 |
Sumber gambar: www.Crankymovie.blogspot.com |
Ada pertanyaan menarik, Apakah Anda berbahagia dulu kemudian tersenyum, ataukah sebaliknya, senyum dulu lalu perasaan bahagia itu datang? Rupanya keduanya bisa terjadi. Wajah adalah jendela emosi. Salim A Fillah dalam bukunya Jalan Cinta Para Pejuang menjelaskan bahwa mula-mula ada gejolak emosi dalam jiwa kita, kemudian kita boleh, -atau tidak perlu- mengungkapkan emosi itu melalui wajah kita. Ternyata proses itu juga bisa bekerja dengan arah berlawanan. Artinya, emosi juga bisa dimulai dari wajah. Jadi kita bukan hanya tersenyum karena bahagia, melainkan juga berbahagia karena tersenyum. Wajah bukan hanya sebuah monitor penampil yang men-display perasaan dari CPU hati. Wajah adalah mitra yang sejajar dalam suatu proses emosi.
Untuk memperkuat sisi ilmiah pernyataannya tersebut, Salim yang juga penulis muda produktif ini menyajikan catatan-catatan Malcolm Gladwel tentang riset psikologi yang mendukung hal tersebut. Adalah Paul Ekman dan Wallace Friesen, Kata Gladwell, yang pertama kali berhasil menyusun taksonomi untuk mimic wajah. Dengan terus berkonsultasi pada para pakar anatomi wajah, mereka memadupadankan 43 gerakan otot berbeda yang bisa dibuat oleh wajah. Mereka menyebutnya ‘satuan aksi’.
Selama tujuh tahun kedua peneliti ini mencoba, meramu berbagai satuan aksi sehingga tercipta kombinasi dari gerakan lima otot yang jumlahnya lebih dari sepuluh ribu. Mereka memilah kombinasi gerakan yang memiliki makna, dan menuangkannya dalam dokumen rinci FACS (Facial Action Coding System) yang setebal 500 halaman. Sekedar informasi, 2 (dua) film animasi (Box Office) yaitu Toy Story dan Shrek juga dibuat menggunakan FACS.
Ekman dan Friesen dibantu oleh Robert Levenson mengumpulkan sejumlah relawan yang dibagi dalam dua kelompok. Separuh diminta untuk mencoba mengingat dan menghidupkan kembali sebuah pengalaman yang bagi masing-masing sangat berat. Separuh yang lain diminta hanya untuk memeragakan mimic wajah dalam FACS yang sesuai dengan emosi-emosi menyusahkan semacam marah, sedih, dan takut. Mereka semua dihubungkan dengan sensor pengukur laju denyut jantung dan temperature suhu. Gejala-gejala faali yang diamati ini telah dikenal sebagai indicator emosi beratseperti marah, sedih, dan takut dalam fisiologi.
Hasilnya? Tertampil dalam monitor, kedua kelompok mengalami kenaikan laju denyut jantung yang sama dan kenaikan suhu tubuh yang persis. Gejala fisiologis emosi mereka tak berbeda. Yang mengenang pengalaman pahit menjadi sedih. Begitu juga yang sekedar “berakting” sedih dengan otot-otot wajahnya. Mereka memulai dengan ekspresi wajah yang berat, baru kemudian efek fisiologisnya menjalar hingga ke hati.
Beberapa waktu kemudian, beberapa Psikolog jerman mencoba hal yang senada. Mereka meminta dua kelompok relawan untuk mengamati gambar-gambar kartun. Kelompok pertama harus melakukannya sambil menggigit ballpoint dengan gigi –yang memaksa mereka untuk tersenyum karena harus mengkontraksi otot risorius dan zygomatic major-, dan kelompok kedua menggunakan bibirnya untuk menjemput ballpoint –yang membuat mereka mustahil tersenyum karena dua otot itu terkunci-.
Penelitian ini berkesimpulan sama. Yang menggigit ballpoint dengan gigi –sehingga terpaksa tersenyum- jauh lebih merasa bahwa kartun-kartun itu lucu. Mereka memulainya dengan senyum diwajah, lalu emosinya tergerak untuk melakukan kejenakaan. Sementara itu, para relawan yang menjepit ballpoint dengan bibir –sehingga sulit tersenyum- merasa kartun itu biasa saja. Demikian Salim A Fillah menjelaskan.
Luar biasa! Dari ekspresi wajah, lalu efek fisiologisnya menjalar ke hati. Menjalar ke “organ” pengendali manusia. Menurut Kang Zen dalam bukunya yang berjudul Sambut, Hati adalah pikiran bawah sadar manusia. Sebagian peneliti mengatakan bahwa hati memiliki kekuatan hingga 30.000 kali lipat dari pikiran, tapi ada juga yang mengatakannya tak terbatas. Mungkin maksudnya kerena pikiran kita terbatas, kita tidak bisa menghitung kekuatan maksimal dari hati tersebut. Ada juga yang mengatakan bahwa kekuatan hati 5000 kali lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan pikiran. Tapi yang sering dijadikan referensi adalah bahwa kekuatan pikiran hanya mencapai 12%, sedangkan kekuatan hati bisa mencapai 88%.
Perasaan adalah juga urusan “Hati”, kata Kang Zen. Tetapi hati yang di maksud bukanlah liver, tapi lebih kepada jantung. Dan memang, para peneliti mengungkapkan bahwa perasaan itu dimulai oleh jantung, bukannya liver. Dan, kekuatan gelombang elektromagnetik jantung (perasaan) bisa 5000 kali lebih kuat dibandingkan dengan gelombang elektromagnetik otak (pikiran).
Hal inilah yang menjawab, mengapa banyak orang yang “berusaha” berpikir positif justru malah kehidupannya diiringi banyak kejadian yang membuat hidup tertekan. Sebab mereka hanya berpikir positif, tapi tidak berperasaan positif. Jadi tenangkan dulu perasaan Anda baru berpikir dan bertindak lebih lanjut.
Nah, kembali lagi ke senyum. Dr. Aidh al-Qarni dalam bukunya yang berjudul La Tahzan, mengutip ucapan Ahmad Amin: “Orang yang murah tersenyum dalam menjalani hidup ini bukan saja orang yang mampu membahagiakan diri sendiri, tetapi juga orang yang paling mampu berbuat, orang yang paling sanggup memikul tanggung jawab, orang yang paling tangguh menghadapi kesulitan dan memecahkan persoalan, serta orang yang paling dapat menciptakan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.”
Terus, apa kaitan antara senyum dengan puasa Ramadhan? Saran Saya, saat Ramadhan datang, hadirkanlah niat yang ikhlas untuk beribadah, dan tersenyumlah. Dengan tersenyum, maka kebahagiaan akan datangnya bulan suci menjadi berlipat pangkat. Dari sini, kenyamanan dan kemudahan beribadah menjadi sebuah keniscayaan.