Blog yang berisi catatan-catatan singkat dan sederhana. Mencoba menangkap dan menulis pesan bijak dari berbagai sumber.

About

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 25 September 2014

Dunia Lain di Specimen Art

Gambar: rizkiaextoramadhan.wordpress.com
             “Segala puji milik Allah. Dzat yang telah mengakhiri ambisi para raja, memindahkan mereka dari istana menuju pusara, memindahkan mereka dari kemilau cahaya ke dalam gelap gulita liang lahat, mengubah pola hidup mereka dari indahnya bersendagurau dengan permaisuri, para gundik, dan para putra mahkota ke dalam nestapa dan derita, serta mengubah kebiasaan mengkonsumsi makanan-minuman terlezat dan terpilih kedalam kubangan lumpur dan timbunan tanah yang tak terperi”. Jelas Ustadz Muhammad Hasan dalam buku Konsistensi (Menuju kematian husnul khotimah). 
             Ini tentang kematian! Ada pertanyaan menarik yang diajukan oleh John Naisbitt, Sang penulis Megatrends dan Global Paradox: “Apakah yang hilang dari masyarakat modern kita tatkala kita membicarakan kematian?”Hal penting yang ingin disampaikan oleh Naisbith dari pertanyaan ini, sebagaimana yang telah diungkapkannya, bahwa semakin penting keterikatan manusia pada kehidupan di bumi dan semakin memuncak kehidupan yang mereka alami, semakin takutlah mereka akan kematian. 
            Dalam situs Wikipedia tertulis bahwa Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organism biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah kematian, tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan. Ini adalah definisi umum. Dalam pandangan orang-orang yang beragama, atau kepercayaan akan adanya hari kemudian, kehidupan tidak berhenti sampai disini. Masih ada kehidupan sesudah kehidupan dunia. Sebuah dunia lain pasca kematian. 
                Oh iya, tampaknya kaum Atheis tidak percaya dengan adanya kehidupan sesudah kematian. Dan tampaknya lagi, mereka harus berpikir lagi dengan keyakinannya itu. Seorang ilmuwan Jerman bernama Berthold Ackermann berhasil membuktikan keberadaan akhirat (dunia lain sesudah kematian) melalui penelitian ilmiah. Penelitian ini adalah salah satu upaya untuk mengetahui misteri kematian. Sebelum ini, berbagai jurnal dan penelitian medis terus berupaya mengungkap rahasia di balik sakaratul maut. 

Penelitian Ilmiah tentang Kehidupan Akhirat 
              Sebagaimana di beritakan oleh situs Dream.co.id, sebelumnya beberapa jurnal dan penelitian, menganggap sakaratul maut sebagai halusinasi dari orang yang akan meninggal. Namun baru-baru ini sebuah tim psikolog yang dipimpin Berthold Ackermann berhasil mengungkapkan pengalaman menjelang kematian itu adalah hal yang nyata, dan menjadi bukti keberadaan akhirat dan sebagai bentuk dualism antara pikiran dan tubuh. 
            Berita mengejutkan ini diumumkan setelah melalui eksperimen secara klinis, adanya beberapa bentuk kehidupan setelah kematian. Hal ini didasarkan pada kesimpulan dari penelitian tipe baru tentang pengalaman mendekati kematian yang diawasi secara medis. Dalam penelitian menggunakan metode canggih tersebut, pasien secara klinis 'dimatikan' selama hampir 20 menit sebelum dihidupkan lagi.
         Penelitian dan penemuan kontroversial ini telah diulang terhadap 944 sukarelawan selama empat tahun terakhir. Dalam proses mematikan dan menghidupkan kembali pasien untuk mencaritahu pengalaman mendekati kematian, tim membutuhkan campuran rumit obat-obatan termasuk epinefrin dan dimethyltryptamine. Campuran obat-obatan rumit itu memungkinkan tubuh untuk bertahan saat mati dan proses penghidupan kembali tanpa merusak bagian-bagian tubuh. 
            Proses itu juga melibatkan alat canggih bernama AutoPulse. Alat ini sudah digunakan dalam beberapa tahun terakhir untuk menghidupkan kembali orang mati antara 40 menit hingga satu jam sebelumnya. Tim kemudian memonitor dan menyusun testimony dari para pasien selama sakaratul maut, mati dan hidup kembali. Meskipun bervariasi, namun pasien memiliki memori yang hamper mirip satu sama lain ketika mereka dalam keadaan sakaratul maut, mati dan hidup kembali. 
           Para pasien mengatakan mereka merasa terpisah dari tubuhnya, kemudian memiliki perasaan melayang dan tenang, nyaman dan penuh kehangatan. Mereka juga merasa terputus dari dunia nyata dan melihat cahaya yang luar biasa terang. 
          Tim yang dipimpin Ackermann menyadari penemuan mereka ini sangat mengejutkan semua orang, termasuk beberapa dari kalangan agamis yang selama ini menggambarkan sakaratul maut. Dan kematian yang ternyata berbeda dari apa yang digambarkan para pasien. Para relawan adalah orang-orang yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda, mulai dari Kristen, Islam, Yahudi, Hindu dan ateis.

Pesan Kematian pada Specimen Art 
          Dalam buku High Tech High Touch, John Naisbitt menjelaskan bahwa Tema paling kuat dalam specimen art adalah kematian, yang menggantikan seks sebagai tabu terbesar Amerika. Atwork yang menghancurkan kepekaan warga dan memukau sekaligus memuakkan. Gambar kematian yang gamblang –foto mayat yang terpenggal kepalanya, kepala orang yang sudah mati tergeletak di atas piring, video yang melompat bunuh diri- telah memprovokasi kegembiraan manusia. 
       Apa yang dimaksud dengan Specimen Art? Masih dalam High Tech High Touch, secara gamblang Naisbitt menjelaskan bahwa penyempitan pusat perhatian para seniman dari jagad raya, kepada alam, lalu kepada manusia, telah melahirkan gerakan seni baru yang dinamakan specimen Art. Para seniman specimen, baik ilmuwan maupun senimannya, menanggapi kekuatan ilmu hayati yang baru secara naluriah dan emosional, sementara para teologiwan menanggapinya secara filosofis.
         “Specimen Art adalah seni yang meminjam dari, atau mengkritik, berbagai teori ilmiah, teknologi, serta pola figurative. Specimen Art adalah seni yang mengingatkan kita akan kemanusiaan kita melalui bentuk manusia atau pun berbagai aspek tubuh: sel, kulit, organ, tungkai dan keseluruhan tubuh. Specimen Art adalah seni yang memuja kemanusiaan kita dengan cara mencampakkan tubuh manusia secara visual dengan sesuatu yang bersifat seksual, tidak sempurna, bersifat spiritual, dan sebagai jasmani”. Jelas Naisbitt. 
         Apa efek dari gerakan Specimen Art ini? Pada suatu malam di tahun 1991, sekelompok juru foto New York menempel ratusan poster berukuran 4,5 x 7,5m di daerah Soho dan Chelsea, New York. Poster yang disebar di seluruh penjuru kota itu menampilkan dua sel besar yang berdampingan, satu terinfeksi HIV dan yang satu lagi tidak, tampak mencolok dengan huruf-huruf besar dan tebal, VISUALIZE THIS (bayangkanlah ini). 
     Anne Pasternak, seorang Direktur Eksekutif Creative Time, kelompok seni nirlaba yang menugaskan para seniman membuat seni eksperimental di wilayah public, menjelaskan dampak karya tersebut: “Sungguh amat mengesankan bahwa seorang seniman mampu menampilkan karya seperti itu pada waktu itu. Karya itu juga merupakan pesan yang penuh pengharapan pada saat kita tengah dilanda sejenis perasaan luar biasa, tengah berada pada masa kegelapan yang luarbiasa. Terdapat permintaan yang sangat besarakan poster itu. Karya ini merupakan sesuatu yang dinantinantikan”.
       “VISUALIZE THIS terasa sangat personal bagi orang yang terkena HIV dan AIDS. Poster tersebut memanusiawikan si sakit. Orang yang terinfeksi berbeda dengan yang tak terinfeksi hanya oleh struktur sel, bukan oleh spirit, bukan oleh jiwa, bukan oleh pikiran. “Bagaimana mendapatkan sel yang sehat?” karya ini bertanya menurut Paternak. “Dan bagaimana kita ikut serta dalam mewujudkan hal itu?” 
           Akhirnya, kematian adalah sesuatu yang pasti. Rangkaian kalimat dari Ust. Muhammad Hasan di awal paragraf tulisan ini tentu menggugah kesadaran kita. Setiap orang pasti mengalaminya. Dan sesudah kematian, masih ada kehidupan lain. Meluangkan waktu untuk membayangkan, mengingat atau menvisualisasikannya akan menghadirkan pengaruh yang sangat berarti bagi setiap orang. Dari sini, setiap jiwa dapat belajar dan memaknai kehidupan. Dari sini pula setiap kita dapat menjawab pertanyaan, untuk apa kita hidup, dan mau kemana kita sesudahnya?

Senin, 22 September 2014

Law of Attraction

Sumber gambar: www.yakomozyakut.com
           “Kunci motivasi adalah imajinasi atau membayangkan”, kata J.I. Suharli dalam bukunya yang berjudul Habit. Einstein menilai imajinasi lebih penting daripada ilmu pengetahuan. Orang yang selalu termotivasi dan berpikir positif selalu mempunyai gambaran yang jelas tentang masa depannya. Orang yang sudah punya tujuan hidup yang spesifik tentang apa yang dikatakan orang-orang yang mengenalnya saat akhir menutup mata. Tujuan hidup itu adalah hal positif selalu mempunyai gambaran yang jelas tentang masa depannya.
          Ribuan tahun yang lalu, muncul Vini, Vidi, Vici. Kata-kata ini berasal dari bahasa latin, yang berarti ‘Saya datang, saya melihat, saya menang/menaklukkan’. Kata yang akhirnya mendunia ini digunakan oleh Yulius Caesar dalam pesan yang di kirimkannya kepada senat Romawi. Sebuah pesan yang menggambarkan kemenangannya usai mengakhiri perlawanan Pharnaces II, penguasa Pontus, sebuah wilayah Persia yang terletak di pesisir selatan Laut Hitam.
           Siapakah Yulius Caesar? Michael H. Hart dalam buku ‘100 orang paling berpengaruh di dunia’ menulis: “Julius Caesar adalah salah satu figure politik paling kharismatik dalam sejarah dan memiliki berbagai macam bakat. Ia seorang politisi yang sukses. Jendral yang brilian, seorang orator yang hebat dan seorang penulis". Gelar kaisar pada kerajaan Jerman dan Czar untuk Rusia diambil dari kata Caesar. Sebuah tanda penghormatan dan penghargaan buat Yulius Caesar.
          Walaupun Vini, Vidi, Vici adalah kata-kata –kemudian menjadi terkenal- yang Ia kirimkan usai menaklukkan Pontus, tapi menurut pendapat Saya, 3 (tiga) kata ini sudah sejak lama menjadi mindsetnya. Sebuah keyakinan dalam merealisasikan visi besarnya sebagai seorang pemimpin. Karenanya tidak berapa lama usai menaklukkan Pontus, Ia ditunjuk menjadi Gubernur yang membawahi 3 (tiga) provinsi Romawi: Galia Cisalpine (sebelah utara Italia), Illyricum (daerah pesisir Yugoslavia), dan Galia Narbonese (pesisir Selatan Prancis). Sekaligus mengepalai 20.000 prajurit yang terdiridari 4 (empat) legiun. Sebuah prestasi yang hanya mampu dicapai oleh orang-orang besar dengan keyakinan kuat. 
       Kalau kita membaca sejarah beberapa tokoh besar, kita akan menemukan bahwa seringkali betapa mudah mereka merealisasikan mimpi-mimpinya. Mereka menjadi manusia efektif. Manusia yang jarak antara ide dan realisasinya begitu dekat. Mengapa bisa begitu? Kalau pertanyaan ini ditujukan kepada Ippho Santosa, maka Sang penulis 7 Keajaiban Rezeki ini akan menjelaskan kepada kita tentang Law of Attraction.
       Apa itu Law of Attraction? Menurut Ippho, Law of Attraction (LOA) atau Hukum Tarik-Menarik, secara sederhana adalah “Apa yang Anda pikirkan, itulah yang semesta berikan”. Pikiran kitalah yang yang menarik segala sesuatu itu terjadi. Thoughts become things. Tentu saja, itu terjadi dengan izin Yang Maha Kuasa. Bukankah Dia itu persis seperti persangkaan hamba-Nya? 
         Akan tetapi, LOA itu punya hokum-hukum tersendiri. Berikut Saya kutipkan pendapat Ippho Santosa tentang hokum LOA dalam buku 7 Keajaiban Rezeki. Tapi biar singkat, Saya membaginya menjadi 4 (empat): 
          Pertama, Doa itu terkait erat dengan LOA. Keduanya saling menguatkan satu sama lain. Pada hakikatnya doa, impian, dan harapan itu kurang-lebih sama saja. Ianya adalah sesuatu yang ingin Anda wujudkan. Terdapat satu buhul (ikatan) yang menghubungkan Anda dengan orang-orang disekitar Anda? Sehingga mau idak mau, buhul ini mempengaruhi terwujud atau tidaknya impian Anda. Begitu impian orang-orang disekitar Anda selaras dengan impian Anda, berarti impian Anda menjadi lebih ‘bersayap’. Dimana impian Anda akan lebih cepat terwujud. Sangat cepat! 
         Kedua, Pikiran yang kosong itu gampang kesambet. Jangan salah paham, ini sama sekali bukan soal kerasukan. Maksud Saya, pikiran yang kosong mudah dikalahkan oleh pikiran yang berisi. Pikiran yang lemah mudah dikalahkan oleh pikiran yang kuat. Pikiran yang ragu-ragu mudah dikalahkan oleh pikiran yang yakin. 
        Ketiga, Sebagian kita kadang menggerutu, mengapa Yang Maha Kuasa tidak mau mengabulkan doa dan mewujidkan impian kita. Padahal bukan begitu. Justru kitalah yang tidak mematuhi hokum-hukum LOA. Ingatlah, doa itu terkait erat dengan LOA. Terbukti, orang atheis sekalipun dapat mewujudkan impiannya, semata-mata karena ia mematuhi hukum-hukum LOA. 
       Keempat, Gabungan antar adab doa dan hokum LOA membuat impian Anda terwujud dalam waktu yang jauh lebih cepat! Jadi, gabungan keduanya, bukan salah satunya. Menurut paham otak kiri, tentu ini sulit untuk diterima, sampailah ia benar-benar mencoba dan membuktikannya. 
             Oh Iya, ada pertanyaan menarik yang ditujukan kepada Adi W. Gunawan, penulis buku The Secret of Mindset: “…Kenapaya kok saya belum bisa mengaktifkan The Law of Attraction dalam diri Saya? Padahal Bob Proctor mengatakan, “If you see it in your mind, you’re going to hold it in your hand”. Saya melakukan visualisasi setiap hari, tetapi tetap belum bisa mendapatkan apa yang saya inginkan. Apa yang salahya, Pak?” 
          Dalam The Secret of Mindset-nya, Adi menjawab: “Bob Proctor tidak salah saat ia berkata demikian. Namun, yang perlu kita cermati, hanya bisa “melihat” di dalam pikiran kita –apa yang kitainginkan- tidak cukup. Bila Anda cukup teliti, ada tiga langkah sukses yang diajarkan di The Secret untuk mengaktifkan The Law of Attraction, yaitu ask (meminta), believe (meyakini), dan receive (menerima). Jadi jelas masih ada satu komponen penting, yaitu belief yang harus diperhatikan agar bias mendapatkan apa yang diinginkan. Lima prinsip untuk mengaktifkanThe Law of Attraction, yaitu: Impian, believe, syukur, pasrah, doa”. 
         Banyak orang yang biasa melakukan visualisasi dengan sangat jelas dan spesifik tetapi tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Padahal mereka melakukan visualisas dan diperkuat dengan afirmasi yang juga di lakukan setiap hari. Yang jarang mereka sadari adalah seringkali saat melakukan visualisasi atau afirmasi, mereka sebenarnya hanya percaya sebatas pikiran sadar. Pikiran bawah sadar mereka ternyata tidak percaya kalau mereka bisa mendapatkan yang mereka inginkan, yang mereka visualisasikan atau yang meraka afirmasikan. 
           “Bagaimana kita tahu pikiran bawah sadar kita menolak? Bagaimana kita tahu jika belief kita tidak mendukung kita dalam mendapatkan hal-hal yang kita inginkan? Caranya sangat mudah. Coba cek perasaan anda. Setiap kali Anda menginginkan sesuatu dan muncul perasaan tidak enak di hati Anda, ini berarti ada penolakan oleh pikiran bawah sadar. Hal ini berarti ada belief atau value yang konflik”. Jelas Adi.

Sabtu, 13 September 2014

SI BUTA VS “GOLIATH”

            Ia masih berusia 4 (empat) tahun, ketika Jara, sebuah alat tajam yang digunakan untuk melubangi kulit secara tak sengaja melukai matanya. Tak berapa lama, infeksi lalu menyeberang ke sebelah mata lainnya. Akibatnya, Ia mengalami kebutaan total di kedua matanya. Siapakah dia? Namanya adalah Louis Braille, dilahirkan di Coupvray, sebuah kota kecil di dekat Paris Prancis, pada 4 Januari 1809. 
         Saat memasuki usia sekolah, Ayahnya, Rene Braille yang bekerja sebagai pembuat sepatu dan perlengkapan berbahan kulit, bersama guru sekolah setempat setelah melihat kemauan yang kuat untuk belajar serta potensi yang besar pada Louis kecil, lalu mengizinkannya mengikuti pelajaran di kelas bersama teman-temannya yang berpenglihatan normal. Walau hanya dengan mengandalkan indra pendengaran, ternyata ia dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Satu-satunya kendala, ia tidak dapat membaca dan menulis pelajaran kecuali sebatas mendengarkan apa yang disampaikan gurunya secara lisan. 
           Dalam situs Biografi Tokoh Dunia, tertulis bahwa pada usia 10 tahun, ia memperoleh beasiswa untuk belajar pada Royal Institution for Blind Youth di Paris, sebuah lembaga pendidikan khusus untuk anak-anak tunanetra. Di sana, ia belajar membaca huruf-huruf yang dicetak timbul pada kertas dengan cara merabanya. Pada sekolah ini juga terdapat beberapa buku dengan sistem cetak timbul yang disediakan oleh pendiri sekolah, Valentin Hauy. Buku-buku ini memuat huruf-huruf berukuran besar yang dicetak timbul pada setiap halamannya. Karena ukuran huruf-hurufnya yang besar, ukuran bukunya pun terbilang besar sehingga harganya sangat mahal. Sekolahnya hanya memiliki 14 buku seperti ini.  
           Louis muda dengan penuh kesabaran berhasil ”melahap” semua buku itu di perpustakaan sekolahnya. Louis Braille dapat merasakan setiap huruf yang dicetak timbul pada buku-buku itu, tetapi cukup menyita waktu untuk dapat membaca dan memahami setiap kalimatnya. Dibutuhkan waktu beberapa detik untuk mengidentifikasi satu kata dan ketika telah sampai pada akhir kalimat, ia sering lupa tentang apa yang telah dibacanya pada awal kalimat. Louis yakin pasti ada cara yang lebih mudah sehingga kaum tunanetra dapat membaca secepat dan semudah orang yang dapat melihat. 
             Suatu hari pada 1821, seorang kapten angkatan bersenjata Prancis, Charles Barbier, berkunjung ke sekolah Louis. Barbier mempresentasikan penemuannya yang dinamakan night writing (tulisan malam), sebuah kode yang memungkinkan pasukannya berbagi informasi rahasia di medan perang tanpa perlu berbicara atau menyalakan cahaya senter untuk membacanya. Kode ini terdiri atas 12 titik timbul yang dapat dikombinasikan untuk mewakili huruf-huruf dan dapat dirasakan oleh ujung-ujung jari. Meskipun ciptaan Barbier ini telah terbukti berhasil untuk keperluan militer, tetapi tidak cocok untuk keperluan membaca dan menulis biasa. Akan tetapi, ini memberi petunjuk yang sangat berharga bagi Louis Braille ke arah apa yang sedang dicari-carinya. 
            Setelah pertemuannya dengan Charles Barbier, Louis Braille selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk membuat titik-titik dan garis-garis pada kartu-kartu untuk berusaha menciptakan tulisan yang cocok bagi tunanetra. Dia selalu mencobakan setiap perkembangan tulisannya itu kepada kawan-kawannya yang tunanetra. Menyadari bahwa jari jari kawan-kawannya lebih peka terhadap titik daripada terhadap garis, maka dia memutuskan untuk hanya menggunakan titik-titik saja dan mengesampingkan garis-garis bagi tulisannya itu. 
            Akhirnya, pada tahun 1834, ketika Louis Braille berusia awal 20-an, sempurnalah sistem tulisan yang terdiri dari titik-titik timbul itu. Louis Braille hanya menggunakan enam titik domino sebagai kerangka sistem tulisannya itu. Satu atau beberapa dari enam titik itu divariasikan letaknya sehingga dapat membentuk sebanyak 63 macam kombinasi yang cukup untuk menggambarkan abjad, angka, tanda-tanda baca, matematika, musik, dan sebagainya. 
             Ketika Louis Braille masih sedang menyederhanakan sistem tulisannya itu, dia diangkat sebagai guru di L'Institution Nationale des Jeunes Aveugles (Lembaga Nasional untuk Anak-anak Tunanetra) di Paris yang didirikan oleh Monsieur Valentin Hauy pada tahun 1783. Dia segera menjadi guru yang sangat disukai. Dia dipercaya untuk mengajar sejarah, geografi, matematika, tata bahasa Perancis, dan musik.
          Penemuan brilian Louis Braille telah mengubah dunia membaca dan menulis kaum tunanetra untuk selamanya. Sekarang, kode braille telah diadaptasi hampir ke dalam semua bahasa tulis terkenal di dunia. Louis telah membuktikan bahwa dengan motivasi yang kuat, kita dapat melakukan hal yang sebelumnya tidak masuk akal.
           Pada 6 Januari 1852, di usia yang ke-43, ia meninggal karena serangan TBC. Tanggal 4 Januari 1809, hari kelahiran Louis Braille, diperingati oleh dunia internasional sebagai "Hari Braille". Betapa tidak, berkat kelahiran anak tunanetra asal Perancis inilah maka lebih dari 40 juta orang tunanetra di seluruh dunia dapat belajar membaca dan menulis, dan oleh karehanya dapat mengenyam pendidikan sebagaimana rekan-rekannya yang awas. 
        Pada kasus Louis atau kasus lainnya, kadang orang meragukan, bagaimana mungkin ditengah kelemahan yang dimiliki, seseorang dapat berbuat lebih? Dalam buku ‘Adversity Quotient’, Paul G. Stolz mencoba menjelaskan ini dengan pendekatan ‘Ketidakberdayaan yang dipelajari'. Teori tersebut menjelaskan mengapa banyak orang menyerah atau gagal ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup. Karena alasan inilah teori ini menjadi unsur yang sangat penting dalam pembentukan Adversity Quotient. 
         Yang erat kaitannya dan muncul dari teori ketidakberdayaan yang dipelajari adalah ide bahwa kesuksesan seseorang mungkin terutama ditentukan oleh cara dia menjelaskan atau merespons peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Selingman dan peneliti-peneliti lainnya menemukan bahwa mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya tetap, internal, dan dapat digeneralisasi ke bidang-bidang kehidupan lainnya cenderung menderita di semua bidang kehidupan, sedangkan mereka yang menanggapi situasi-situasi sulit sesuatu yang sifatnya eksternal, sementara, dan terbatas cenderung menikmati banyak manfaat, mulai dari kinerja sampai kesehatan. 
       Carol Dweck dari University of Illinois adalah salah satu peneliti terkemuka dalam bidang perkembangan emosional. Ia menunjukkan bahwa anak-anak yang menganggap kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya tetap (“Saya Bodoh”) belajar lebih sedikit dibandingkan dengan anak-anak yang menganggap penyebab-penyebab kesulitan sebagai hal yang sifatnya sementara (“Saya tidak mencoba dengan sungguh-sungguh”). Anak-anak yang tidak berdaya memusatkan perhatian pada penyebab kegagalan. Anak-anak yang tidak berdaya mengaitkan kegagalan dengan kurangnya kemampuan –sebuah ciri yang stabil. Dari sini, kita bisa memahami dimana posisi Louis Braille. 
        Malcolm Gladwell mengibaratkannya sebagai pertempuran antara Si Lemah melawan Raksasa. “Raksasa” yang dimaksud Gladwell sebagimana dalam bukunya ‘David and Goliath’ adalah segala macam lawan kuat dari tentara dan prajurit perkasa sampai cacat, nasib buruk, dan penindasan. Pertempuran yang dimenangi secara ajaib oleh Si Lemah yang semestinya tidak bisa menang.
       “Raksasa bukanlah seperti yang kita duga”. Kata Gladwell. “Ciri-ciri yang tampaknya memberi kekuatan kepada raksasa seringkali justru sumber kelemahan besar. Dan kenyataan menjadi pihak yang lemah (underdog) bisa mengubah orang dengan cara-cara yang sering tidak kita sadari: membuka pintu dan menciptakan kesempatan dan mendidik dan mencerahkan dan memungkinkan apa yang tadinya tak terpikirkan”. 
           “Pilihlah bagimu seorang, dan biarlah ia turun mendapatkan aku. Jika Ia dapat berperang melawan aku dan mengalahkan aku, kami akan menjadi hambamu; tetapi jika aku dapat mengungguli dia dan mengalahkannya, kamu akan menjadi hamba kami dan takluk kepada kami”. Teriak seorang prajurit raksasa kearah pasukan lawan. Nama si raksasa adalah Goliath. Tingginya minimal 2 (dua) meter, mengenakan helm perunggu, dan zirah lengkap. Dia membawa lembing, tombak dan pedang. Seorang bujang mendampinginya, membawakan perisai besar. Untuk melindungi diri terhadap hantaman ke tubuh, Goliath memakai baju dengan ratusan keeping perunggu yang saling tumpang tindih. Baju zirah itu melindungi sampai lengan dan pahanya, dan barangkali beratnya diatas seratus pon.
          Pasukan lawanpun ketakutan. Tak seorangpun melangkah maju. Siapa yang dapat menaklukkan musuh semengerikan itu? Tiba-tiba seorang bocah gembala maju dan mengajukan diri. Namanya adalah David. Ia maju menghadapi Goliath tanpa menggunakan pedang dan baju zirah. Dia malah memungut lima batu yang mulus dan membawa batu-batu itu dalam tas yang disandangnya, sambil membawa tongkat gembala. Yang terjadi berikutnya telah melegenda. Daud mengambil batu dan menaruhnya di ketapel, lalu melontar batu itu ke dahi Goliath yang tak terlindung. Goliath jatuh terkapar. Daud berlari mendekatinya, mengambil pedang si raksasa, dan memenggal kepala Goliath. 
            Ketika Daud tampil pertamakali, banyak orang meragukannya. Alasan yang paling rasional adalah karena David bertubuh kecil, sedangkan Goliath itu raksasa. Semua menganggap bahwa kekuatan itu disebabkan kekuatan fisik. Tapi David menunjukkan kepada mereka bahwa kekuatan bisa berasal dari sumber lain, dengan melanggar “aturan”, menggantikan tenaga dengan kecepatan dan kejutan. 
           Sekarang banyak para pakar kedokteran yang percaya bahwa Goliath mengidap kondisi medis serius. Dia seperti seorang yang menderita Akromegali. Penyakit akibat tumor jinak di kelenjar pituitary. Tumor itu menyebabkan produksi berlebihan hormone pertumbuhan, yang kiranya menjelaskan ukuran luar biasa Goliath. Orang paling jangkung sepanjang sejarah, Robert Wadlow, menderita Akromegali. Ketika meninggal, tingginya 2,7 meter, dan dia sebenarnya masih bisa tumbuh lebih tinggi.
         Selain itu, salah satu efek samping Akromegali adalah masalah penglihatan. Tumor pituitary bisa tumbuh hingga mengimpit saraf mata, sehingga menyebabkan penderita Akromegali mengalami penglihatan yang terbatas dan diplopia, atau penglihatan ganda. Mengapa Goliath didampingi seorang bujang? Karena si bujang adalah penuntunnya. Mengapa dia bergerak lambat? Karena dunia yang dipandangnya tidak jelas.
            Yang dilihat oleh kawan sepasukan David adalah raksasa yang menakutkan. Kenyataannya, sumber ukuran si raksasa adalah sumber kelemahan terbesarnya juga. Ada hikmah yang kuat didalamnya bahi segala pertarungan melawan semua jenis raksasa. Yang kuat tidak selalu benar-benar kuat. 
           Arreguin-Toft mengajukan pertanyaan yang menarik. Apa yang terjadi dalam perang antara pihak yang kuat dan lemah ketika pihak lemah bertindak seperti David dan menolak bertempur seperti diinginkan pihak kuat, menggunakan taktik gerilya atau taktik lain yang tidak biasa? Jawabannya: dalam kasus-kasus demikian, persentase kemenangan pihak lemah naik dari 28,5% ke 63,6%. Sebagai gambarannya, populasi Amerika Serikat sepuluh kali lipat populasi Kanada. Jika kedua Negara tersebut berperang dan Kanada memilih menggunakan cara-cara tak biasa, menurut sejarah, sebaiknya menjagokan Kanada. 
          Kita menganggap kemenangan si Lemah sebagai peristiwa langka. Itulah sebabnya David dan Goliath begitu kuat kesannya sejak zaman dulu. Tapi Arreguin-Toft menunjukkan bahwa kenyataannya tidak demikian. Pihak lemah sering menang. Lalu mengapa kita kaget tiap kali seorang David mengalahkan Goliath? Mengapa kita otomatis menganggap bahwa seseorang yang lebih kecil atau lebih miskin atau lebih tak ahli pasti punya kelemahan? 
        “David berlari menuju Goliath, diperkuat oleh keberanian dan keyakinan. Goliath tidak bisa melihat musuhnya mendekat, diapun tumbang, karena terlalu besar dan lamban dan rabun untuk memahami bahwa keadaan telah berbalik. Selama ini kita telah bercerita secara keliru. David and Goliath berusaha meluruskannya”. Tutup Gladwell.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More