Sore hari di Kotamara bisa dibilang mengasyikkan. Tempat ini begitu nyata menghadirkan salah satu manfaat ruang publik, yaitu sebagai tempat rekreasi. Penat dan stress akibat berbagai problematika hidup yang muncul di sela-sela rutinitas kerja atau aktifitas harian kita, mudah-mudahan bisa berkurang kala berkunjung di “halaman” dekat pantai ini. Mau memancing, main bola, berdiskusi atau sekedar tebar pesona, Kotamara adalah salah satu tempat yang tepat untuk itu semua.
Namun akhir-akhir ini, ada sedikit rasa kurang nyaman di lokasi yang baru di buka untuk publik 2 (dua) tahun yang lalu itu. Ada sesuatu yang mengusik. Awalnya Saya merasa itu adalah hal yang biasa. Hanya bentuk “kreatifitas” orang-orang yang bisa ada di mana-mana, jadi biarkan saja. Kalaupun tidak dibiarkan atau dihapus, pastinya akan muncul lagi. Maklum, kontrol terhadap hal tersebut di ruang publik sebesar Kotamara rasanya masih kurang. Tapi sekarang, Saya justru merasakan kekurangnyamanan itu semakin bertambah. Mungkin karena jumlahnya sudah semakin banyak.
Coretan di ruang publik! Ini yang membuat saya kurang nyaman. Salah satu contohnya, coba perhatikan bangunan bercat hijau yang berdiri di sudut Kotamara. Coretan menyebar di sana sini. Parahnya lagi, beberapa kaca jendela sudah pecah, entah siapa pelakunya. Sungguh sangat disayangkan.
Nah, perbuatan coret mencoret tanpa mempedulikan keindahan sebuah tempat atau lokasi, biasa di sebut dengan vandalisme. Dalam situs Wikipedia dijelaskan bahwa Vandalisme adalah suatu sikap kebiasaan yang dialamatkan kepada bangsa Vandal, pada zaman Romawi Kuno, yang budayanya antara lain: perusakan yang kejam dan penistaan segalanya yang indah atau terpuji. Tindakan yang termasuk di dalam vandalisme lainnya adalah perusakan kriminal, pencacatan, grafiti, dan hal-hal lainnya yang mengganggu mata.
Dari definisi diatas, tentu begitu jelas apa yang dimaksud dengan vandalisme. Tapi dalam konteks ini, saya “fokuskan” vandalisme pada hal-hal semacam kegiatan mencorat-coret tembok, papan, atau fasilitas umum lainnya. Termasuk penempelan brosur, pamflet dan stiker di muka umum atau bukan pada tempatnya.
Jadi, bisa dikatakan bahwa vandalisme merupakan suatu ancaman terhadap keindahan yang ada. Di kota ini, sangat mudah kita temukan dimana-mana. Coba perhatikan halte, tiang listrik, taman-taman kota dan fasilitas umum lainnya, hampir pasti terdapat coretan. Dahulu mungkin hanya dianggap sebagai masalah bagi kota-kota besar. Tapi sekarang, vandalisme rupanya juga sudah menjadi masalah bagi kota kecil. Bahkan mungkin sampai pelosok. Saya pribadi merasa kurang nyaman. Apalagi jika hal tersebut ada di ruang publik atau tempat rekreasi sekelas Kotamara.
Siapapun bisa menjadi pelaku vandalisme. Mulai dari anak-anak sampai orang tua. Tapi Jika kita perhatikan coretan-coretan yang terpampang ditembok bahkan di meja dan kursi taman di Kotamara, secara psikologis bisa ditebak rentang usia pelakunya. Umumnya para pelaku adalah remaja. Bagaimana cara mengetahui bahwa itu adalah remaja? Ada nama orang, nama grup atau komunitas dan lain sebagainya tertulis di sana. Sang pembuat ingin menunjukkan eksistensi dirinya alias kebutuhan akan eksistensi. Ini ciri remaja. Sebuah kebutuhan yang “harus” dipenuhi dalam tugas dan perkembangan remaja. Namun sayang, kebutuhan tersebut mereka ekspresikan di tempat yang salah.
Sekedar informasi, ada istilah lain yang berhubungan dengan vandalisme, yaitu Graffiti dan Mural. Dalam situs Muda Grafika.com disebutkan bahwa graffiti adalah coretan-coretan pada dinding yang menggunakan komposisi warna, garis, bentuk, dan volume untuk menuliskan kata, simbol, atau kalimat tertentu. Alat yang digunakan pada masa kini biasanya cat semprot kaleng. Sebelum cat semprot tersedia, grafiti umumnya dibuat dengan sapuan cat menggunakan kuas atau kapur. Meskipun grafiti pada umumnya bersifat merusak dan menyebabkan tingginya biaya pemeliharaan kebersihan kota, namun grafiti tetap merupakan ekspresi seni yang harus dihargai. Vandalisme juga adalah graffiti yang asal jadi atau asal coret.
Sedangkan Mural adalah adalah cara menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok atau permukaan luas yang bersifat permanen lainnya. Berbeda dengan grafiti yang lebih menekankan hanya pada isi tulisan dan kebanyakan dibuat dengan cat semprot maka mural tidak demikian, mural lebih bebas dan dapat menggunakan media cat tembok atau cat kayu bahkan cat atau pewarna apapun juga seperti kapur tulis atau alat lain yang dapat menghasilkan gambar.
Yang menjadi pertanyaan adalah bisakah vandalisme di cegah? Kita bisa menguranginya sedikit demi sedikit dengan cara mengarahkan kebiasaan ini pada tempatnya. Bisa lebih mudah lagi, karena kita tahu siapa mayoritas pelakunya, yang dalam hal ini adalah kaum remaja.
Belajar dari Kota Magelang, mereka mengadakan kompetisi Mural antar SMK, terutama yang muridnya terlibat vandalisme dengan bantuan komunitas seni di Kota Magelang. Dengan kompetisi mural ini, tembok-tembok yang sebelumnya biasa saja dan suram bisa berubah menjadi lebih berwarna dan bermakna. Di tembok-tembok ini juga bisa ‘ditanam’ warna-warni bunga yang tidak perlu disiram dan dirawat namun tetap indah dipandang. Dan yang lebih penting lagi, vandalisme bisa diatasi dan kreativitas generasi muda bisa disalurkan melalui media yang tepat.
Didaerah lainnya, diadakan ekstrakurikuler graffiti. Ini bisa kita adakan di Kota Baubau. Kalo perlu berhadiah piala bergilir dari walikota. Mungkin sudah ada kegiatan sejenis ini di Kota Baubau. Ini patut di apresiasi dan perlu terus di dorong.
Lebih dari itu, sangat penting untuk menghadirkan kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan, khususnya fasilitas umum dan ruang publik. Kesadaran dan kepedulian tentu akan melahirkan keindahan. Dari sini, sejuta manfaat (diantaranya kesehatan fisik dan psikologis) bisa hadir. Serangkai kalimat bijak ini mungkin cocok untuk warga Baubau: “Kalau bukan kita (warga Baubau) yang memulai, menjaga dan memeliharanya, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi”.