 |
Sumber gambar: tukarcatatan.blogspot.com |
Saat mengunjungi sebuah pesta di Perancis, para wartawan kembali mengajukan pertanyaan kepada wanita itu, "Bukankah nyonya ini wanita terkaya di dunia?" Ia pun menjawab, "Ya, aku adalah wanita terkaya di dunia, tetapi aku juga adalah wanita yang paling sengsara di dunia.
Siapakah dia? Namanya adalah Christina Onassis, putri seorang milyader besar asal Yunani yang bernama Aristoteles Onasis. Aristoteles Onassis adalah pengusaha kelas dunia setelah mampu mencetak penghasilan satu juta Dollar pertamanya saat berusia 25 tahun, dengan memiliki kapal-kapal komersial, kapal tanker, dan kapal penangkap ikan paus. Ia juga mengoleksi beberapa pulau pribadi.
Pada tahun 1975, Sang ayah meninggal. Ibu (Athina Livanos) dan saudara laki-lakinya, Alexander Onassis juga telah lebih dulu mendahului sang ayah kealam baka. Maka jadilah Christina pewaris tunggal harta kekayaan mendiang ayahnya senilai lima ribu juta real (mata uang Saudi Arabia) kala itu, dan sejumlah armada laut dan beberapa perusahaan besar.
Ia menikah tiga kali, semuanya diakhiri dengan perceraian. Suami ketiganya berkebangsaan Rusia, sekaligus seorang tokoh komunis. Para wartawan melontarkan pertanyaan kepadanya, "Sebagai wanita yang banyak memainkan peranan sebagai ideology kapitalis, mengapa anda mau menikah dengan laki-laki yang menganut ideology komunis?" Maka dengan lugas Christina menjawab, "Karena aku ingin mencari kebahagiaan."
Christinapun menetap di Rusia bersama sang suami. Rupanya, undang-undang di Rusia tidak membolehkan seseorang mempunyai rumah yang kamarnya lebih dari dua, sekaligus tidak boleh menyewa pembantu. Akhirnya iapun menjadi pembantu dirumahnya sendiri, yang hanya terdiri dari dua kamar. Ketika ditanya oleh wartawan, bagaimana ia mau bertahan dengan kondisi semacam itu, Christinapun menjawab, "Aku ingin mencari kebahagiaan”. Walau akhirnya ia bercerai dengan suami ketiganya ini, tetapi ia mampu bertahan selama satu tahun.
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kebahagiaan? Mungkin sebagian kita akan menjawab bahwa pikiran dan perasaan yang nyaman adalah tanda kebahagiaan. Atau mungkin pula ada yang menjawabnya dengan kesenangan, kepuasan, atau kegembiraan. Tentunya, amatlah beragam pendekatan untuk mendefinisikan kebahagiaan.
Beberapa peneliti rupanya telah mengembangkan alat untuk mengukur derajat kebahagiaan. Salah satunya adalah The Oxford Happiness Questionnaire. Mereka juga telah mencoba mengidentifikasikan beberapa hal yang berhubungan dengan kebahagiaan, yaitu: hubungan dan interaksi sosial, status pernikahan, pekerjaan, kesehatan, kebebasan demokrasi, optimisme, keterlibatan religius, penghasilan, serta kedekatan dengan orang-orang bahagia lain.
Dalam konteks negara, beberapa lembaga kelas dunia telah mencoba untuk menentukan negara paling bahagia di dunia. Sebut saja PBB (UN), yang pada bulan April 2012 yang lalu, telah merilis laporan yang memuat negara-negara bahagia di dunia. Menurut organisasi dunia yang berpusat di New York ini, negara yang bahagia dinilai dari pendapatan rata-rata dan produk nasional bruto.
New Economics Foundation (NEF) juga melakukan hal yang sama dengan PBB, walau dengan metode yang berbeda. Untuk menentukan peringkat, NEF mengalikan ekspektasi hidup warga negara dengan sesuatu yang disebut “Kesejahteraan yang Dialami”, yang menentukan kualitas hidup dari skala 0-10. Hasil pengalian itu kemudian dibagi “Jejak Kaki Ekologis”, ukuran per kapita dari jumlah lahan yang diperlukan untuk mempertahankan pola konsumsi sebuah negara. Karenanya, PBB dan NEF akhirnya memiliki hasil yang berbeda dalam menentukan siapa-siapa yang berhak disebut negara paling bahagis di dunia.
Cara yang menarik sekaligus unik (menurut pendapat saya), untuk menentukan kebahagiaan sebuah negara adalah apa yang dilakukan oleh Gallup Inc. Rupanya lembaga yang berpusat di Amerika Serikat ini dalam menentukan tingkat kebahagiaan sebuah negara, adalah dengan cara mengukur emosi positifnya. Dalam proses surveinya, Gallup Inc. bertanya kepada orang-orang di 148 negara dengan pertanyaan berikut; 1). Apakah Anda menikmati hidup?, 2). Apakah mereka cukup beristirahat?, 3). Apakah diperlakukan dengan hormat?, 4). Apakah Anda banyak tersenyum atau tertawa? 5). Apakah Anda belajar atau melakukan sesuatu yang menarik dan merasa bahagia di hari sebelumnya?
Hasilnya, sebagaimana dikutip oleh situs Rumah.com, disebutkan bahwa Persentase rata-rata dari responden di seluruh dunia yang mengatakan “ya” untuk lima pertanyaan ini mencerminkan kehidupan yang relatif optimis. Gallup menemukan 85% orang dewasa di seluruh dunia merasa diperlakukan dengan hormat sepanjang hari, 72% dapat banyak tersenyum dan tertawa, 73% merasa menikmati hari-hari mereka, dan 72% dapat beristirahat dengan baik.
Sementara, satu-satunya pertanyaan yang dijawab dengan pesimis, yakni hanya 43%, adalah ‘apakah Anda bisa belajar dan melakukan sesuatu yang menarik’. Kendati demikian, secara umum masyarakat di seluruh dunia mengalami emosi positif.
Orang yang paling sedikit merasakan emosi positif tinggal di Singapura, negeri kaya yang termasuk salah satu negara paling maju di dunia. Negara-negara kaya lainnya secara mengejutkan juga berada dalam peringat bawah daftar ini. Jerman dan Prancis bersaing ketat dengan negara bagian Afrika yang miskin, Somaliland, berada di urutan ke-47.
Sepuluh negara paling bahagia di dunia berdasarkan peringkat tertinggi menurut Gallup Inc: Panama, Paraguay, El Salvador, Venezuela, Trinidad dan Tobago, Thailand, Guatemala, Filipina, Ekuador, dan Kosta Rika. Bagaimana dengan posisi Indonesia? Negara kita tercinta bertengger di posisi ke-19.
Dari 10 negara ini, 7 (tujuh) diantaranya adalah negara-negara Amerika latin. Uniknya, negara-negara Amerika latin yang dianggap paling bahagia di dunia ini adalah negara-negara yang dalam ukuran kesejahteraan tergolong miskin. Bahkan Guatemala adalah negeri yang selama berpuluh-puluh tahun tercabik oleh perang saudara, disusul dengan gelombang kejahatan yang dilakukan oleh anggota geng yang membuat negeri ini menjadi negeri dengan tingkat pembunuhan tertinggi di dunia.
Apakah ada kritik terhadap akurasi survei ini? Mantan Kepala Ekonomi Bank Pembangunan Inter-Amerika, Eduardo Lora yang juga konsen mempelajari pengukuran statistik kebahagiaan berucap: "Reaksi spontan saya adalah hasil ini dipengaruhi oleh bias budaya....”. "Apa yang dikatakan dalam literatur empiris bahwa beberapa budaya cenderung untuk menanggapi setiap jenis pertanyaan dengan cara yang lebih positif," kata Lora, sebagaimana dijelaskan dalam situs Apakabardunia.com.
Sejumlah warga Amerika Latin mengatakan bahwa survei ini mengungkapkan hal yang mendasar bagi negara mereka: kebiasaan untuk memfokuskan diri terhadap hal-hal positif seperti teman, keluarga dan agama meskipun kehidupan sehari-hari mereka bisa sangat sulit.
Tapi terlepas dari adanya bias tersebut, mungkin, pendapat salah seorang peserta survei bisa menjadi pelajaran. Adalah Martinez, salah seorang pekerja di Panama mengatakan bahwa dirinya tidak bahagia dengan meningkatnya tingkat kejahatan, tetapi "merasa bahagia dengan keluarga saya."
"Hidup itu singkat dan tidak ada alasan merasa sedih. Karena meski pun kita kaya, masih ada masalah. Kami harus mentertawakan diri kami sendiri." Ucap Maria Solis, pedagang kaki lima di Paraguay.
Coba kita bandingkan dengan ucapan Richard Low, seorang pengusaha muda asal negeri jiran Singapura. Saat mengikuti survei, pria berusia 33 tahun yang tinggal di negara maju dan kaya ini berpendapat, "Kami bekerja sangat keras dan mendapat gaji kecil. Hampir tidak ada waktu untuk berlibur atau hanya bersantai karena Anda selalu memikirkan ke depan: kapan tenggat waktu atau rapat berikutnya. Hampir tidak ada keseimbangan antara hidup dan kerja di sini," sahutnya.
Paling tidak, dari kasus di atas termasuk apa yang dialami oleh Christina Onassis menunjukkan bahwa ternyata banyaknya materi bukan jaminan meraih kebahagiaan. Yang penting, seperti yang selalu didengungkan oleh para motivator dan orang bijak, hiduplah dengan rasa syukur dan memandang hidup lebih positif. Nah, bagaimana dengan tingkat kebahagiaan warga Kota Baubau?