Blog yang berisi catatan-catatan singkat dan sederhana. Mencoba menangkap dan menulis pesan bijak dari berbagai sumber.

About

Jumat, 29 Maret 2013

Mencari Pahlawan Kota Baubau

gambar: gerrilya.wordpress.com
       Sebagaimana kita pahami bersama dan tidak diragukan lagi, bahwa lingkungan memberikan pengaruh yang sangat berarti bagi perilaku seseorang. Banyak analogi atapun cerita dan anekdot yang hadir sekedar untuk menjalaskan betapa lingkungan seseorang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Salah satu yang mungkin terkenal adalah cerita tentang Elang dan Ayam
       Konon, disebabkan oleh gempa, sebutit telur Elang terjatuh dari sarangnya. Beruntung, telur tersebut tidak pecah. Mungkin lebih beruntung lagi, kerena ia tepat jatuh disemak-semak dekat sebuah peternakan ayam. Karena merasa iba, seekor induk ayam yang menemukan telur itu lalu membawanya pulang. Sang induk ayam merawat, memberinya kehangatan dan berharap ia menetas bersama telur-telur yang sedang di eraminya.
       Setelah tiba masanya, semua telur yang dieraminya pun akhirnya menetas. Tak terkecuali telur elang. Seekor anak elang yang cantik hadir diantara anak ayam. Namun Si Elang tidak menyadari bahwa dirinya adalah seekor elang. Ia menganggap bahwa dirinya sama seperti ibu yang telah menetaskannya.
      Lambat laun elang itupun beranjak dewasa. Seringkali saat megarahkan pandangannya ke angkasa biru, Ia menyaksikan seekor burung Elang mengangkasa dengan bebas dan gagah. Burung itu seperti menguasai angkasa. Iapun kemudian berkata pada ibunya. "Ibunda, apakah aku bisa terbang bebas seperti burung Elang?" Ibu dan teman-temannya justru menertawakannya. Salah seekor di antaranya malah berkata, "Terimalah kenyataan saudaraku, kita ini hanya seekor ayam, tak mungkin bisa terbang mengangkasa seperti mereka." Akhirnya Sang Elang mengubur impiannya untuk bisa terbang. Ia hidup menjadi seekor ayam sampai akhir hayatnya. 
     Tidak saja persoalan impian yang terkubur, lingkungan pun dapat menyebabkan seseorang menjadi Baik atau Jahat. Para peneliti psikologi terdahulu masih yakin bahwa seseorang memiliki sifat jahat dikarenakan mereka memang memiliki ‘bibit’ jahat sedari lahir. Namun Zimbardo, seorang Profesor Psikologi dari Universitas Stanford menemukan bahwa hal tersebut tidak benar. Ia menemukan bahwa faktor lingkunganlah yang lebih besar dalam membuat seseorang menjadi jahat. Pada tahun 1970an, ia melakukan eksperimen yang berisiko besar mengenai hal tersebut, yaitu “Stanford Prison Experiment”.
     Dalam eksperimen ini, sebagaimana dijelaskan dalam Ruang Psikologi (Webzine Psikologi Moderen), Zimbardo meminta bantuan sukarelawan untuk rela bermain peran sebagai sipir penjara dan narapidananya untuk 2 minggu penuh. Penelitian ini melibatkan orang-orang yang sama sekali tidak punya sejarah masuk penjara atau melakukan tindak kriminal apapun, dapat dikatakan bahwa mereka semua orang baik-baik. Dari awal penelitian, mereka betul-betul diskenariokan sebagai narapidana, mulai dari dijemput di rumah masing-masing dengan mobil polisi dan borgol dari polisi, hingga aturan-aturan di penjara simulasi yang terletak di ruang bawah tanah Universitas Stanford.
        Hari-hari pertama penelitian berlangsung sesuai perkiraan, namun pada beberapa hari setelah itu, ada kejadian-kejadian di luar dugaan. Para sipir mulai bertindak di luar instruksi dengan alasan ‘mendidik’ para napi yang tidak disiplin, diikuti dengan reaksi melawan dari napi. Bahkan ada salah satu napi yang sampai tantrum dan akhirnya harus dikeluarkan dari penelitian karena khawatir akan mendapati efek negatif dari eksperimen tersebut. Karena kekacauan yang terus menerus terjadi, penelitian tersebut diakhiri hanya dalam waktu seminggu.
      Dari penelitian tersebut, Zimbardo menarik kesimpulan bahwa faktor lingkungan adalah faktor yang sangat kuat dan dominan dalam mengubah seseorang dari baik menjadi jahat ataupun sebaliknya (penemuan yang menentang teori lama bahwa disposisi (kepribadian) seseorang merupakan hal yang dominan dalam merubah tingkah laku seseorang). Dan dari penelitiannya, Zimbardo menawarkan solusi, yaitu Heroism atau ‘kepahlawanan’ untuk melawan bobroknya sistem dan situasi yang dihasilkan demi kebaikan umat manusia. 
     Kepahlawanan yang dimaksud bukanlah pahlawan dalam artian Superman atau hal-hal yang mencengangkan lainnya. Yang dimaksud dengan kepahlawanan adalah kepahlawanan dalam artian berani menentang sistem yang buruk dan fokus pada pemecahan situasi yang buruk menjadi baik dengan menjadi sedikit ‘devian’ atau berbeda dari orang lain. Zimbardo mencontohkan bahwa dalam kasus penjara Abu Ghraib, ada seseorang yang berani mengungkap perlakuan para sipir yang tidak manusia di sana kepada media, yaitu Joe Darby. Ia berani menanggung ancaman-ancaman teror hanya untuk melakukan ‘apa yang seharusnya ia lakukan’. Dan itulah yang disebut dengan kepahlawanan oleh Zimbardo yang ia tuangkan dalam bukunya, “The Lucifer Effect”
      Adalah Hwang Juck-Joong, seorang dokter di Korea Selatan juga melakukan hal yang sama dengan Joe Darby. Martonis Tony dalam bukunya yang berjudul Nyala Satu Tumbuh Seribu bertutur bahwa pada suatu malam di bulan Januari 1987, menjelang akhir pemerintahan Presiden Chun Doo-Hwan, sang dokter dipanggil polisi. Hwang Juck-Joon adalah seorang dokter ahli patologi yang bekerja di bawah Menteri Dalam Negeri pada Lembaga Nasional Penyidikan Ilmiah. Ia sudah rutin diminta oleh kepolisian untuk membantu mereka dalam memecahkan kasus kejahatan.
       Malam itu, Hwang Juck-Joon diminta kepolisian untuk memeriksa jasad seorang mahasiswa yang berumur 21 tahun, Park Jong-Chul, seorang aktivis yang terlibat dalam berbagai demonstrasi di Korea Selatan. Mahasiswa itu tewas saat dalam pemeriksaan polisi (Park Jong oleh paea penyidik polisi diusut terkait dengan kondisi politik Korea). Saat memeriksa tubuh mahasiswa itu, ia menemukan adanya pendarahan dalam. Jelas Park tewas tercekik. 
        Yang mengherankan Hwang adalah sebab kematian Park yang diumumkan ke publik tidak sama dengan hasil temuannya. Menurut pengumuman resmi pihak berwenang, Park Jong-Chul tewas "karena shock". Hwang tidak bisa menerima kondisi yang berlawanan dengan hasil otopsinya. Hati nuraninya memberontak. Namun, disisi lain, dokter yang berumur 40 tahun itu tidak mau merusak lembaga tempatnya mengabdi. Maka, ia kemudian membisikkan hasil otopsinya kepada temannya, seorang wartawan, tentang apa yang sebenarnya ia temukan malam itu.
       Dr. Hwang tidak menduga kalau temannya itu akan memuat kesaksiannya. Ia mengira bahwa semua hal yang diungkapkan tentang kematian Park Jong-Chul hanya sebagai catatan sejarah. Tulisan yang diterbitkan berdasarkan hasil otopsi akhirnya tersiar luas. Masyarakatpun tahu bahwa pihak berwenang tidak saja telah membunuh seorang wartawan negara, namun juga mendustakan kepada khalayak ramai perihal kematian mahasiswa tersebut. Terjadilah demonstrasi besar-besaran yang berkecamuk. 
     Presiden Chun Doo-Hwan memerintahkan adanya pengusutan penyebab kematian Park Jong-Chul. Disini dr. Hwang juga diminta keterangan. Akhirnya pemerintahpun mengakui: Park mati karena disiksa oleh polisi. Selama masa pemeriksaan, anak muda itu disiksa dengan berulang-ulang memasukkan kepalanya ke bak air hingga bagian lehernya retak, yang berakibat pada kematian. Para pembunihnya kemudian di hukum. Lima polisi yang menjalankan interogasi terhadap Park dipenjara 5 sampai 15 tahun, termasuk Jendral Besar Kang Min Chang yang menyuruh bawahannya tutup mulut untuk kasus ini. 
    Terbongkarnya kasus tersebut tidak membuat dr. Hwang merasa menang. "Saya harus mengundurkan diri," katanya. Ia telah menyebabkan para atasannya kehilangan muka. Selain itu, menurut etika masyarakatnya, ia tak bisa terus bekerja di kantor itu; apalagi pekerjaannya selalu berhubungan dengan kepolisian. Disisi lain, ia sering menerima telpon gelap dan surat kaleng yang selalu mengganggunya. 
     Cobalah kita perhatikan kondisi Kota kita ini. Kadang kita menemukan banyak pelanggaran terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Dan mungkin pula tidak jarang kita menyaksikan pelanggaran hak-hak asasi manusia di depan mata kita. Sebagai warga, sudah sepatutnya jika kita tidak membiarkan kejadian-kejadian tersebut terus berlangsung. Mengapa? Apabila kita membiarkan para pelanggar tersebut, berarti kita sudah turut andil dalam menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Dan lingkungan inilah yang nantinya dapat akan menghadirkan para penjahat. Jadi, mari menjadi Pahlawan untuk Kota Baubau.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More