 |
Sumber foto: www.kasakkusuk.com |
Ribuan, bahkan milyaran pasang mata menyaksikan pernikahan mereka. Mulai dari rakyat tanpa status sosial, tamu negara, sampai selebriti dunia, berjejer memadati jalan yang akan dilalui kedua pengantin itu. Ini bukan pernikahan biasa.
“Ini pernikahan bersejarah”, kata seorang awak media.
Hari itu, Pangeran Inggris, William, putra pertama Pangeran Charles dan mendiang Putri Diana mengakhiri masa lajangnya. Diatas kereta yang ditarik beberapa ekor kuda dan dikawal puluhan prajurit berkuda, Ia duduk begitu mesra dengan seorang putri nan cantik. Kate Midleton nama putri itu. Mereka baru saja mengucap sumpah untuk sehidup semati sebagai suami istri. Sepanjang jalan, tak henti mereka melempar senyum, melambaikan tangan, mengingatkan setiap orang di setiap sudut dunia, tentang peristiwa romantis di negeri dongeng.
Pangeran, putri, kerajaan, kereta kuda, pengawal, dan lainnya adalah kata-kata yang mudah kita temukan ketika membaca dongeng tentang Cinderela, Putri Salju, Thumbelina, Rapunzel, Putri Tidur dan lainnya. Tapi hari itu, mereka berdua menampilkan kisah dongeng itu di dunia nyata. Di Inggris. Semua orang yang menyaksikan secara langsung, mengelu-elukan putri dan pangeran itu. Ribuan komentator televisi di seluruh dunia mengomentari mereka dengan ribuan sudut pandang. Mulai dari kisah awal perjumpaan mereka, hobi keduanya, karakter keseharian mereka, gaya busana saat pernikahan pun juga sampai implikasi politik internasionalnya. Wow.
Barangkali inilah pernikahan terakbar abad ini. Dan ku yakin, dari pernikahan ini, meminjam statement dari Film Animasi SHREK, orang-orang akan mengatakan, “Happy Hapily Ever After”. Tapi, apakah kebahagiaan yang hadir dalam perjalanan berkeluarga harus ditentukan oleh perayaan seakbar Pangeran Willian dan Kate Midleton? Well, tentang hal ini, mungkin setiap orang memiliki jawaban yang berbeda.
Beberapa hari yang lalu, Saya menghadiri pernikahan seorang teman. Dia tinggal di Tanganapada. Dia rakyat biasa seperti saya. Bukan seorang pangeran. Jika kita menggunakan kacamata masyarakat dunia, mungkin dari sisi manapun, dia tidak bisa dibandingkan dengan pangeran William. Hidupnya sungguh sederhana, jauh dari gemerlap harta dan hiruk pikuk popularitas. Pun mungkin diapun tak mengerti apa itu popularitas. Yang kutahu pasti, dia hanya tahu untuk terus berupaya mengais rezki walau sedikit agar dapat bertahan hidup paling tidak selama sebulan. Dia bekerja sebagai Cleaning service di sebuah instansi pemerintah, dengan gaji yang bahkan tidak cukup separuh dari UMR Kota Baubau.
Hanya melalui sms dia mengundang Saya ke pernikahannya. Pesan singkat dari sebuah HP seharga tidak lebih dari dua ratus ribu rupiah, yang ia beli setelah menabung sekian lama. Sebuah Hp yang selalu Ia banggakan dihadapanku. Tak cukup uang tuk memesan undangan dipercetakan, pun sekedar mencetak undangan diatas lembaran kertas HVS atau Kuarto. Hanya dengan silaturrahm biasa (pokemba) dan redaksi singkat di sms itu Ia mengundang teman dan kerabat. Itupun tidaklah banyak. Hanya puluhan saja.
Pagi itu kami mengantarnya. Hanya beberapa ratus meter jaraknya ke rumah mempelai perempuan. Tujuan kami ke sebuah gubuk sederhana dan kecil. Sebuah tempat yang juga tidak asing bagiku. Kurang lebih dua puluh tahun lalu saya sering lewat di tempat itu. Arsitekturnya masih seperti dulu. Dinding dan kayunya sudah lapuk dimakan usia. Mungkin itu masih dinding dan kayu dua puluh tahun lalu. Inilah yang membuat tampilan rumah itu agak sedikit berubah. Karung beras dan Koran digunakan untuk menutupi lubang-lubang menganga di setiap dinding. Para pengantar berdesakan menaiki tangga belakang rumah tempat pengantin melangsungkan Ijab Kabul. Tapi semua tak boleh naik. Hanya beberapa orang saja. Panitia pernikahan sengaja membatasi pengantar yang ingin menyaksikan langsung prosesi akad nikah. Takut rumahnya rubuh.
Dalam sebuah ruang sempit di gubuk itu, ia mengucap Ijab Kabul. Saya menyaksikannya dari jendela. Karena tak kebagian tempat dalam rumah. Namun juga Saya tak mau melawatkan prosesi singkat tapi menyejarah itu. Tiada MC yang ditunjuk untuk memandu acara. Akhirnya petugas pencatat nikah merangkap menjadi MC. Entahlah, mungkin bagi panitia pernikahan, tak perlu sedu sedan itu, yang penting mereka resmi jadi suami istri. Kulihat temanku itu begitu bahagia. Sang mempelai wanita sampai menitikkan air mata. Semua orang disekeliling mereka juga ikut berbahagia. Begitu fasih ia mengucap ijab Kabul. Walaupun itu adalah kali ke tiga ia mengulangi.
Setelah itu, jamuan sederhana dan seadanya sudah menanti para undangan. Dan jamuan itu adalah hasil dari sumbangan para tetangga dan saudara. Tapi bagiku, hidangan itu sungguh nikmat rasanya. Tenda seadanya didirikan tuk sekedar menaungi pengantin dan menerima ucapan selamat dari para undangan. Bagaimanapun, mereka harus menjadi raja dan ratu di hari bahagia itu.
Hanya kamera Hp dan I-Pad yang digunakan untuk mengabadikan momen pernikahan. Itupun yang kebetulan di bawa oleh beberapa orang undangan. Tiada handy Came apalagi siaran langsung dari stasiun televisi tertentu. Orang Bone-bone atau Batulo atau Kalia-lia tak tahu kalau hari itu ada pernikahan mereka. Apalagi Jepang, Venezuala dan Mesir, pun Inggris tempat Pangeran William dan Kate Midleton yang sedang berbahagia dengan kehadiran putra pertama mereka. Mereka Semua tak tahu.
Tapi yang ku tahu adalah, temanku itu sangat berbahagia. Bahkan saat itu, Ia mungkin lebih bahagia dari Pangeran William dan Kate Midleton. Dan Sayapun yakin, temanku itu tak peduli apakah pernikahannya di ketahui banyak orang atau tidak. Apakah begitu sederhana atau tidak. Yang penting baginya adalah, Ia sudah niat menikah karena Allah, dan iapun siap menjadi kepala rumah tangga yang akan menghadirkan kebahagiaan pada istrinya dengan caranya sendiri. Mereka akan berbahagia dengan cara mereka sendiri. Selamanya. Persis seperti judul film SHREK di episodenya yang terakhir, ketika Shrek dan Viona beserta anak-anaknya hidup bahagia dalam kesederhanaan dan selamanya: “Forever After”.