 |
Sumber gambar: Forguides.com |
Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an: “Tiap-tiap yang bernyawa (pasti) akan merasakan mati”. Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa tidak ada manusia yang abadi. Tiap-tiap jiwa pasti akan merasakan maut. Cepat atau lambat ia akan datang menjemput tiap insan baik mereka siap ataupun tidak.
Karena kematian bukanlah akhir segalanya, sebab masih ada kehidupan pasca kematian, maka setiap manusia hendaklah menyiapkan bekal yang banyak untuk mengarungi alam selanjutnya itu. Para ulama menasihatkan untuk memperbanyak amal kebaikan agar mendapat tempat yang baik di akhirat kelak.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al Qaari'ah: “Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikannya)nya, maka ia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang)”.
Rentang waktu yang disediakan oleh Sang Pencipta bagi setiap hambaNya untuk menjalani kehidupan di dunia, biasa disebut dengan usia atau umur. Tiap orang diberi jatah yang berbeda. Ada yang 10 tahun, 50 tahun, 100 tahun, bahkan sampai 900 tahun, seperti yang dimiliki oleh umat-umat terdahulu. Atau bahkan ada yang jauh lebih sedikit dari itu.
Dalam konteks batasan waktu ini, ada yang disebut dengan usia biologis dan usia sejarah. Usia biologis adalah rentang waktu yang Saya sebutkan di atas. 10, 50, 100, atau bahkan 900 tahun. Inilah yang dimaksudkan dalam Al Qur’an bahwa manusia tidak ada yang abadi.
Akan tetapi, ada manusia yang walaupun maut telah menjemputnya, ia masih tetap “hidup”. Usianya menembus batas waktu. Bahkan mungkin sampai akhir dunia. Inilah yang disebut sebagai usia sejarah. Usia yang dimiliki oleh orang-orang baik. Atau biasa kita menyebutnya dengan pahlawan. Manusia-manusia yang menghadirkan kemanfaatan bagi sesamanya. Mereka selalu dikenang karena kebaikannya. Menjadi abadi di hati banyak orang.
Orang baik adalah orang yang memiliki energy positif. Dr. Taufik Al Kusayer dalam bukunya yang berjudul Seni Menikmati Hidup telah melakukan deteksi gelombang (aura) terhadap manusia-manusia seperti ini. Kata beliau: “Ketika energy seseorang positif, maka auranya akan besar dengan warna terang dan bentuknya yang indah, orang dengan aura ini kondisinya nyaman ketika siapapun berinteraksi dengannya, atau bahkan ketika mendekatinya tanpa terjadi interaksi dan percakapan apapun dengannya. Selama hidup, kita bersosialisasi dengan orang-orang yang kita merasa nyaman dan memberikan kepada kita energy positif.”
“Ketika energy seseorang negative, maka auranya akan memiliki warna yang pucat dan bentuk yang mengkerut, permukaannya meliuk-liuk atau terpecah-pecah. Aura ini dalam perannya akan memiliki muatan dan dampak yang negative bagi orang yang mendekatinya. Orang-orang yang memiliki aura dengan energi negative bisa diketahui melalui sifatnya yang banyak marah, merasa frustasi, pesimis, tidak percaya kepada orang lain, penakut, ragu-ragu, lemah iman, membenci orang lain, pelit, pengecut, tidak merasa puas, tidak memiliki obsesi, dictator, angkuh, dikendalikan syahwat dan tidak seimbang.”
Aura positif terpancar dari Qolbu atau hati yang bersih. Yang tidak tertutupi oleh sekat-sekat kesombongan, dendam, dengki, fitnah, prasangka buruk dan lain sebagainya. Hablum minan nas-nya mempesona. Dengan begitu baik Ia menjaga hubungan yang harmonis dengan sesamanya. Jika ada gesekan, segera dilakukan islah. Sesuai dengan perintah Tuhannya.
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS: Al Hujjarat, 10)
Pada ayat ini secara tegas Allah menginginkan hambaNya untuk berada pada gelombang (aura) yang sama. Satu dalam pancaran energy positif. Ketika terjadi perbedaan gelombang (positif VS negatif), maka gesekan terjadi. Tetapi jika gesekan mewujud, Allah menyeru untuk segera mendamaikan keduanya. Agar gelombangnya kembali sama (positif).
Sekali lagi, siapakah orang yang berada pada gelombang positif ini? Mereka adalah orang yang kembali pada fitrah. Sedang fitrah manusia adalah ber-Tuhan. Dan Islam adalah agama fitrah.
Allah SWT berfirman: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS: Ar Rum, 30)
Sayyid Quthub berkata: “fitrah merupakan jiwa kemanusiaan yang perlu dilengkapi dengan tabiat beragama, antara fitrah kejiwaan manusia dan tabiat beragama merupakan relasi yang utuh, mengingat keduanya ciptaan Allah pada diri manusia sebagai potensi dasar yang memberikan hikmah, mengubah diri kearah yang lebih baik, mengobati jiwa yang sakit, dan meluruskan diri dari rasa keberpalingan.”
Dan jika manusia sudah berada pada kondisi seperti ini, maka Ia akan memperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup. Jiwa dan raganya sehat. Terhindar dari tekanan-tekanan psikologis yang bisa menyebabkan penurunan daya tahan tubuh dan mudahnya intervensi penyakit.
Saya teringat kembali dengan Hadits Baginda Rasulullah SAW: “Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh (manusia) ada segumpal daging. Bila ia baik (sehat) maka akan baiklah (sehatlah) seluruh tubuh. Jika ia rusak (terganggu) maka rusaklah (terganggulah) seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah Qolbu.”
Para ulama menerangkan kata al-Qolbu dalam hadits di atas memiliki dua arti. Pertama, al-Qolbu berarti roh atau jiwa, sesuatu yang abstrak dalam tubuh. Kedua, al-Qolbu berarti jantung (heart) yang terletak di rongga dada, bukan hati (liver) seperti sering diartikan orang, sebab hati dalam bahasa Arab disebut Al-kabidu yang terletak agak kebawah rongga dada.
Ahmad Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul Puasa menuju Sehat Fisik dan Psikis menjelaskan bahwa makna pertama Qolbu yang berarti roh atau jiwa, berkaitan dengan ilmu kedokteran yang lazim disebut psikosomatik.
Tekanan-tekanan psikologis seperti dendam, jengkel, iri, kecewa, tidak bahagia, takut, persaingan tidak sehat, berkorelasi tinggi terhadap menurunnya daya tahan tubuh.
Sebagian besar penyakit seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung, asma, semua penyakit alergi dan lain-lain, selain disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap pemeliharaan kesehatan jasmani, juga karena disebabkan oleh beban pikiran yang terlalu berat, berupa tekanan kejiwaan. Hal ini juga menyebabkan fungsi jantung menjadi tidak normal sehingga berpengaruh pula pada kerja pancaindra.
Maka Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menyebutkan bahwa hal-hal seperti berbaik sangka, tawadhu, ikhlas, zuhud, kasih sayang, dan sebagainya dapat menyelesaikan tekanan-tekanan psikologis atau kejiwaan. Sehingga pada akhirnya dapat menghadirkan kesehatan jiwa.
Di Idul Fitri (1 Syawal), kaum muslimin, khususnya di Indonesia punya tradisi Istihlal (meminta halal) dengan Silaturrahm dan berjabat tangan saling memaafkan. Ahman Syarifuddin menjelaskan: “Pendekatan komunikasi semacam ini sangat bermanfaat bagi kesehatan jiwa khususnya jantung dan efektif menghindari psikosomatik. Ia mencairkan kebekuan, melepaskan belenggu ketegangan, meluruskan benang kusut, dan menyelesaikan problem dan kesulitan. Sesuatu yang tadinya keruh dalam jiwa menjadi jernih, beku menjadi cair, dan yang terikat menjadi lepas dan bebas. Jiwa menjadi lebih santai, ceria dan fress.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al A’raf ayat 199: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan (dan atau tradisi yang positif) serta berpalinglah dari orang-orang bodoh.”
Nah, saat Idul Fitri ini kita semua kembali menjadi baik. Hasil gemblengan Allah di sebulan Ramadhan. Maka yang memancar dari Qolbu adalah gelombang kasih sayang. Dari diri Setiap muslim menyeruak energy positif. Tiada riya, takabur, dengki, dendam, fitnah adu domba, bangga diri dan berburuk sangka. Manusia kembali pada fitrahnya. Dan jika sudah begini, insan bisa menjadi “abadi”. Usia sejarahnya akan jauh melampaui usia biologisnya. Tetap “hidup” walau sudah mati.
Kita (di Indonesia), memberi simbol ketupat untuk Idul Fitri. Dan menjadikan hari lebaran sebagai tradisi untuk silaturrahm dan saling memaafkan. Maka Saya menyebut Idul Fitri sebagai Ketupat Jiwa dan Tradisi Hati.