Blog yang berisi catatan-catatan singkat dan sederhana. Mencoba menangkap dan menulis pesan bijak dari berbagai sumber.

About

Sabtu, 14 Desember 2013

Budaya Malu, Samurai Jepang & Syara Pata Anguna

          'Malu itu sebagian dari Iman'. Ini potongan Hadits. Kalau ini sudah menjadi perkataan Rasulullah SAW, menurut pendapat saya, hal ini akan memberikan hikmah dan kemaslahatan yang sangat besar dibalik pelaksanaannya. Tapi maaf, dalam tulisan ini saya tidak akan membahas lebih panjang tentang tafsir Hadits ini, tapi sekedar melihat pengaruh kata 'malu' dalam keseharian kita.
           Ada apa dengan Malu? Dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh Dinas Tata Kota Baubau, pada 28 November yang lalu, saya sempat bertanya pada Prof. Ananto Yudono, seorang pakar tata kota yang juga pernah menempuh studi di Jepang. "...mengapa Jepang menjadi salah satu negara dengan angka bunuh diri paling tinggi di dunia?" Kata Professor yang juga menjadi dosen di jurusan Arsitektur FT-Unhas ini, bahwa hal tersebut tidaklah 'melulu' berkaitan dengan persoalan stress. Tapi bunuh diri di Jepang berkaitan dengan kehormatan. Ini persoalan nilai dan keyakinan. Mereka lebih baik bunuh diri ketimbang malu karena gagal melakukan atau menggapai sesuatu.
         Dari jawaban Sang Guru besar, saya berkesimpulan bahwa ini terkait dengan budaya malu. Seorang teman peserta seminar berbisik kepada saya; "inilah juga yang mungkin menjawab -walau tidak sampai bunuh diri- seorang perdana menteri Jepang akhirnya mengundurkan diri karena gagal menjalankan roda pemerintahan dengan baik."
         Pertanyaannya adalah mengapa di Jepang penerapan budaya malu yang kadang berujung dengan bunuh diri ini begitu "ketat"? Kalo kita menarik garis sejarah ke masa lalu, khususnya di masa para Samurai, kita akan menemukan salah satu rahasianya. Kalau berbicara tentang Samurai, rasanya bukanlah sesuatu yang asing bagi kita semua, karena lagenda para Samurai sungguh terkenal diseluruh dunia. Pun telah banyak kisah tentang kehebatan para pejuang Jepang ini yang di angkat kelayar lebar. Diantaranya adalah film Seven Samurai yang disutradarai oleh Akira Kurosawa. Film ini dianggap sebagai salah satu film terbaik di dunia, dan mempengaruhi banyak sutradara besar lainnya seperti George Lucas, Sang pembuat Star Wars. 
         Tahun 2003 yang lalu, Hollywood memproduksi Film The Last Samurai, yang dibintangi oleh aktor yang juga terkenal dalam 'Mission Imposible', yaitu Tom Cruise. Film yang kemudian menjadi box office ini di garap berdasarkan sejarah toko samurai terakhir Jepang, Saigo Takamori.
         Eko Laksono dalam bukunya yang berjudul Imperium III menjelaskan bahwa sebelum restorasi Meiji, Jepang dikuasai oleh shogunat, sebuah rezim pemerintahan militer yang dipimpin oleh shogun. Pemerintahannya sendiri dikenal dengan nama Bakufu. Klan Tokugawa telah menjadi klan penguasa Jepang sejak 1603 hingga dimulainya era Meiji pada 1868. Untuk menjaga stabilitas dan menangkal gangguan dari luar, Tokugawa terpaksa melakukan politik isolasi dari luar sejak tahun 1669. Negara-negara barat yang pernah datang ke Jepang (Portugis dan Spanyol) semua diusir keluar, kecuali Belanda. Itupun hanya diperbolehkan berada di Nagasaki. Kedamaian sempat tercipta sepanjang 250 tahun lamanya. 
           Para shogun awalnya tidak sadar, bahwa politik isolasi ini justru membuat Jepang menjadi negara yang 'jalan di tempat'. Informasi dari luar relatif terputus. Sampai tahun 1853, ketika Laksamana Matthew C. Perry memimpin armada Amerika Serikat, dengan 65 moncong meriam di sisi-sisi kapal memasuki perairan Tokyo, Jepang akhirnya tersadar, sesuatu harus dilakukan. Perombakan besar-besaran pun dilakukan. 30 tahun setelah Restorasi Meiji (1868), Jepang sudah mensejajarkan kekuatan ekonomi dan militernya dengan negara-negara termaju di dunia. 
           Yang menarik untuk dipertanyakan dalam sejarah Jepang ini adalah apa yang dilakukan para kesatria berpedang selama 250 tahun berada dalam kedamaian? Masalahnya, tidak banyak peperangan dalam kurun waktu tersebut. Ternyata ada hikmah dan pelajaran penting yang diberikan oleh para Samurai. Kaum Samurai sebagai kelas elit dan menjunjung nilai-nilai moral yang tinggi mempunyai kewajiban untuk menjadi teladan dalam masyarakat. Mereka harus menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat bagi masyarakat banyak. Seorang Samurai harus menjaga kehormatan status mereka dan menjauhkan diri dari rasa malu. Jadi pada masa ini, ada kanalisasi nilai-nilai moral yang mengagumkan. Dan rupanya berhasil sampai sekarang.
          Selama 250 tahun mereka berhasil melakukan internalisasi nilai-nilai budaya tanpa penetrasi budaya lain dari luar. Kalau ada yang patut disyukuri oleh bangsa jepang di masa isolasinya, maka kanalisasi budaya inilah salah satunya. Luar biasa, kehormatan hadir dari kemampuan mereka menjauhkan diri dari rasa malu.
         Kalau kita menyaksikan Film tentang para Samurai atau para Yakuza, kita akan menemukan bahwa saking menjaga kehormatan mereka, para samurai bahkan rela melakukan seppuku. sebuah ritual bunuh diri daripada mati tidak terhormat karena kalah dalam perang atau tidak mempu mengemban amanah dengan baik.
           Masih dari seminar Tata Kota yang berlangsung di Aula Kantor Walikota tersebut, Dr. Ir. H. Mudjur Muif, menyampaikan gambaran singkat tentang penegakan hukum berdasarkan Syara Pata Anguna. Putra Baubau yang juga konsultan perencana wilayah ini menyebutkan 4 (empat) hal yang akan ditindaki secara hukum Agama dimasa kesultanan; Pulu Mosala (ucapan yang tidak pantas), Mingku Mosala (perbuatan/tindakan yang tidak terhormat/membuat orang lain tersinggung), Lempagi (Pelanggaran Hak/melampaui batas), dan Pebula (pelecehan seksual/perselingkuhan). Dan pilihan hukumannya adalah Gogoli (leher diikat dan ditarik kiri-kanan), Labua yitawo (ditenggelamkan dilaut), Tobhanaka (dibuang/diasingkan) dan Tatasi pulangi (dikeluarkan dari kekerabatan/kelurga). 
         Terus terang, Saya baru mengetahui secara detail tentang Syara Pata Anguna ini lewat lisan beliau. Ini sungguh 'keren'. Secara tersirat pula mengharuskan penghuni 'negeri' agar menerapkan budaya malu. Dan dalam falsafah Bhinci-bhinciki kuli, budaya malu sangat tegas diamanahkan. Tapi, yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah pernahkah kita warga Baubau menerapkan budaya malu dalam keseharian kita? Malu mendzolimi orang lain, malu korupsi, malu mempermalukan orang lain, atau malu mempermalukan diri sendiri? Jika tidak, terlepas dari plus minus bangsa Jepang, orang buton atau orang Indonesia secara umum perlu belajar banyak tentang budaya Malu dari bangsa Jepang.
       Dan jangan sampai terjadi, falsafah Bhinci-bhinciki kuli yang mengandung makna hakiki dan universal hanya berada diatas menara gading atau hanya sekedar dibanggakan, tapi dalam penerapannya jauh panggang dari api.

1 komentar:

Bingung Cari Agen Slot Terlengkap Dan Terpercaya ?

Yuk Daftar Dan Bermain Di Bolavita .site

Daftar Akun Anda dan Menang jackpot Hingga Ratusan Juta.

Dapatkan Bonus New Member 10% / Cashback Hingga 10%.
.
• Slots Games
• Ding Dong
• Tembak Ikan
• Bingo

NB : Bisa dimainkan di perangkat smartphone Android / iOS

Hubungi Kontak CS BOLAVITA Di Sini (24 jam Online):
.
• BBM: BOLAVITA
• WeChat: BOLAVITA
• WA: +62812-2222-995
• Line : cs_bolavita

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More