bukanlah sesuatu yang tidak bisa dipelajari. Akhirnya, mari hadirkan cinta untuk Kota Baubau.