 |
Sumber gambar: Sucidh.wordpress.com |
Ada momen penting yang terjadi di bulan Oktober ini. Tepatnya pada tanggal 10 Oktober. Tanggal ini diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Menurut Federasi Kesehatan Jiwa Dunia (WMFH) dan Badan Kesehatan Dunia (WHO), situasi kesehatan jiwa saat ini merupakan krisis yang tidak terungkap yang akan semakin buruk di tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, masalah ini mendapat tempat dalam agenda internasional.
Para ahli menyatakan bahwa di zaman yang semakin maju seperti sekarang ini, makin banyak dan kompleks pula masalah yang mengganggu ketentraman batin dan kebahagiaan hidup manusia. Semakin banyak masalah yang tidak menyenangkan menimpa seseorang, semakin meningkatlah kekesalan dan kecemasannya dalam hidup. Kita biasa menyebutnya dengan stress atau depresi.
Belum lama ini Saya membaca berita di media sosial tentang PHK terhadap ribuan buruh. Ini juga berarti bahwa Jumlah pengangguran kini bertambah dan meningkat. Bisa kita bayangkan, betapa stressnya mereka yang kena pemutusan hubungan kerja itu. Apalagi jika pekerjaannya itu menjadi sumber satu-satunya yang dapat mengepulkan asap dapur.
Baiklah, apa yang dimaksud dengan stress? Mc Nerney dalam Iyus Yosep (2009) menyebutkan stress sebagai reaksi fisik, mental, dan kimiawi tubuh terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan, membingungkan, membahayakan dan merisaukan seseorang. Sementara menurut Selye, “stress is the nonspecific result of any demand upon the body be the mental or somatic,” tubuh akan memberikan reaksi tertentu terhadap berbagai tantangan yang dijumpai dalam hidup kita berdasarkan adanya perubahan biologi dan kimia dalam tubuh.
Prof. Dadang Hawari (psikiater) menjelaskan bahwa istilah stress dan depresi seringkali tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Setiap permasalahan kehidupan yang menimpa pada diri seseorang (stressor psikososial) dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ tubuh. Reaksi tubuh ini dinamakan stress; dan manakala fungsi organ-organ tubuh itu sampai terganggu dinamakan distress. Sedangkan depresi adalah reaksi kejiwaan seseorang terhadap stress yang dialaminya. Dalam diri manusia, antara fisik dan psikis (kejiwaan) itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya (saling mempengaruhi).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Thomas Holmes dari Universitas Washington terhadap para eksekutif (mereka yang bergerak di bidang usaha dan politik) menunjukkan bahwa 80% dari responden mengalami stress, depresi, kecemasan, dan penyakit gawat lainnya. Perubahan-perubahan serba cepat di bidang perdagangan, sosial, politik dan lain-lain, membuat para eksekutif sering terkena tekanan (stress). Dengan menjadi berlipat gandanya tuntutan, baik dalam kehidupan perorangan/perkawinan maupun perusahaan, membuat mereka merasakan telah melampaui batas kemampuan fisik dan mentalnya ketika melayani seseorang.
Timbulnya stressor psikososial pada masyarakat menjadi problem utama kesehatan jiwa manusia. Menurut Iyus Yosep dalam bukunya yang berjudul ‘Keperawatan Jiwa’, Stressor Psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang (anak, remaja atau dewasa), sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau menanggulangi stressor yang timbul. Namun, tidak semua mampu mengadakan adaptasi dan mampu menanggulanginya, sehingga timbullah keluhan-keluhan kejiwaan, antara lain depresi. Jenis stressor psikososial tersebut diantaranya adalah perkawinan, problem orang tua, hubungan interpersonal, pekerjaan, lingkungan hidup, keuangan, perkembangan, penyakit fisik atau cedera, dan lain-lain.
Sementara Ahmad Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul ‘Puasa Menuju Sehat Fisik dan Fisik’ menyebutkan berbagai stressor psikososial itu seperti ketidakmampuan mengikuti perkembangan zaman, kesenjangan komunikasi, beban kerja yang menumpuk, target yang tidak tercapai, dan persaingan yang tidak sehat. Akibatnya, banyak orang menderita ketegangan, kecemasan, depresi, tidak puas, kecewa, curiga berlebihan kepada orang lain, dan sebagainya.
Masih menurut Syarifuddin, tekanan-tekanan psikologis seperti kecewa, tidak bahagia, takut dan persaingan tidak sehat, berkorelasi tinggi terhadap menurunnya daya tahan tubuh sehingga memudahkan intervensi penyakit yang dapat diketahui dari fisik, tingkah laku, alam perasaan, dan cara berpikir seseorang.
“Sebagian besar penyakit seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung, penyakit asma, semua penyakit alergi, dan lain-lain, selain disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap kesehatan jasmani, juga sering disebabkan oleh beban pikiran yang terlalu berat, berupa tekanan kejiwaan (stress) yang meliputi perasaan takut (waswas), sedih dan jengkel (emosi). Dalam lapangan ilmu kedokteran, hal seperti ini lazim disebut dengan psikosomatik. Dr. Franklin Ebough ahli bedah jantung dari Amerika Serikat menerangkan bahwa sikap-sikap negative seperti marah, dendam, dan iri hati adalah sifat-sifat yang menurunkan daya tahan tubuh dan memperburuk kesehatan.” Jelas Syarifuddin.
Tulisan ini Saya beri judul ‘Psikosomatik di Pilkada Serentak’. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Pilkada (yang lagi ramai-ramainya diperbincangkan saat ini) juga bisa menghadirkan stressor atau tekanan kejiwaan (terutama) bagi para pelakunya? Tekanan-tekanan psikologis yang berupa kecewa, takut kalah dan (kadang) persaingan tidak sehat menjadi tontonan pada acara yang dihelat oleh KPUD ini. Ini adalah sressor psikososial. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa tekanan-tekanan psikologis seperti kecewa, tidak bahagia, takut dan persaingan tidak sehat berkorelasi tinggi terhadap menurunnya daya tahan tubuh sehingga memudahkan intervensi penyakit yang dapat diketahui dari fisik, tingkah laku, alam perasaan, dan cara berpikir seseorang.
Dapatkah seseorang melakukan pengendalian diri hingga terbebas dari stress yang serius? Jawabannya ya. Seseorang yang mampu melakukannya, berarti memiliki jiwa yang sehat. Rosdahl mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai kondisi jiwa seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan, dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Sementara WHO mendefinisikan bahwa kesehatan jiwa bukan hanya tidak ada gangguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik yang positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya.
Oh iya, dr. Egha Zainur Ramadhani dalam bukunya yang berjudul ‘Super Health’ menuliskan beberapa tips mengelola stress agar jiwa tetap sehat: Pertama, seberat apapun beban, berusahalah tersenyum. Senyuman menjadi sugesti peringan beban; Senyum tulus dapat mencairkan hubungan yang beku, member semangat pada orang yang putus asa, membuat cerah suasana muram, dan obat penenang jiwa yang resah.
Kedua, Lakukan peregangan dengan olah raga, serta perbanyak puasa sunnah (bagi yang Muslim). Keduanya terbukti memicu tubuh menhhasilkan endorphin dan enkefalin yang mampu member rasa bahagia, lega, tenang, rileks secara alami. Ketiga, Jika memungkinkan, jauhi sumber stress, tenangkan diri dengan zikir, istighfar, mencari tepat yang tenang, atau melakukan hobi. Jangan memaksakan diri menghadapi stressor ketika diri masih tertekan, karena beban yang ada justru kian terasa berat.
Dan keempat, setelah merasa lebih tenang, segera tentukan langkah untuk menghadapi stress. Jangan terlena menjauhi sumber stress, karena dapat menjadikan jiwa kecut serta lebih suka lari dari kenyataan.