Blog yang berisi catatan-catatan singkat dan sederhana. Mencoba menangkap dan menulis pesan bijak dari berbagai sumber.

About

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 09 Desember 2014

Karena Kau telah Meng-Korupsi Hatiku

Gambar: Pekanbaru.co.id
             Kemarin (9 Desember 2014), saat berkunjung ke rumah orang tua, kusaksikan para Polisi dan Tentara berkerumun menjaga kantor Pengadilan dan Kejaksaan Negeri Kota Baubau. Kebetulan rumah orang tua Saya berhadapan langsung dengan kedua kantor tersebut. 
        Sementara tepat di depan rumah Saya (beberapa masuk halaman rumah), sekelompok mahasiswa sedang mempersiapkan aksi demonstrasi. Mereka sedang menunggu rombongan teman mereka yang sedang pawai mengelilingi Kota Baubau. Saya menyempatkan diri bertanya kepada salah satu dari mereka: “Ada apa ini?”. “Aksi memperingati hari anti korupsi Pak”. Jawab Sang mahasiswa. Jadi begitu ya. Hari anti korupsi. Pantesan aja di kampus yang Saya lewati ada mahasiswa sedang berorasi. 
         Saya jadi teringat foto-foto itu. Beberapa foto yang mengabadikan eksekusi mati Seorang keruptor beserta keluarganya di China. Beserta istri dan anak-anaknya. Mereka di eksekusi di sebuah lapangan, oleh tentara negeri tirai bembu. Sangat mengerikan menurutku. Entah peluru jenis apa yang ditembakkan pada keluarga itu. Seorang gadis yang baru memasuki usia remaja (anak Sang koruptor), kepalanya nyaris hancur setelah ditembus peluru. Semua mereka tergeletak tanpa nyawa di tempat itu. Sebuah harga untuk korupsi di China. 
          Mengapa sih seseorang atau kelompok orang berani melakukan korupsi? Bahkan mereka tahu sendiri bahwa itu salah dan akan mendapatkan ganjaran berat jika tetap melakukannya. Tapi mengapa tetap terjadi? Tentu banyak jawaban. Dahulu, Saya selalu bercanda pada beberapa rekan, “kenapa sih, sudah ada tulisan ‘Di Larang Membuang Sampah di Sini’, tapi tetap saja di tempat itu banyak sampah. Atau maaf, “Kenapa ya di ditempat itu ada tulisan ‘Di Larang Kencing di Sini’, tapi tetap saja tiap hari ada bau pesing di tempat itu. 
          Mereka mengerti, paham dan sadar bahwa sesuatu itu adalah larangan. Dan ada konsekuensi hukum jika dilakukan. Tapi mengapa mereka tetap melakukannya? “Karena mereka sudah gila alias sakit jiwa, bahkan lebih gila dari orang yang benar-benar gila”. Jawab seorang teman. Kok bisa? “Coba lihat orang gila”. Katanya melanjutkan. “Orang gila, biasa melakukan hal-hal yang berbahaya, melanggar aturan, tapi, mereka tidak sadar atas apa yang mereka lakukan. Nah para koruptor itu, paham, sadar, tapi tetap melakukan peanggaran. Bukankah ini lebih gila dari orang gila?”. Wow… begitu ya. Tapi maaf, bukan Saya yang bilang gila lho. Hehehe…. 
          Ada pakar yang mengatakan bahwa korupsi bahkan sudah menjadi karakter. Maka korupsi akan menjadi sesuatu yang sukar untuk dirubah. OK, mari kita coba melihat, mengapa sesuatu itu bisa menjadi karakter? Bapak Sudharmono (2002), telah memberikan jawaban pada kita untuk pertanyaan ini: “Tanamlah pemikiran, kamu akan menuai tindakan. Tanamlah tindakan, kamu akan menuai kebiasaan. Tanamlah kebiasaan, kamu akan menuai karakter. Tanamlah karakter, kamu akan menuai nasibmu”. 
            Sederhananya begini; pemikiran, tindakan yang dilakukan berulang-ulang atau terus menerus, maka akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang atau terus menerus akan menjadi karakter. Sudah masuk di alam bawah sadar seseorang. Masuk ke dalam hati. Dan kita tahu bersama, sekitar 80% aktivitas manusia, dikendalikan oleh alam bawah sadarnya. Kalau sudah menjadi karakter, maka ia akan menjadi “nasib”. Berapa lamakah waktu yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah kebiasaan? Banyak para “pakar” yang menjawab 21 hari. Jadi, tidak butuh waktu yang lama untuk menjadi sebuah kebiasaan. 
         Tunggu dulu! Semua orang khan berada di ruang dan waktu. Apa yang bisa menyebakan lahirnya pikiran, tindakan, kebiasaan dan karakter negatif itu? Para peneliti psikologi terdahulu masih yakin bahwa seseorang memiliki sifat jahat dikarenakan mereka memang memiliki ‘bibit’ jahat sedari lahir. Namun Zimbardo, seorang Profesor Psikologi dari Universitas Stanford menemukan bahwa hal tersebut tidak benar. Ia menemukan bahwa faktor lingkunganlah yang lebih besar dalam membuat seseorang menjadi jahat. Pada tahun 1970an, ia melakukan eksperimen yang berisiko besar mengenai hal tersebut, yaitu “Stanford Prison Experiment”. 
         Dalam eksperimen ini, sebagaimana dijelaskan dalam Ruang Psikologi (Webzine Psikologi Moderen), Zimbardo meminta bantuan sukarelawan untuk rela bermain peran sebagai sipir penjara dan narapidananya untuk 2 minggu penuh. Penelitian ini melibatkan orang-orang yang sama sekali tidak punya sejarah masuk penjara atau melakukan tindak kriminal apapun, dapat dikatakan bahwa mereka semua orang baik-baik. Dari awal penelitian, mereka betul-betul diskenariokan sebagai narapidana, mulai dari dijemput di rumah masing-masing dengan mobil polisi dan borgol dari polisi, hingga aturan-aturan di penjara simulasi yang terletak di ruang bawah tanah Universitas Stanford. 
           Hari-hari pertama penelitian berlangsung sesuai perkiraan, namun pada beberapa hari setelah itu, ada kejadian-kejadian di luar dugaan. Para sipir mulai bertindak di luar instruksi dengan alasan ‘mendidik’ para napi yang tidak disiplin, diikuti dengan reaksi melawan dari napi. Bahkan ada salah satu napi yang sampai tantrum dan akhirnya harus dikeluarkan dari penelitian karena khawatir akan mendapati efek negatif dari eksperimen tersebut. Karena kekacauan yang terus menerus terjadi, penelitian tersebut diakhiri hanya dalam waktu seminggu. 
            Dari penelitian tersebut, Zimbardo menarik kesimpulan bahwa faktor lingkungan adalah faktor yang sangat kuat dan dominan dalam mengubah seseorang dari baik menjadi jahat ataupun sebaliknya penemuan yang menentang teori lama bahwa disposisi (kepribadian) seseorang merupakan hal yang dominan dalam merubah tingkah laku seseorang). Dan dari penelitiannya, Zimbardo menawarkan solusi, yaitu Heroism atau ‘kepahlawanan’ untuk melawan bobroknya sistem dan situasi yang dihasilkan demi kebaikan umat manusia. 
            Hohoho… tampaknya “terlalu” keren kalau sampai berani menentang sistem yang buruk dan fokus pada pemecahan situasi. Kita pake saja hal yang sederhana, tapi InsyaAllah bisa mewabah. Apakah itu? Seperti yang dikatakan Aa Gym: “Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil-kecil, dan mulai saat ini. Dari pikiran dan tindakan positif, lalu menjadi kebiasaan positif, kemudian kenjadi karakter. Sesuatu yang positif itu akhirnya masuk ke alam bawah sadar/hati. Kita lawan kebiasaan dengan kebiasaan. 
          Dari experiment Zimbardo di atas, kita juga bisa mengambil kesimpulan bahwa kita semua sudah sepatutnya tidak membiarkan aktifitas yang mengarah ke lahirnya korupsi terus berlangsung. Mengapa? Apabila kita membiarkan hal tersebut terus terjadi, berarti kita sudah turut andil dalam menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Dan lingkungan inilah yang nantinya dapat akan menghadirkan para koruptor.

Kamis, 27 November 2014

‘The Battle of Britain’ dan Catatan Balap Maut di Kota Baubau

          Kena deh….!!! Ini adalah salah satu program acara menarik yang pernah ditayangkan oleh salah satu TV swasta nasional. Tampaknya banyak yang suka dengan acara ini. Sang host mengajukan 5 (lima) pertanyaan kepada siapapun yang ditemuinya. Setiap pertanyaan yang benar, akan diargai Rp. 50.000,-. Menariknya adalah orang yang ditanya tak mengerti bahwa mereka sedang disorot oleh kamera tersembunyi. 
          Tiba-tiba saja mereka diberi uang oleh Host sejumlah jawaban yang benar mereka jawab. Masih dalam kebingungan karena diberi uang, lalu Sang Host menghadap ke kamera tersembunyi, sambil mengajak “korban”, lalu mengucap: “kena deh…!!!”
         Tapi… pada tulisan ini, Saya tidak berbicara tentang acara ‘kena deh’ yang pernah popular tersebut. Jadi tentang apa? Baik, Saya akan memulainya dari Inggris, saat Perang Dunia II sedang berkecamuk di Eropa. Peristiwa yang “direkam” oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya ‘David And Golliath’. Menjelang invasi Jerman ke negeri Ratu Elizabeth, pemerintah Inggris begitu khawatir. Kalangan militer percaya mereka takkan mampu menghentikannya. Bahkan merekapun telah memperkirakan bahwa serangan udara di minggu pertama saja, sudah bisa menewaskan 25.000 warga sipil London. 
       Selain itu, merekapun telah memperkirakan jika Angkatan Udara Jerman melakukan pengeboman terus-menerus, maka enam ratus ribu orang akan tewas, dan 1,2 juta mengalami luka-luka serta akan menghadirkan kepanikan yang luar biasa bagi warga London. Karena itu mereka juga mempersiapkan beberapa Rumah Sakit Jiwa di luar kota untuk menangani korban gangguan jiwa yang diperkirakan bakalan banyak. 
           Jerman memulai penyerangan dimusim gugur 1940. Selama delapan bulan, pesawat pembom Jerman menguasai langit Inggris dan menjatuhkan berton-ton bom dengan daya ledak tinggi. Hasilnya, 45 ribu orang tewas dan 46 ribu lainnya mengalami luka-luka. Tercatat sejuta bangunan hancur lebur. Tapi…, apa yang diperkirakan oleh para militer tentang reaksi warga ternyata tidak terjadi. 
        Tidak terjadi kepanikan. Rumah sakit jiwa akhirnya digunakan sebagai rumah sakit militer karena tidak ada pasien jiwa yang datang. “….selagi serangan Jerman semakin gencar, pemerintah Inggris mulai mengamati –sambil keheranan- bukan sekedar menghadapi pengeboman, melainkan sesuatu yang lebih dekat ke pengabaian”. Jelas Gladwell 
           Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Adalah J.T MacCurdy, seorang psikiater dari Kanada di akhir perang, berhasil memecahkan teka-teki ini. Menurutnya, ketika pesawat Jerman menjatuhkan bom dari langit Inggris, orang-orang yang terpengaruh terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah mereka yang terbunuh (kena deh…!!!). 
            Kedua adalah mereka yang nyaris kena: Yang akhirnya terguncang, cemas, ketakutan sampai “syok”. Dan ketiga adalah kelompok tidak kena: Mereka menyaksikan pesawat pengebom, mendengar suara sirine dan ledakan bom, tapi bom jatuh di kampung sebelah. “Mereka bertahan hidup, dan kalau sudah mengalaminya dua-tiga kali, emosi yang terkait dengan serangan bom menjadi perasaan girang dan kebal”. Jelas McCurdy. 
        OK deh, sampai disini aja cerita dari Inggris-nya ya. Karena Saya sebenarnya hanya ingin mengantar pembaca sekalian untuk sampai pada –yang menurut McCurby- kelompok ketiga alias ‘tidak kena’. Dari sini saya ingin menjelaskan tentang keprihatinan Saya terhadap peristiwa balap liar yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Sesuatu yang saat itu sangat susah diterima oleh nalar Saya.
        Begini ceritanya. Pada suatu malam ditahun 2009 atau 2010 yang lalu, sekelompok remaja melakukan lomba balap liar disebuah tempat di Kota Baubau. Hebatnya, mereka tak mengenakan helm dan pakaian khusus pembalap. Mereka begitu berani. Sampai peristiwa maut itu terjadi. Dua pengendara dengan kecepatan tinggi memacu kendaraan mereka. Berlomba menjadi yang tercepat. Sedikit senggolan yang mereka buat, membuat keduanya terjatuh. 
          Bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi jika pengendara jatuh dari motor yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Tanpa helm standard dan tanpa kostum balapan. Ya, tewas! Kepala mereka dengan keras membentur tembok pagar dan bahu jalanan. Retak dan pecah. Mereka tewas seketika. Salah satu dari mereka adalah tetangga Saya. Keduanya masih remaja. Sedih memang. Dan kita bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga mereka atas peristiwa tersebut. 
           Tapi apa yang membuat Saya tak habis pikir adalah peristiwa yang terjadi seminggu kemudian pasca kecelakaan maut itu. Kulihat dua orang remaja, di malam hari, pada tempat yang sama, memacu kendaraan mereka dengan kecepatan tinggi. Berlomba menjadi yang tercepat. Tanpa menggunakan helm dan baju pembalap. Mereka balap liar lagi. Gila pikirku. Minggu lalu teman mereka tewas ditempat itu, sekarang mereka memulai lagi. Seolah kejadian minggu lalu tak pernah terjadi. Edan!!! 
        Akhirnya…. McCurby menambah Referensi jawaban terhadap rasa penasaran Saya. Kenapa mereka bisa segila itu? Rupanya mereka adalah orang-orang yang menurut McCurby termasuk kelompok ‘tidak kena’. Mereka sudah berkali-kali melakukan balap liar. Tapi tak pernah mengalami kecelakaan. “Mereka bertahan hidup, dan kalau sudah mengalaminya dua-tiga kali, emosi yang terkait dengan serangan bom (kecelakaan maut, pen) menjadi perasaan girang dan kebal”. Kata McCurdy. Hehehe….

Kamis, 25 September 2014

Dunia Lain di Specimen Art

Gambar: rizkiaextoramadhan.wordpress.com
             “Segala puji milik Allah. Dzat yang telah mengakhiri ambisi para raja, memindahkan mereka dari istana menuju pusara, memindahkan mereka dari kemilau cahaya ke dalam gelap gulita liang lahat, mengubah pola hidup mereka dari indahnya bersendagurau dengan permaisuri, para gundik, dan para putra mahkota ke dalam nestapa dan derita, serta mengubah kebiasaan mengkonsumsi makanan-minuman terlezat dan terpilih kedalam kubangan lumpur dan timbunan tanah yang tak terperi”. Jelas Ustadz Muhammad Hasan dalam buku Konsistensi (Menuju kematian husnul khotimah). 
             Ini tentang kematian! Ada pertanyaan menarik yang diajukan oleh John Naisbitt, Sang penulis Megatrends dan Global Paradox: “Apakah yang hilang dari masyarakat modern kita tatkala kita membicarakan kematian?”Hal penting yang ingin disampaikan oleh Naisbith dari pertanyaan ini, sebagaimana yang telah diungkapkannya, bahwa semakin penting keterikatan manusia pada kehidupan di bumi dan semakin memuncak kehidupan yang mereka alami, semakin takutlah mereka akan kematian. 
            Dalam situs Wikipedia tertulis bahwa Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organism biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah kematian, tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan. Ini adalah definisi umum. Dalam pandangan orang-orang yang beragama, atau kepercayaan akan adanya hari kemudian, kehidupan tidak berhenti sampai disini. Masih ada kehidupan sesudah kehidupan dunia. Sebuah dunia lain pasca kematian. 
                Oh iya, tampaknya kaum Atheis tidak percaya dengan adanya kehidupan sesudah kematian. Dan tampaknya lagi, mereka harus berpikir lagi dengan keyakinannya itu. Seorang ilmuwan Jerman bernama Berthold Ackermann berhasil membuktikan keberadaan akhirat (dunia lain sesudah kematian) melalui penelitian ilmiah. Penelitian ini adalah salah satu upaya untuk mengetahui misteri kematian. Sebelum ini, berbagai jurnal dan penelitian medis terus berupaya mengungkap rahasia di balik sakaratul maut. 

Penelitian Ilmiah tentang Kehidupan Akhirat 
              Sebagaimana di beritakan oleh situs Dream.co.id, sebelumnya beberapa jurnal dan penelitian, menganggap sakaratul maut sebagai halusinasi dari orang yang akan meninggal. Namun baru-baru ini sebuah tim psikolog yang dipimpin Berthold Ackermann berhasil mengungkapkan pengalaman menjelang kematian itu adalah hal yang nyata, dan menjadi bukti keberadaan akhirat dan sebagai bentuk dualism antara pikiran dan tubuh. 
            Berita mengejutkan ini diumumkan setelah melalui eksperimen secara klinis, adanya beberapa bentuk kehidupan setelah kematian. Hal ini didasarkan pada kesimpulan dari penelitian tipe baru tentang pengalaman mendekati kematian yang diawasi secara medis. Dalam penelitian menggunakan metode canggih tersebut, pasien secara klinis 'dimatikan' selama hampir 20 menit sebelum dihidupkan lagi.
         Penelitian dan penemuan kontroversial ini telah diulang terhadap 944 sukarelawan selama empat tahun terakhir. Dalam proses mematikan dan menghidupkan kembali pasien untuk mencaritahu pengalaman mendekati kematian, tim membutuhkan campuran rumit obat-obatan termasuk epinefrin dan dimethyltryptamine. Campuran obat-obatan rumit itu memungkinkan tubuh untuk bertahan saat mati dan proses penghidupan kembali tanpa merusak bagian-bagian tubuh. 
            Proses itu juga melibatkan alat canggih bernama AutoPulse. Alat ini sudah digunakan dalam beberapa tahun terakhir untuk menghidupkan kembali orang mati antara 40 menit hingga satu jam sebelumnya. Tim kemudian memonitor dan menyusun testimony dari para pasien selama sakaratul maut, mati dan hidup kembali. Meskipun bervariasi, namun pasien memiliki memori yang hamper mirip satu sama lain ketika mereka dalam keadaan sakaratul maut, mati dan hidup kembali. 
           Para pasien mengatakan mereka merasa terpisah dari tubuhnya, kemudian memiliki perasaan melayang dan tenang, nyaman dan penuh kehangatan. Mereka juga merasa terputus dari dunia nyata dan melihat cahaya yang luar biasa terang. 
          Tim yang dipimpin Ackermann menyadari penemuan mereka ini sangat mengejutkan semua orang, termasuk beberapa dari kalangan agamis yang selama ini menggambarkan sakaratul maut. Dan kematian yang ternyata berbeda dari apa yang digambarkan para pasien. Para relawan adalah orang-orang yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda, mulai dari Kristen, Islam, Yahudi, Hindu dan ateis.

Pesan Kematian pada Specimen Art 
          Dalam buku High Tech High Touch, John Naisbitt menjelaskan bahwa Tema paling kuat dalam specimen art adalah kematian, yang menggantikan seks sebagai tabu terbesar Amerika. Atwork yang menghancurkan kepekaan warga dan memukau sekaligus memuakkan. Gambar kematian yang gamblang –foto mayat yang terpenggal kepalanya, kepala orang yang sudah mati tergeletak di atas piring, video yang melompat bunuh diri- telah memprovokasi kegembiraan manusia. 
       Apa yang dimaksud dengan Specimen Art? Masih dalam High Tech High Touch, secara gamblang Naisbitt menjelaskan bahwa penyempitan pusat perhatian para seniman dari jagad raya, kepada alam, lalu kepada manusia, telah melahirkan gerakan seni baru yang dinamakan specimen Art. Para seniman specimen, baik ilmuwan maupun senimannya, menanggapi kekuatan ilmu hayati yang baru secara naluriah dan emosional, sementara para teologiwan menanggapinya secara filosofis.
         “Specimen Art adalah seni yang meminjam dari, atau mengkritik, berbagai teori ilmiah, teknologi, serta pola figurative. Specimen Art adalah seni yang mengingatkan kita akan kemanusiaan kita melalui bentuk manusia atau pun berbagai aspek tubuh: sel, kulit, organ, tungkai dan keseluruhan tubuh. Specimen Art adalah seni yang memuja kemanusiaan kita dengan cara mencampakkan tubuh manusia secara visual dengan sesuatu yang bersifat seksual, tidak sempurna, bersifat spiritual, dan sebagai jasmani”. Jelas Naisbitt. 
         Apa efek dari gerakan Specimen Art ini? Pada suatu malam di tahun 1991, sekelompok juru foto New York menempel ratusan poster berukuran 4,5 x 7,5m di daerah Soho dan Chelsea, New York. Poster yang disebar di seluruh penjuru kota itu menampilkan dua sel besar yang berdampingan, satu terinfeksi HIV dan yang satu lagi tidak, tampak mencolok dengan huruf-huruf besar dan tebal, VISUALIZE THIS (bayangkanlah ini). 
     Anne Pasternak, seorang Direktur Eksekutif Creative Time, kelompok seni nirlaba yang menugaskan para seniman membuat seni eksperimental di wilayah public, menjelaskan dampak karya tersebut: “Sungguh amat mengesankan bahwa seorang seniman mampu menampilkan karya seperti itu pada waktu itu. Karya itu juga merupakan pesan yang penuh pengharapan pada saat kita tengah dilanda sejenis perasaan luar biasa, tengah berada pada masa kegelapan yang luarbiasa. Terdapat permintaan yang sangat besarakan poster itu. Karya ini merupakan sesuatu yang dinantinantikan”.
       “VISUALIZE THIS terasa sangat personal bagi orang yang terkena HIV dan AIDS. Poster tersebut memanusiawikan si sakit. Orang yang terinfeksi berbeda dengan yang tak terinfeksi hanya oleh struktur sel, bukan oleh spirit, bukan oleh jiwa, bukan oleh pikiran. “Bagaimana mendapatkan sel yang sehat?” karya ini bertanya menurut Paternak. “Dan bagaimana kita ikut serta dalam mewujudkan hal itu?” 
           Akhirnya, kematian adalah sesuatu yang pasti. Rangkaian kalimat dari Ust. Muhammad Hasan di awal paragraf tulisan ini tentu menggugah kesadaran kita. Setiap orang pasti mengalaminya. Dan sesudah kematian, masih ada kehidupan lain. Meluangkan waktu untuk membayangkan, mengingat atau menvisualisasikannya akan menghadirkan pengaruh yang sangat berarti bagi setiap orang. Dari sini, setiap jiwa dapat belajar dan memaknai kehidupan. Dari sini pula setiap kita dapat menjawab pertanyaan, untuk apa kita hidup, dan mau kemana kita sesudahnya?

Senin, 22 September 2014

Law of Attraction

Sumber gambar: www.yakomozyakut.com
           “Kunci motivasi adalah imajinasi atau membayangkan”, kata J.I. Suharli dalam bukunya yang berjudul Habit. Einstein menilai imajinasi lebih penting daripada ilmu pengetahuan. Orang yang selalu termotivasi dan berpikir positif selalu mempunyai gambaran yang jelas tentang masa depannya. Orang yang sudah punya tujuan hidup yang spesifik tentang apa yang dikatakan orang-orang yang mengenalnya saat akhir menutup mata. Tujuan hidup itu adalah hal positif selalu mempunyai gambaran yang jelas tentang masa depannya.
          Ribuan tahun yang lalu, muncul Vini, Vidi, Vici. Kata-kata ini berasal dari bahasa latin, yang berarti ‘Saya datang, saya melihat, saya menang/menaklukkan’. Kata yang akhirnya mendunia ini digunakan oleh Yulius Caesar dalam pesan yang di kirimkannya kepada senat Romawi. Sebuah pesan yang menggambarkan kemenangannya usai mengakhiri perlawanan Pharnaces II, penguasa Pontus, sebuah wilayah Persia yang terletak di pesisir selatan Laut Hitam.
           Siapakah Yulius Caesar? Michael H. Hart dalam buku ‘100 orang paling berpengaruh di dunia’ menulis: “Julius Caesar adalah salah satu figure politik paling kharismatik dalam sejarah dan memiliki berbagai macam bakat. Ia seorang politisi yang sukses. Jendral yang brilian, seorang orator yang hebat dan seorang penulis". Gelar kaisar pada kerajaan Jerman dan Czar untuk Rusia diambil dari kata Caesar. Sebuah tanda penghormatan dan penghargaan buat Yulius Caesar.
          Walaupun Vini, Vidi, Vici adalah kata-kata –kemudian menjadi terkenal- yang Ia kirimkan usai menaklukkan Pontus, tapi menurut pendapat Saya, 3 (tiga) kata ini sudah sejak lama menjadi mindsetnya. Sebuah keyakinan dalam merealisasikan visi besarnya sebagai seorang pemimpin. Karenanya tidak berapa lama usai menaklukkan Pontus, Ia ditunjuk menjadi Gubernur yang membawahi 3 (tiga) provinsi Romawi: Galia Cisalpine (sebelah utara Italia), Illyricum (daerah pesisir Yugoslavia), dan Galia Narbonese (pesisir Selatan Prancis). Sekaligus mengepalai 20.000 prajurit yang terdiridari 4 (empat) legiun. Sebuah prestasi yang hanya mampu dicapai oleh orang-orang besar dengan keyakinan kuat. 
       Kalau kita membaca sejarah beberapa tokoh besar, kita akan menemukan bahwa seringkali betapa mudah mereka merealisasikan mimpi-mimpinya. Mereka menjadi manusia efektif. Manusia yang jarak antara ide dan realisasinya begitu dekat. Mengapa bisa begitu? Kalau pertanyaan ini ditujukan kepada Ippho Santosa, maka Sang penulis 7 Keajaiban Rezeki ini akan menjelaskan kepada kita tentang Law of Attraction.
       Apa itu Law of Attraction? Menurut Ippho, Law of Attraction (LOA) atau Hukum Tarik-Menarik, secara sederhana adalah “Apa yang Anda pikirkan, itulah yang semesta berikan”. Pikiran kitalah yang yang menarik segala sesuatu itu terjadi. Thoughts become things. Tentu saja, itu terjadi dengan izin Yang Maha Kuasa. Bukankah Dia itu persis seperti persangkaan hamba-Nya? 
         Akan tetapi, LOA itu punya hokum-hukum tersendiri. Berikut Saya kutipkan pendapat Ippho Santosa tentang hokum LOA dalam buku 7 Keajaiban Rezeki. Tapi biar singkat, Saya membaginya menjadi 4 (empat): 
          Pertama, Doa itu terkait erat dengan LOA. Keduanya saling menguatkan satu sama lain. Pada hakikatnya doa, impian, dan harapan itu kurang-lebih sama saja. Ianya adalah sesuatu yang ingin Anda wujudkan. Terdapat satu buhul (ikatan) yang menghubungkan Anda dengan orang-orang disekitar Anda? Sehingga mau idak mau, buhul ini mempengaruhi terwujud atau tidaknya impian Anda. Begitu impian orang-orang disekitar Anda selaras dengan impian Anda, berarti impian Anda menjadi lebih ‘bersayap’. Dimana impian Anda akan lebih cepat terwujud. Sangat cepat! 
         Kedua, Pikiran yang kosong itu gampang kesambet. Jangan salah paham, ini sama sekali bukan soal kerasukan. Maksud Saya, pikiran yang kosong mudah dikalahkan oleh pikiran yang berisi. Pikiran yang lemah mudah dikalahkan oleh pikiran yang kuat. Pikiran yang ragu-ragu mudah dikalahkan oleh pikiran yang yakin. 
        Ketiga, Sebagian kita kadang menggerutu, mengapa Yang Maha Kuasa tidak mau mengabulkan doa dan mewujidkan impian kita. Padahal bukan begitu. Justru kitalah yang tidak mematuhi hokum-hukum LOA. Ingatlah, doa itu terkait erat dengan LOA. Terbukti, orang atheis sekalipun dapat mewujudkan impiannya, semata-mata karena ia mematuhi hukum-hukum LOA. 
       Keempat, Gabungan antar adab doa dan hokum LOA membuat impian Anda terwujud dalam waktu yang jauh lebih cepat! Jadi, gabungan keduanya, bukan salah satunya. Menurut paham otak kiri, tentu ini sulit untuk diterima, sampailah ia benar-benar mencoba dan membuktikannya. 
             Oh Iya, ada pertanyaan menarik yang ditujukan kepada Adi W. Gunawan, penulis buku The Secret of Mindset: “…Kenapaya kok saya belum bisa mengaktifkan The Law of Attraction dalam diri Saya? Padahal Bob Proctor mengatakan, “If you see it in your mind, you’re going to hold it in your hand”. Saya melakukan visualisasi setiap hari, tetapi tetap belum bisa mendapatkan apa yang saya inginkan. Apa yang salahya, Pak?” 
          Dalam The Secret of Mindset-nya, Adi menjawab: “Bob Proctor tidak salah saat ia berkata demikian. Namun, yang perlu kita cermati, hanya bisa “melihat” di dalam pikiran kita –apa yang kitainginkan- tidak cukup. Bila Anda cukup teliti, ada tiga langkah sukses yang diajarkan di The Secret untuk mengaktifkan The Law of Attraction, yaitu ask (meminta), believe (meyakini), dan receive (menerima). Jadi jelas masih ada satu komponen penting, yaitu belief yang harus diperhatikan agar bias mendapatkan apa yang diinginkan. Lima prinsip untuk mengaktifkanThe Law of Attraction, yaitu: Impian, believe, syukur, pasrah, doa”. 
         Banyak orang yang biasa melakukan visualisasi dengan sangat jelas dan spesifik tetapi tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Padahal mereka melakukan visualisas dan diperkuat dengan afirmasi yang juga di lakukan setiap hari. Yang jarang mereka sadari adalah seringkali saat melakukan visualisasi atau afirmasi, mereka sebenarnya hanya percaya sebatas pikiran sadar. Pikiran bawah sadar mereka ternyata tidak percaya kalau mereka bisa mendapatkan yang mereka inginkan, yang mereka visualisasikan atau yang meraka afirmasikan. 
           “Bagaimana kita tahu pikiran bawah sadar kita menolak? Bagaimana kita tahu jika belief kita tidak mendukung kita dalam mendapatkan hal-hal yang kita inginkan? Caranya sangat mudah. Coba cek perasaan anda. Setiap kali Anda menginginkan sesuatu dan muncul perasaan tidak enak di hati Anda, ini berarti ada penolakan oleh pikiran bawah sadar. Hal ini berarti ada belief atau value yang konflik”. Jelas Adi.

Sabtu, 13 September 2014

SI BUTA VS “GOLIATH”

            Ia masih berusia 4 (empat) tahun, ketika Jara, sebuah alat tajam yang digunakan untuk melubangi kulit secara tak sengaja melukai matanya. Tak berapa lama, infeksi lalu menyeberang ke sebelah mata lainnya. Akibatnya, Ia mengalami kebutaan total di kedua matanya. Siapakah dia? Namanya adalah Louis Braille, dilahirkan di Coupvray, sebuah kota kecil di dekat Paris Prancis, pada 4 Januari 1809. 
         Saat memasuki usia sekolah, Ayahnya, Rene Braille yang bekerja sebagai pembuat sepatu dan perlengkapan berbahan kulit, bersama guru sekolah setempat setelah melihat kemauan yang kuat untuk belajar serta potensi yang besar pada Louis kecil, lalu mengizinkannya mengikuti pelajaran di kelas bersama teman-temannya yang berpenglihatan normal. Walau hanya dengan mengandalkan indra pendengaran, ternyata ia dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Satu-satunya kendala, ia tidak dapat membaca dan menulis pelajaran kecuali sebatas mendengarkan apa yang disampaikan gurunya secara lisan. 
           Dalam situs Biografi Tokoh Dunia, tertulis bahwa pada usia 10 tahun, ia memperoleh beasiswa untuk belajar pada Royal Institution for Blind Youth di Paris, sebuah lembaga pendidikan khusus untuk anak-anak tunanetra. Di sana, ia belajar membaca huruf-huruf yang dicetak timbul pada kertas dengan cara merabanya. Pada sekolah ini juga terdapat beberapa buku dengan sistem cetak timbul yang disediakan oleh pendiri sekolah, Valentin Hauy. Buku-buku ini memuat huruf-huruf berukuran besar yang dicetak timbul pada setiap halamannya. Karena ukuran huruf-hurufnya yang besar, ukuran bukunya pun terbilang besar sehingga harganya sangat mahal. Sekolahnya hanya memiliki 14 buku seperti ini.  
           Louis muda dengan penuh kesabaran berhasil ”melahap” semua buku itu di perpustakaan sekolahnya. Louis Braille dapat merasakan setiap huruf yang dicetak timbul pada buku-buku itu, tetapi cukup menyita waktu untuk dapat membaca dan memahami setiap kalimatnya. Dibutuhkan waktu beberapa detik untuk mengidentifikasi satu kata dan ketika telah sampai pada akhir kalimat, ia sering lupa tentang apa yang telah dibacanya pada awal kalimat. Louis yakin pasti ada cara yang lebih mudah sehingga kaum tunanetra dapat membaca secepat dan semudah orang yang dapat melihat. 
             Suatu hari pada 1821, seorang kapten angkatan bersenjata Prancis, Charles Barbier, berkunjung ke sekolah Louis. Barbier mempresentasikan penemuannya yang dinamakan night writing (tulisan malam), sebuah kode yang memungkinkan pasukannya berbagi informasi rahasia di medan perang tanpa perlu berbicara atau menyalakan cahaya senter untuk membacanya. Kode ini terdiri atas 12 titik timbul yang dapat dikombinasikan untuk mewakili huruf-huruf dan dapat dirasakan oleh ujung-ujung jari. Meskipun ciptaan Barbier ini telah terbukti berhasil untuk keperluan militer, tetapi tidak cocok untuk keperluan membaca dan menulis biasa. Akan tetapi, ini memberi petunjuk yang sangat berharga bagi Louis Braille ke arah apa yang sedang dicari-carinya. 
            Setelah pertemuannya dengan Charles Barbier, Louis Braille selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk membuat titik-titik dan garis-garis pada kartu-kartu untuk berusaha menciptakan tulisan yang cocok bagi tunanetra. Dia selalu mencobakan setiap perkembangan tulisannya itu kepada kawan-kawannya yang tunanetra. Menyadari bahwa jari jari kawan-kawannya lebih peka terhadap titik daripada terhadap garis, maka dia memutuskan untuk hanya menggunakan titik-titik saja dan mengesampingkan garis-garis bagi tulisannya itu. 
            Akhirnya, pada tahun 1834, ketika Louis Braille berusia awal 20-an, sempurnalah sistem tulisan yang terdiri dari titik-titik timbul itu. Louis Braille hanya menggunakan enam titik domino sebagai kerangka sistem tulisannya itu. Satu atau beberapa dari enam titik itu divariasikan letaknya sehingga dapat membentuk sebanyak 63 macam kombinasi yang cukup untuk menggambarkan abjad, angka, tanda-tanda baca, matematika, musik, dan sebagainya. 
             Ketika Louis Braille masih sedang menyederhanakan sistem tulisannya itu, dia diangkat sebagai guru di L'Institution Nationale des Jeunes Aveugles (Lembaga Nasional untuk Anak-anak Tunanetra) di Paris yang didirikan oleh Monsieur Valentin Hauy pada tahun 1783. Dia segera menjadi guru yang sangat disukai. Dia dipercaya untuk mengajar sejarah, geografi, matematika, tata bahasa Perancis, dan musik.
          Penemuan brilian Louis Braille telah mengubah dunia membaca dan menulis kaum tunanetra untuk selamanya. Sekarang, kode braille telah diadaptasi hampir ke dalam semua bahasa tulis terkenal di dunia. Louis telah membuktikan bahwa dengan motivasi yang kuat, kita dapat melakukan hal yang sebelumnya tidak masuk akal.
           Pada 6 Januari 1852, di usia yang ke-43, ia meninggal karena serangan TBC. Tanggal 4 Januari 1809, hari kelahiran Louis Braille, diperingati oleh dunia internasional sebagai "Hari Braille". Betapa tidak, berkat kelahiran anak tunanetra asal Perancis inilah maka lebih dari 40 juta orang tunanetra di seluruh dunia dapat belajar membaca dan menulis, dan oleh karehanya dapat mengenyam pendidikan sebagaimana rekan-rekannya yang awas. 
        Pada kasus Louis atau kasus lainnya, kadang orang meragukan, bagaimana mungkin ditengah kelemahan yang dimiliki, seseorang dapat berbuat lebih? Dalam buku ‘Adversity Quotient’, Paul G. Stolz mencoba menjelaskan ini dengan pendekatan ‘Ketidakberdayaan yang dipelajari'. Teori tersebut menjelaskan mengapa banyak orang menyerah atau gagal ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup. Karena alasan inilah teori ini menjadi unsur yang sangat penting dalam pembentukan Adversity Quotient. 
         Yang erat kaitannya dan muncul dari teori ketidakberdayaan yang dipelajari adalah ide bahwa kesuksesan seseorang mungkin terutama ditentukan oleh cara dia menjelaskan atau merespons peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Selingman dan peneliti-peneliti lainnya menemukan bahwa mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya tetap, internal, dan dapat digeneralisasi ke bidang-bidang kehidupan lainnya cenderung menderita di semua bidang kehidupan, sedangkan mereka yang menanggapi situasi-situasi sulit sesuatu yang sifatnya eksternal, sementara, dan terbatas cenderung menikmati banyak manfaat, mulai dari kinerja sampai kesehatan. 
       Carol Dweck dari University of Illinois adalah salah satu peneliti terkemuka dalam bidang perkembangan emosional. Ia menunjukkan bahwa anak-anak yang menganggap kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya tetap (“Saya Bodoh”) belajar lebih sedikit dibandingkan dengan anak-anak yang menganggap penyebab-penyebab kesulitan sebagai hal yang sifatnya sementara (“Saya tidak mencoba dengan sungguh-sungguh”). Anak-anak yang tidak berdaya memusatkan perhatian pada penyebab kegagalan. Anak-anak yang tidak berdaya mengaitkan kegagalan dengan kurangnya kemampuan –sebuah ciri yang stabil. Dari sini, kita bisa memahami dimana posisi Louis Braille. 
        Malcolm Gladwell mengibaratkannya sebagai pertempuran antara Si Lemah melawan Raksasa. “Raksasa” yang dimaksud Gladwell sebagimana dalam bukunya ‘David and Goliath’ adalah segala macam lawan kuat dari tentara dan prajurit perkasa sampai cacat, nasib buruk, dan penindasan. Pertempuran yang dimenangi secara ajaib oleh Si Lemah yang semestinya tidak bisa menang.
       “Raksasa bukanlah seperti yang kita duga”. Kata Gladwell. “Ciri-ciri yang tampaknya memberi kekuatan kepada raksasa seringkali justru sumber kelemahan besar. Dan kenyataan menjadi pihak yang lemah (underdog) bisa mengubah orang dengan cara-cara yang sering tidak kita sadari: membuka pintu dan menciptakan kesempatan dan mendidik dan mencerahkan dan memungkinkan apa yang tadinya tak terpikirkan”. 
           “Pilihlah bagimu seorang, dan biarlah ia turun mendapatkan aku. Jika Ia dapat berperang melawan aku dan mengalahkan aku, kami akan menjadi hambamu; tetapi jika aku dapat mengungguli dia dan mengalahkannya, kamu akan menjadi hamba kami dan takluk kepada kami”. Teriak seorang prajurit raksasa kearah pasukan lawan. Nama si raksasa adalah Goliath. Tingginya minimal 2 (dua) meter, mengenakan helm perunggu, dan zirah lengkap. Dia membawa lembing, tombak dan pedang. Seorang bujang mendampinginya, membawakan perisai besar. Untuk melindungi diri terhadap hantaman ke tubuh, Goliath memakai baju dengan ratusan keeping perunggu yang saling tumpang tindih. Baju zirah itu melindungi sampai lengan dan pahanya, dan barangkali beratnya diatas seratus pon.
          Pasukan lawanpun ketakutan. Tak seorangpun melangkah maju. Siapa yang dapat menaklukkan musuh semengerikan itu? Tiba-tiba seorang bocah gembala maju dan mengajukan diri. Namanya adalah David. Ia maju menghadapi Goliath tanpa menggunakan pedang dan baju zirah. Dia malah memungut lima batu yang mulus dan membawa batu-batu itu dalam tas yang disandangnya, sambil membawa tongkat gembala. Yang terjadi berikutnya telah melegenda. Daud mengambil batu dan menaruhnya di ketapel, lalu melontar batu itu ke dahi Goliath yang tak terlindung. Goliath jatuh terkapar. Daud berlari mendekatinya, mengambil pedang si raksasa, dan memenggal kepala Goliath. 
            Ketika Daud tampil pertamakali, banyak orang meragukannya. Alasan yang paling rasional adalah karena David bertubuh kecil, sedangkan Goliath itu raksasa. Semua menganggap bahwa kekuatan itu disebabkan kekuatan fisik. Tapi David menunjukkan kepada mereka bahwa kekuatan bisa berasal dari sumber lain, dengan melanggar “aturan”, menggantikan tenaga dengan kecepatan dan kejutan. 
           Sekarang banyak para pakar kedokteran yang percaya bahwa Goliath mengidap kondisi medis serius. Dia seperti seorang yang menderita Akromegali. Penyakit akibat tumor jinak di kelenjar pituitary. Tumor itu menyebabkan produksi berlebihan hormone pertumbuhan, yang kiranya menjelaskan ukuran luar biasa Goliath. Orang paling jangkung sepanjang sejarah, Robert Wadlow, menderita Akromegali. Ketika meninggal, tingginya 2,7 meter, dan dia sebenarnya masih bisa tumbuh lebih tinggi.
         Selain itu, salah satu efek samping Akromegali adalah masalah penglihatan. Tumor pituitary bisa tumbuh hingga mengimpit saraf mata, sehingga menyebabkan penderita Akromegali mengalami penglihatan yang terbatas dan diplopia, atau penglihatan ganda. Mengapa Goliath didampingi seorang bujang? Karena si bujang adalah penuntunnya. Mengapa dia bergerak lambat? Karena dunia yang dipandangnya tidak jelas.
            Yang dilihat oleh kawan sepasukan David adalah raksasa yang menakutkan. Kenyataannya, sumber ukuran si raksasa adalah sumber kelemahan terbesarnya juga. Ada hikmah yang kuat didalamnya bahi segala pertarungan melawan semua jenis raksasa. Yang kuat tidak selalu benar-benar kuat. 
           Arreguin-Toft mengajukan pertanyaan yang menarik. Apa yang terjadi dalam perang antara pihak yang kuat dan lemah ketika pihak lemah bertindak seperti David dan menolak bertempur seperti diinginkan pihak kuat, menggunakan taktik gerilya atau taktik lain yang tidak biasa? Jawabannya: dalam kasus-kasus demikian, persentase kemenangan pihak lemah naik dari 28,5% ke 63,6%. Sebagai gambarannya, populasi Amerika Serikat sepuluh kali lipat populasi Kanada. Jika kedua Negara tersebut berperang dan Kanada memilih menggunakan cara-cara tak biasa, menurut sejarah, sebaiknya menjagokan Kanada. 
          Kita menganggap kemenangan si Lemah sebagai peristiwa langka. Itulah sebabnya David dan Goliath begitu kuat kesannya sejak zaman dulu. Tapi Arreguin-Toft menunjukkan bahwa kenyataannya tidak demikian. Pihak lemah sering menang. Lalu mengapa kita kaget tiap kali seorang David mengalahkan Goliath? Mengapa kita otomatis menganggap bahwa seseorang yang lebih kecil atau lebih miskin atau lebih tak ahli pasti punya kelemahan? 
        “David berlari menuju Goliath, diperkuat oleh keberanian dan keyakinan. Goliath tidak bisa melihat musuhnya mendekat, diapun tumbang, karena terlalu besar dan lamban dan rabun untuk memahami bahwa keadaan telah berbalik. Selama ini kita telah bercerita secara keliru. David and Goliath berusaha meluruskannya”. Tutup Gladwell.

Minggu, 27 Juli 2014

Dewa Laut, Kamp NAZI dan Catatan Ketidakberdayaan

Sumber gambar: vectorstock.com
           Dalam mitologi Yunani, Poseidon dikenal sebagai dewa penguasa laut, sungai dan danau. Kita juga pernah mendengar atau dikenalkan dengan Dewa Neptunus. Nah, Dewa dalam mitologi Romawi ini mempunyai tugas yang sama dengan Poseidon. Tapi sesungguhnya Neptunus adalah padanan Poseidon. Saudara Zeus, Dewa tertinggi dalam Mitologi Yunani ini memiliki senjata berupa trisula yang bisa menyebabkan banjir dan gempa bumi. Ia juga memiliki kendaraan yang ditarik oleh makhluk setengah kuda setengah ikan, yang disebut Hippokampos
            Dalam film Clash of the titans (2010) dan sekuelnya Wrath of The Titans (2012), sedikit banyak kita disuguhkan dengan kehidupan para Dewa dalam mitologi Yunani. Tiga bersaudara Zeus, Poseidon dan Hades (penguasa Neraka) dikisahkan dalam film Box Office ini. Juga tentang anak-anak mereka yaitu Ares dan Perseus. Dalam Wrats of Titans, Poseidon dan Zeus terbunuh, lalu Hades menjadi manusia biasa. Kejadian ini sekaligus mengakhiri rezim para dewa di maya pada. 
          Dalam tulisan ini, yang Saya maksud dengan Poseidon bukanlah Dewa Laut dalam mitologi Yunani. Tapi tentang kisah sebuah kapal pesiar berukuran besar dan mewah, yang diberi nama Poseidon. Oh iya, ini juga sekaligus nama sebuah Film yang berkisah tentang kapal ini. Poseidon dirancang dengan menggunakan teknologi super canggih dan mampu berlayar dalam kondisi cuaca buruk. Poseidon juga layaknya sebuah hotel berbintang lima. 
       Tulisan yang berjudul Poseidon Tragedi Titanic II dalam dreamscometrue.0catch.com menjelaskan bahwa Film yang disutradarai Wolfgang Petersen ini diperankan oleh beberapa tokoh utama.Seorang penjudi dan mantan anggota AL AS bernama John Dylan (Josh Lucas), mantan walikota new york (Kurt Russel), putrinya (Emmy Rosum) dan tunangannya (Mike Vogel). Ketika menikmati suasana pergantian tahun, mendadak datang gelombang besar yang menghantam kapal. Banyak kru dan penumpang menjadi korban. Hanya sedikit yang hidup dan mereka bertahan diruang ballroom utama. 
       Meski kapten kapal sudah meminta agar para penumpang jangan meninggalkan tempat, ada sebagian yang menentang. Seperti sang mantan walikota yang bersikeras mencari putrinya, serta Dylan diikuti kenalannya (Jacinda Barret), putranya (Jimmy Bannet), dan satu penumpang lain (Richard Dreyfuss)
     Saat kapal di ambang kehancuran, hanya merekalah yang masih bertahan hidup. Menghadapi marabahaya yang datang silih berganti, dipimpin oleh Dylan mereka berusaha mencari jalan keluar lewat baling-baling kapal. Satu per satu ruangan pun dijelajahi demi menghindari terjangan air maupun ledakan gas sekaligus menuju palka. Sampai akhirnya mereka selamat keluar dari kapal.
       Yang kadang menjadi pertanyaan adalah mengapa ada orang atau beberapa orang yang tidak mau berbuat atau menyerah dan pasrah saja menerima keadaan? Tak mau berjuang atau tak mau menempuh daya upaya untuk membebaskan diri dari situasi yang tidak menguntungkan? Mengapa mereka membiarkan dirinya dalam ketidakberdayaan? 
       Selain kisah Poseidon diatas contoh yang paling dramatis bisa dipetik dari pengalaman-pengalaman Victor Frankl, yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi dan menjadi salah satu psikolog terkemuka abad ini. Dalam bukunya, Man’s Search for Meaning, Frankl melukiskan saat banyak narapidana menjadi tidak berdaya. Di sebuah kamp, sewaktu para narapidana baru masuk, si penjaga berpaling kepada mereka dan mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan kamp tersebut. Menurut Frankl, orang-orang yang yakin dengan kata-kata penjaga tersebut tidak berapa lama kemudian meninggal. Diantara para narapidana yang tidak terbunuh, yang menolak ramalan buruk si penjaga dan mempertahankan suatu keyakinan bahwa “situasi ini akan segera berlalu” bertahan hidup. Namun, ketika narapidana itu tidak dapat bangun dari ranjangnya, diapun kehilangan harapan. Dan itu menjadi hari kematiannya. 
       Paul G. Stolz, dalam bukunya yang berjudul Adversity Quotient menjelaskan secara detail tentang ketidakberdayaan ini. Stolz menceritakan eksperimen Martin Selingman, saat menjadi mahasiswa pascasarjana di University of Pennsylvania, yang menghasilkan salah satu terobosan penting dalam bidang psikologi manusia. 
         Setelah mengamati sejumlah eksperimen dimana beberapa ekor anjing menerima sebuah kejutan listrik, Dr. Selingman melihat bahwa beberapa diantara anjing itu sama sekali tidak bereaksi. Mereka hanya telentang dan menahan penderitaannya. Pada waktu itu, belum ada teori dibidang psikologi yang bisa menjelaskan perilaku ini. 
        Selingman menciptakan eksperimen dua tahap yang cerdik untuk menentukan mengapa ada anjing-anjing yang langsung menyerah. Dalam tahap pertama, anjing-anjing di grup A dipasangi pakaian kuda dan mendapat kejutan ringan.Mereka bisa menghentikan kejutan dengan menekan sebuah palang dengan hidung mereka, dan segera mereka belajar melakukan hal ini. Anjing-anjing grup B diberi pakaian yang serupa dan mendapat kejutan yang sama, tetapi tidak diberi suatu cara untuk menghentikan kejutannya. Anjing-anjing itu menerima saja penderitaannya. Grup C disebut grup pengontrol. Anjing-anjingnya dipasangi pakaian kuda dan tidak mendapat sengatan listrik. 
         Hari berikutnya, Selingman melakukan eksperimen Tahap Kedua. Satu demi satu, ia menaruh semua anjing itu ke dalam alat yang disebutnya kotak ulang-alik, sebuah kotak dengan palang rendah ditengahnya. Setiap anjing ditempatkan disatu sisi, tempat anjing itu mendapat sengatan listrik ringan. Yang perlu dilakukan untuk menghentikan sengatannya adalah melompati palang menuju sisi yang lain. 
      Anjing-anjing grup A (Anjing-anjing yang bisa mengendalikan sengatan listrik) dan anjing-anjing kelompok C (yang tidak mendapat sengatan) dengan cepat mengetahui bagaimana meloncati palangnya dan menjauhi tempat yang tidak menyenangkan itu.Tetapi anjing-anjing yang tidak dapat mengendalikan sengatan dalam Tahap Pertama mempunyai respon yang berbeda.Mereka hanya telentang dan mendengking-dengking.Mereka tidak mencoba untuk melarikan diri.
          Apa yang ditemukan oleh Selingman dan peneliti-peneliti lainnya memperlihatkan bahwa anjing-anjing itu telah belajar untuk menjadi tidak berdaya, suatu perilaku yang praktis menghancurkan dorongan mereka untuk bertindak. Ilmuwan-ilmuwan kemudian menemukan bahwa kucing, anjing, ikan, kecoa, tikus rumah dan manusia-manusia semuanya mempunyai kemampuan untuk mempelajari ciri ini. Ketidakberdayaan yang dipelajari itu menginternalisasi keyakinan bahwa apa yang Anda kerjakan tidak ada manfaatnya. Hal ini melenyapkan kemampuan seseorang untuk memegang kendali. 
        Namun, setelah diilhami oleh terobosan yang dilakukan Selingman, para ilmuwan tidak puas hanya mengetahui bagaimana binatang-binatang mempelajari ketidakberdayaan itu.Ratusan penelitian kemudian dilakukan. Pakar-pakar kelas wahid dalam bidang ini adalah Martin Selingman, Chris Peterson, Steven Maier, bersama-sama mereka mengarang sebuah tinjauan yang paling lengkap tentang riset dalam tentang teori Learned Helplessness. 
         Dalam salah satu eksperimen dengan manusia mengenai ketidakberdayaan yang dipelajari itu, Donald Hiroto, seorang mahasiswa pascasarjana di University of Oregon, menempatkan sekelompok orang di sebuah ruangan dan memperdengarkan suatu suara yang besar sekali. Ia kemudian menugaskan mereka untuk mempelajari bagaimana menghentikan suara itu. Mereka mencoba setiap kombinasi tombol di panel yang terdapat di ujung jari-jari mereka, tetapi suara itu tidak bisa dihentikan. Kelompok lain dapat menghentikan suara itu dengan memencet kombinasi tombol-tombol yang tepat. Pada kelompok yang lainnya lagi suara keras itu tidak diperdengarkan sama sekali. 
       Sama dengan anjing-anjing itu, Hiroto kemudian membawa subyek-subyek eksperimennya ke sebuah ruangan dimana ia menempatkan tangan-tangan mereka, satu demi satu ke dalam sebuah kotak ulang-alik. Apabila mereka meletakkan tangannya di salah satu sisi kotak, suara ribut itu terdengar. Apabila mereka menggerakkan tangannya ke sisi yang lain, suara itu akan berhenti. 
       Meskipun waktu, tempat dan situasinya telah diubah, mayoritas orang yang tadinya mendengar suara yang tidak dapat dihentikan akan duduk-duduk saja. Seperti anjing-anjing tadi, mereka bahkan tidak mencoba untuk mengakhiri penderitaannya. Orang-orang yang tadinya bisa mengendalikan suara itu belajar mematikannya dengan menggerak-gerakkan tangan mereka di dalam kotak ulang-alik itu.
       Hasil-hasil serupa telah dicapai dalam eksperimen-eksperimen yang berkaitan. Howard Tennan dan Sandra Eller dari The State University of New York di Albany, misalnya, telah melakukan sebuah penelitian dengan 49 mahasiswa.Mereka membuktikan bahwa orang yang diajar menjadi tidak berdaya dengan diberi teka-teki yang tidak dapat dipecahkan. Belakangan, mereka yang menjadi tidak berdaya menghasilkan kinerja yang buruk dibandingkan dengan kelompok control yang diberi teka-teki yang bisa dipecahkan.
      Ketidakberdayaan yang dipelajari itu menyangkut hilangnya kemampuan mengendalikan peristiwa-peristiwa yang sulit. Seperti kisah dalam kamp konsentrasi NAZI dan sebagian besar penumpang yang pasrah menerima keadaan dalam kapal Poseidon. 
      Terhadap masalah ini, Stoltz paling tidak punya tiga catatan. Pertama, Hambatan Definitif terhadap Pemberdayaan. Kita harus mengetahui pentingnya seseorang memiliki kekuatan. Anak-anak diharapkan memiliki kekuatan untuk mengatakan “tidak” pada obat-obat terlarang, seks, dan situasi-situasi yang merusak. Orang tua perlu diberdayakan demi kepentingan anak-anak mereka; menjaga rumah tangga yang sehat dan penuh kasih; dan membimbing perkembangan anak-anak. Pemimpin-pemimpin perusahaan harus diberdayakan supaya bisa mengatasi kesulitan yang mereka hadapi dari segala sisi setiap harinya.Anda harus diberdayakan supaya bisa melanjutkan pendakian anda.
       Kedua, Memupuk Rasa Tidak Berdaya dalam Diri Orang lain. Grace Ferrari, seorang dosen komunikasi massa di Quinnipiac College melakukan penelitian terhadap isi siaran-siaran berita local dan efeknya pada masyarakat. Penelitiannya mengungkapkan bahwa 71% isi berita menimbulkan sikap tak berdaya.Contohnya adalah keluhan seorang korban yang tidak berdaya menyelamatkan diri dari tangan seorang pemerkosa, atau sepasang suami-istri yang lengah sejenak dan kehilangan anaknya. Hanya 12% dari berita-berita tersebut yang menunjukkan kendali atas situasi yang dihadapi.Inilah situasi-situasi dimana usaha mendatangkan hasil. 
         Ketiga, Imunisasi terhadap Keputusasaan. Dalam penelitiannya, Dr. Selingman menemukan bahwa meskipun sebagian besar anjing belajar menjadi tidak berdaya, beberapa anjing tidak dapat diajarkan untuk mengikuti pelajaran yang melumpuhkan ini. Entah bagaimana mereka telah menjadi kebal. Selingman menyelidiki apa yang membuat mereka berbeda dan menemukan bahwa pada awal kehidupannya, mereka memang telah diajarkan tindakan-tindakan yang berbeda. Sebagai hasilnya, mereka kan terus berusaha setelah anjing-anjing lain menyerah. Bahkan mereka tidak akan pernah berhenti berusaha! 
        Lawan dari ketidakberdayaan adalah pemberdayaan. Secara sederhana, Stolz menyebut orang-orang yang memiliki daya ini dengan sebutan Climbers. Yaitu orang-orang yang membaktikan dirinya pada pendakian.Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik, dia terus mendaki. “Dia seperti kelinci pada iklan baterai Energizer di pegunungan. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah, membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental atau hambatan lainnya menghalangi Pendakiannya”. Tegas Stolz.

Rabu, 09 Juli 2014

Strategi Perang NAZI pada Laga Jerman VS Brazil

Sumber gambar: learnfromwar.blogspot.com
          Cepat...! cepat...! Teriak komandan pasukan NAZI Jerman. Pada saat itu pula, tentara NAZI bergerak dengan cepat, bersama kendaraan perang mereka yang terdiri dari motor, panzer dan kendaraan lapis baja pendukung. Sementara dari angkasa, pesawat pembom Jerman terus menjatuhkan berton-ton bom kearah sasaran. Pasukan itu sangat terorganisir dan bergerak sangat cepat sesuai perintah. Jerman sedang menggunakan Bliztkrieg, strategi perang kilat di Perang Dunia II. Strategi perang ini sangat efektif. Negara-negara Skandinavia, Belanda, Belgia sampai akhirnya Prancis, dapat dicaplok hanya dalam waktu kurang dari setahun. 
          Kecepatan serangan Jerman sangat luar biasa. Pasukan sekutu dibuat panik. Eko Laksono dalam bukunya yang berjudul Imperium III, menulis: “Pasukan Sekutu, terutama dari Inggris yang ada di daratan Eropa, melarikan diri dari kejaran mesin-mesin perang Jerman yang berkekuatan besar. Dan, pada Juni 1940, lebih dari 360 ribu pasukan sekutu terperangkap di tepi laut Dunkirk, utara Perancis, dipinggir selat yang memisahkan Prancis dan Inggris. Dalam situasi yang menegangkan dengan pasukan Jerman yang makin mendekat, ribuan kapal -termasuk perahu-perahu kecil nelayan- digunakan untuk menyeberangkan mereka semua ke Inggris. Berbagai senjata, perlengkapan, dan kendaraan tempur ditinggalkan begitu saja dipinggir pantai. Prancis sudah menyerah, lalu Hitler berfoto di Menara Eiffel bersama pasukannya. Inggris sekarang sendirian. Hitler segera mempersiapkan rencana untuk menjajah bangsa Inggris”
        Panik! Ada apa dengan panik? Dalam Kamus Bahasa Indonesia, panik diartikan sebagai bingung, gugup, atau takut dengan mendadak (sehingga tidak dapat berpikir dengan tenang). Agak sedikit gamblang, shvoong.com mendefinisikan Panik sebagai sebuah perasaan yang luar biasa dari ketakutan dan kecemasan. Merupakan sensasi tiba-tiba yang menyebabkan ketakutan yang begitu kuat yang mendominasi atau mencegah akal dan pemikiran logis, menggantinya dengan perasaan luar biasa dari kecemasan dan agitasi panik konsisten dengan reaksi fight-or-flight kebinatangan. Panik dapat terjadi pada individu tunggal atau nyata tiba-tiba dalam kelompok besar sebagai kepanikan massal (terkait erat dengan perilaku kawanan).
          Menurut beberapa ahli, sebagaimana dijelaskan dalam situs Psikologi Zone, panik terjadi secara tiba-tiba, emosional tinggi, tidak rasional, respon yang kacau. Semua itu terjadi ketika menghadapi ancaman langsung, berat serta tidak ada jalan keluar. Panik mungkin adalah sebuah reaksi dari sejumlah orang yang bertindak secara individu kemudian mempengaruhi secara parallel. Oh Iya, dalam tulisan ini Saya menggunakan kata panik sebatas pada kejadian yang terjadi secara tiba-tiba, emosional tinggi, tidak rasional, kehilangan fokus dan respon yang kacau. Maksudku seperti kejadian yang dialami oleh Brazil dalam pertandingan semifinal semalam. 
        Permainan sepak bola ala tari Samba yang biasanya dimainkan dengan gaya yang indah, tehnik mengolah bola yang sangat lihai, lengket di kaki, digiring meliuk-liuk, melewati pemain lawan, menjadi tak berdaya dihadapan Der Panzer Jerman. Brazil kehilangan semuanya akibat gol cepat dan berulang yang waktunya tak berjauhan. Joga Bonito panic. Hilang fokus akibat “Bliztkrieg” Jerman. Seperti paniknya pasukan sekutu di Perang Dunia II. Seorang komentator sepak bola, menyebut pertandingan yang berakhir dengan 7-1 untuk kemenangan Jerman ini sebagai pertandingan yang memalukan bagi Brazil. Betapa tidak, Brazil bermain di depan publik sendiri, dengan ekspectasi tinggi bahwa merekalah yang akan menjadi kampiun World Cup 2014
           Nampaknya Jerman sangat memahami arti fokus dalam pertandingan semifinal semalam. Sejak jauh hari mereka telah mempersiapkannya. Jerman tak ingin konsentrasinya meraih gelar juara dunia di Brasil terganggu hal-hal di luar lapangan. Karena itu, tim Panser, julukan Timnas Jerman sengaja membatasi interaksi pemainnya dengan dunia luar. Upaya memproteksi pemain Jerman dari dunia luar sudah terlihat dari pemilihan markas mereka di Santos Andre, Bahia. Di kamp latihan Jerman tersebut, mereka membuat sebuah tembok yang tujuannya agar media, warga lokal, ataupun para fans tidak dapat melihat latihan dan aktivitas tim asuhan Joachim Loew. 
        Sebagaimana diberitakan oleh Sumetera Express online, begitu tertutupnya markas Jerman, koran nasional Brasil, Folha de St Paulo, sampai mengatakan bahwa tim Panser sengaja membangun "Tembok Berlin" di Bahia. Ini untuk menggambarkan betapa ketatnya proteksi yang dilakukan Timnas Jerman. Saking ketatnya, jurnalis pun hanya diperbolehkan untuk mengambil gambar 20 menit pertama untuk dua atau tiga kali sesi latihan. Pelatih Joachim Loew pun tak banyak menyambangi media center yang ada di situ. Paling banyak Loew berada di sana dua kali selama empat minggu terakhir. 
          Semua itu tak lepas dari formula latihan Jerman yang berbunyi "konzentration und fokussierung" atau konsentrasi dan fokus. "Ini merupakan filosofi yang menjadi bagian dari tim kami," ujar juru bicara Timnas Jerman, Jens Grittner seperti dilansir oleh Reuters. Menurut Grittner, apa yang dilakukan oleh jajaran tim pelatih dengan membangun "Tembok Berlin" itu semata-mata merupakan elemen terpenting dalam kiprah Die Mannschaft, julukan lain Timnas Jerman di Piala Dunia. "Saya tidak akan berinterpretasi bahwa markas kami tertutup bagi publik. Ini hanyalah langkah persiapan kami secara profesional," tutur Grittner, sebagaimana di kutip oleh Sumatera Express online. 
         Pernyataan tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan Loew. Pelatih yang sebelumnya menjadi asisten Juergen Klinsmann saat Piala Dunia 2006 itu mengatakan, kebijakan menutup diri itu akan memudahkan pasukannya untuk berkonsentrasi. "Saya tidak membaca koran satu pun sejak tiba di Brasil. Saya melakukannya supaya pikiran saya tetap jernih dan hanya berkonsentrasi pada hal penting," ungkap Loew bangga. Tidak hanya membangun tembok tebal, para pemain serta staf pelatih juga mendapatkan nomor baru yang berguna menghindari kejaran media. Terutama media asli Jerman, yang berusaha untuk mengorek skema serta strategi yang akan dimainkan. 
        Dan hasilnya telah kita saksikan semalam. 7 (tujuh) gol mereka sarangkan ke gawang Brazil. Der panzer bermain sangat efektif dan penuh konsentrasi. Mereka menciptakan gol cepat yang membuat Brazil panik dan kehilangan konsentrasi. Tapi anak asuhan Joachim Low tak berhenti sampai disitu. Mereka memanfaatkan kepanikan tersebut dengan menciptakan gol beruntun, dengan pergerakan yang cepat, terorganisir dan efektif. Brazil baru sadar ketika 5 (lima) gol sudah bersarang di gawang mereka. Tapi sudah terlambat. Jerman sudah menggenggam kemenangan. Ini benar-benar pertandingan antara ‘Panic Room’ (Brazil) VS ‘konzentration und fokussierung’ (Jerman). Siapa yang tetap konsentrasi dan fokus, maka dialah pemenangnya. Bravo Jerman.

Selasa, 27 Mei 2014

Aku Bukan Spiderman

Sumber gambar: play.google.com
         Kemarin ku beli sebuah buku catatan kecil. Tak mahal. Tidak juga murah. Bisa ku jangkau harganya. Buku yang menarik bagiku. Di sampul depannya tertulis angka 3 (tiga). Entahlah, ini angka yang menunjukkan urutan produksi buku, atau lainnya. Yang jelas angka ini juga yang membuatku makin suka pada buku catatan ini. Hehehe…. 
           Tiga (3), sekarang usiaku 33 tahun. Di pileg lalu ku sangat suka dengan partai yang bernomor urut 3 (tiga), yang punya target 3 besar. 3,3,3, adalah angka ganjil, sekaligus bilangan prima. Eh… jadi ingat pelajaran matematika waktu SD dulu. Hehehe…. 
         Baiklah, apa makna angka 3 berganda itu? Maksudku 33. Apakah Saya masih muda? Alias pemuda? Karena kata ini dibatasi oleh rentang usia 17-45 tahun, dari sini, Saya memang masih muda. Kalau begitu, apa arti ‘masih muda’ itu sebenarnya?
           Oh iya, Saya pernah menonton film Spiderman. Bahkan yang terbaru dengan bintangnya yang juga baru, The Amazing Spiderman. Dari film Box Office ini Saya menemukan statement menarik: “Kekuatan besar, memiliki tanggung jawab besar”. Kurang lebih begitu kalimatnya. 
        Allah SWT, menciptakan manusia untuk sebuah peran yang diemban. Ibadah, dengan segala kompleksitasnya. Pada saat yang sama, Allah juga melengkapi hamba-Nya dengan segala keunikan. Ketika keunikan bertemu dengan kehendak-Nya, momen luar biasa akan hadir. Pertanyaannya adalah apakah “keunikanku”? Atau dalam bahasa lain, apakah kompetensi inti manusia yang sudah berusia 33 tahun ini?
       Sekedar info, Saya bukan Spiderman. Yang memiliki kekuatan besar. Saya hanya seorang yang masih muda, dengan angka 3 berganda, 33. Punya buku catatan kecil yang pada sampulnya tertulis angka 3. Suka dengan partai yang bernomor urut 3, dengan target 3 besar di 2014. Hehehe…. 
          Oh iya, Saya ingatkan kembali. Buku catatan kecilku itu baru saja ku beli kemarin. Masih banyak lembaran kosongnya. Mudah-mudahan diriku juga begitu. Maksudku, Allah masih beri kesempatan yang banyak tuk mengisi lembaran hidup. Lembaran-lembaran yang InshaAllah dengan sepenuh tenaga akan selalu dan segera diisi dengan satu kata, Ibadah. Aamiin.... 

                             (Catatan perjalanan Baubau-Kendari, 7 Mei 2014)

Selasa, 15 April 2014

Jadilah Engkau Purnama

Sumber gambar: www.jelajahunik.us
          Aristoteles dan Alexander Agung. Mereka adalah guru dan murid. Michael H Hart memasukkan keduanya dalam buku ‘100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah’. Aristoteles di Peringkat ke-13, sedangkan Alexander Agung di peringkat ke-33. Aristoteles dikenal sebagai filsuf dan ilmuwan terbesar pada masanya, sedangkan Alexander adalah penguasa sekaligus penakluk yang mengagumkan. 
         Philip II dari Macedonia, ayah Alexander adalah negarawan yang hebat. Ia seorang yang visioner sekaligus tahu cara merealisasikan mimpi-mimpinya. Termasuk menyiapkan Alexander kecil sebagai penerus tahtanya. Philip II mengajari putranya tentang strategi perang, dan memberinya pengalaman yang cukup banyak dalam bidang kemiliteran. Untuk bidang akademiknya, Philip II mengirim Alexander untuk belajar pada guru tebaik di zamannya. Filsuf dan ilmuwan terbesar, Aristoteles. 
      Bagaimana hasilnya? Alexander menjadi negarawan dan intelektual dibawah bimbingan Aristotelas. Menjadi salah satu tokoh yang berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Disamping mendirikan kota-kota penting disepanjang perjalanan penaklukannya, diantara pengaruh lain yang dihadirkannya, Michael H Hart menulis: “Dalam jangka panjang, pengaruh terpenting dari penaklukan Alexander adalah mendekatkan kebudayaan Yunani dan Timur Tengah, sehinnga sangat memperkaya kedua kebudayaan itu. Selama dan segera setelah karir Alexander berkahir, kebudayaan Yunani menyebar dengan cepat ke seantero Iran, Mesopotamia, Suriah, Yudea dan Mesir”. Luar biasa. 
            Alexander Agung adalah satu diantara tokoh yang mau belajar untuk menjadi besar. Sekaligus menunjukkan pada setiap orang bahwa salah satu rahasia keunggulannya adalah belajar dari tokoh besar yang juga punya keunggulan luar biasa. 
            Eko Laksono dalam bukunya yang berjudul ‘Imperium III’ menulis: ”Bangsa-bangsa terbesar dan para tokoh terbesar menyerap ilmu pengetahuan terhebat dari bangsa-bangsa dan tokoh-tokoh terbesar lainnya. Peradaban Islam dulu belajar dari Yunani, Romawi, Persia, China dan India. Peradaban Eropa belajar dari peradaban Islam di Andalusia Spanyol dan kerajaan Byzantium-Konstantinopel. Jepang belajar sains dan teknologi dari negara-negara termaju di dunia saat itu, Eropa dan Amerika. Dari bangsa dan orang-orang itu, mereka mneyerap, mengumpulkan dan menyinergikan ilmu-ilmu terhebat dan terunggul menjadi ilmu yang bahkan lebih unggul lagi”. 
           Dari sini, kita sudah bisa melihat, bahwa akhirnya tidak ada rahasia untuk menjadi manusia unggul. Sejarah sudah menunjukkan cara kerjanya. Hanya saja, muncul sebuah pertanyaan, mengapa orang-orang yang sudah belajar dari manusia-manusia terunggul justru tidak mampu menjadi unggul? Petanya sudah dibuka, strateginya sudah diungkap dan juknisnya sudah dimunculkan, tapi mengapa tetap saja tidak mampu menjadi unggul? Dan beberapa akhirnya ternyata gagal? 
       Jawabannya terdapat pada kata ‘Why’. Kok Why? Ketidakmampuan setiap orang untuk menjawab pertanyaan “Mengapa mereka harus unggul?”. Disinilah salah satu letak masalahnya. Saya sering berujar didepan para pelajar dan mahasiswa. Tak terhitung buku tentang kesuksesan ditulis. Dan telah begitu banyak orang-orang telah membacanya. Tapi mengapa banyak pula yang tak mampu mengikuti apa yang tertulis dalam buku tersebut? 
         Sekali lagi, ini terkait dengan ketidakmampuan menjawab “Why?”, alasan atau rasionalisasi untuk menjadi sukses dan unggul. Jika mampu menjawabnya, maka seseorang sudah mampu membuka pintunya. Itulah mengapa dalam Islam, orang yang senantiasa belajar dan menuntut ilmu, maka akan diangkat derajatnya di sisi Allah SWT. Secara tersirat, ganjarannya adalah surga. So, Ini tentang nilai dan visi kehidupan manusia. Sesuatu yang berdimensi dunia dan akhirat. Ini tentang ibadah. Maka dalam Surat Az-Zariyat ayat 56 Allah berfirman “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Sekedar info, menuntut ilmu adalah ibadah. Sampai disini, “why?” sudah terjawab. 
          Rasulullah SAW, bersabda: “Kelebihan seorang yang berilmu terhadap ahli ibadah adalah seperti bulan purnama terhadap seluruh bintang-bintang di langit”. Maka jadilah engkau purnama.

Jumat, 11 April 2014

Kungfu Panda VS Izzat Mu’jizat

Sumber gambar: cartoonpaper.com
          Poo si Panda kaget bukan kepalang. Rupanya gulungan naga yang baru saja diberikan oleh guru Shifu tidak berisi jurus-jurus atau rahasia ilmu kungfu. Hanya gulungan kosong. Masih tak percaya, Poo membukanya kembali. Mencoba menemukan rahasia tersembunyi di gulungan itu. Tapi tetap saja kosong. Yang tampak hanya bayangan wajahnya di lembaran itu.
          Poo si Pendekar Panda yang gendut dan lucu, Guru Shifu serta lima jagoan kungfu China lainnya tertunduk lesu dengan kejadian ini. Seolah tak ada harapan lagi. Padahal gulungan naga akan digunakan sebagai “senjata” satu-satunya untuk melawan Tai Lung si Harimau, "seorang" pendekar tanpa tanding yang sebentar lagi akan datang menghancurkan daerah mereka. 
           Apa mau dikata, seluruh penduduk segera diungsikan. Guru Shifu tetap tinggal untuk melawan Tai Lung, yang sebenarnya adalah bekas muridnya. Poo dan lima jagoan kunfu lainnya mengkoordinir pengungsian. Satu demi satu warga desa menunggalkan rumahnya, sambil membawa bekal seadanya. Ketakutan tampak diwajah mereka, terbayang perlakuan jahat Tai Lung jika mereka tidak segera meninggalkan tempat itu. 
         Poo tampak diantara rombongan pengungsi. Berjalan dengan wajah tertunduk lesu sambil mendorong gerobak Mie. Ayahnya yang sedari tadi disampingnya mencoba untuk menghibur. Sang Ayah yang juga adalah seorang Pembuat Sup terkenal dengan rasa tiada banding didaerah itu akhirnya menceritakan resep rahasia pembuatan Sup yang sudah turun-temurun dalam keluarga mereka. Hal yang sejak dulu ingin diketahui oleh Poo. 
          Kata Sang Ayah; “resep rahasia dari bumbu rahasia sopku adalah.... tak ada”.
        “Hah..”. Poo kaget mendengarnya.
       “Tak ada bumbu rahasia”. Kata Sang Ayah lagi.
       “Tunggu, itu cuma sup biasa? Tak ada saus khusus atau sesuatu?” Tanya Poo lagi.
       “Tak perlu”. Jawab Sang Ayah. “Untuk menjadikannya spesial, hanya butuh keyakinan bahwa itu spesial”, Pungkas Sang Ayah.
            Poo si Panda akhirnya tersadar. Ia membuka kembali gulungan naga yang sedari tadi ia bawa serta. Ditatapnya agak lama. Tampak bayangan wajahnya di gulungan itu. Kini Ia memahami, bahwa bayangan wajah yang muncul dalam gulungan itu memiliki keistimewaan tersendiri. Hanya butuh sebuah keyakinan bahwa pemilik wajah itu memiliki keistimewaan.
          Bayangan wajah dalam gulungan naga itu adalah miliknya. Kini Ia yakin bahwa dirinya memiliki keistimewaan. Ia lalu memandang ke arah markas perguruannya. Jauh disana Guru Shifu sedang bertarung mati-matian melawan Tai Lung. Poo melesat pergi, siap menghadapi Tai Lung demi menyelamatkan perguruan dan penduduk desanya.
          Pertarungan seru pun terjadi antara Poo melawan Tai Lung. Dengan gerakan jurus-jurusnya yang unik, menggunakan keistimewaan tubuhnya yang gendut, Poo berhasil menandingi Tai Lung yang bertarung dengan beringas dan penuh dendam. Mereka bertarung cukup lama, hingga akhirnya, dengan keistimewaan yang dimilikinya, Poo berhasil mengalahkan Tai Lung. Untuk lebih jelasnya tentang pertarungan mereka ini, nonton aja film Kungfu Panda ya. Seru Kok. Hehehe.... 
          Sun Tzu, seorang ahli strategi perang asal China dalam buku Art of War berujar, “Know your self, know the enemy”. Pahami diri sendiri, dan pahamilah musuhmu. Kalo ini dilakukan, niscaya perang akan dimenangkan. Yup, kalo diterapkan dalam sebuah peperangan.
         Anis Matta dalam bukunya ‘Delapan Mata Air Kecemerlangan’ menulis bahwa manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan keunikan individualnya masing-masing. Kunikan adalah realitas kepribadian, tempat manusia menyerap Idealisme atau kehendak Yang Maha Kuasa. 
         Jika seseorang yang unik ini memiliki iman yang kuat serta senantiasa beramal shalih, kemudian mengintegrasikannya dengan tiga dimensi kepribadian; yaitu akal hati dan fisik, maka Ia telah dianggap mencapai kesempuraan pribadi. 
            Akan menjadi lengkap lagi, jika Ia tidak hanya memiliki kesempurnaan pribadi saja, tapi juga harus memiliki kesholehan sosial. Namun, dalam proses partisipasi sosial, seseorang tidak dapat melakukan segalanya, atau melakukan segala hal. Jadi, harus bisa menghemat energi agar dapat mencapai output maksimum dengan keterbatasan energi yang dimiliki. Bagaimanan caranya? Pilihlah peran yang tepat, yang sesuai dengan kompetensi inti. “Hanya dengan demikian kita menjadi ulung”. Kata Anis Matta. 
         Ippo Santoso dalam bukunya ‘7 Keajaiban Rezeki’ menyinggung sedikit tentang SWOT. Sebuah metode dalam manajemen modern untuk menganalisa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Kemudian pakar Otak Kanan ini bertanya, “Pilih mana, tingkatkan kekuatan atau perbaiki kelemahan?”
          Ippo menyarankan untuk memilih meningkatkan kekuatan. “Memperbaiki kelemahan hanya mengubah Anda dari orang dibawah rata-rata menjadi orang rata-rata. Meningkatkan kekuatan akan mengubah Anda dari orang rata-rata menjadi orang diatas rata-rata”. “Seorang anak yang berbakat berhitung, mestinya bakat berhitung ini yang terus menerus diasah. Bukannya malah mencari-cari kelemahan si anak dan mengasah kelemahan itu”. Tegas Ippo. 
          Lantas bagaimana cara mengetahui kekuatan kita? Untuk mengetahuinya, paling tidak secara sederhana kita harus mempu menjawab pertanyaan berikut; Apakah yang Anda minati? Apakah yang paling Anda kuasai? Apakah sesuatu yang Anda minati dan kuasai itu menghasilkan? Apakah itu sesuai dengan persepsi publik terhadap Anda? Kalo kita sudah mampu menjawab ini, Kata Ippo Santoso, “... berarti Anda telah menemukan kekuatan Anda, Pembeda Abadi Anda”. Kalau begitu, lantas apa pembeda abadi dari Izzat Mu’jizat?

Kamis, 10 April 2014

‘The Matrix’ dan Rahasia Pemenang

Sumber gambar: www.wallsave.com
             Beberapa hari kemarin, salah satu stasiun televisi menyuguhkan sebuah film yang menurutku begitu menarik. Sebenarnya sih sudah berkali-kali Saya menontonnya, tapi tetap saja menarik untuk ditonton ulang. Sebagai seorang penggemar film kungfu, Saya sangat terkesan dengan adegan laganya. Mempesona. Melompat dari gedung ke gedung, gaya menghindari lusinan peluru, aksi berantem, sampai adegan tembak-menembaknya yang begitu asyik.
         Berdasarkan film ini, konon di masa depan, untuk mempertahankan hidupnya, manusia akhirnya menggunakan bantuan mesin untuk melakukannya. Manusia tidak bisa lagi melahirkan, sehingga harus diregenerasi dengan bantuan mesin. Ini dikarenakan dunia telah mengalami kehancuran akibat pertikaian yang berkepanjangan.
            Ilmu pengetahuan yang awalnya didesain untuk kemaslahatan manusia, justru menjadi sumber pertikaian yang juga berefek pada habisnya energi. Ilmu pengetahuan yang akhirnya menghancurkan ini sesungguhnya adalah teknologi yang diciptakan untuk tujuan kenyamanan manusia. Sebuah mesin atau semacam program komputer yang memiliki Artificial Intelligence, yang apabila manusia “dimasukkan” dalam mesin ini, mereka bisa terus hidup dengan imajinasinya masing-masing.
          Akan tetapi, mesin ini pada akhirnya menjadi pengendali manusia. Manusia menjadi terkerangkeng didalamnya. Mesin atau program komputer ini disebut dengan 'The Matrix', yang dikawal oleh program-program penjaga yang disebut agen-agen. Agar manusia terbebas dari kungkungan penjara ini, maka harus ada pahlawan yang menyelamatkan mereka dari ‘The Matrix’.
          Setidaknya inilah gambaran film 'The Matrix’ yang digarap oleh dua bersaudara Andy dan Larry Wachowski. Film fiksi ilmiah yang awalnya tidak diperkirakan akan sukses besar ini, dibintangi oleh Keanu Reeves, Laurence Fishburne, Carrie-Anne Moss, dan Hugo Weaving. Dirilis pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1999. 
          Kembali lagi ke ‘The Matrix’. Lalu muncullah kelompok pemberontak yang melawan para agen. Kelompok ini dipimpin oleh tokoh yang bernama Morpheus. Disamping terus melakukan perlawanan sporadis, Morpheus dan kelompoknya juga memiliki keyakinan akan sebuah ramalan bahwa nantinya akan muncul seorang pahlawan yang dapat menghancurkan ‘The Matrix’.
            Hebatnya, lewat ‘The Matrix’ mereka mampu menembus masa lalu dan merekrut orang-orang untuk melawan para agen. Diantaranya adalah Neo dan cypher. Setiap orang yang direkrut, oleh Morpheus terlebih dahulu ditawarkan untuk memilih pil berwarna merah atau pil berwarna biru. Pil berwarna merah berarti mesuk ke dunia matrix dan menjadi seorang pejuang, sedangkan pil biru berarti akan tetap di dunia nyata. Neo memilih pil merah. Begitu juga Cypher yang telah lebih dulu bergabung dengan kelompok Morpheus.
           Bergabung dengan kelompok pemberontak alias menjadi pejuang rupanya bukanlah hal yang mudah. Bahkan sangat susah. Mereka harus terus menghindar dari kejaran musuh, sambil terus bersembunyi dengan logistik makanan yang seadanya. Disamping teknologi dan kemampuan bertarung musuh yang diatas rata-rata para pemberontak.
           Sesungguhnya memang demikianlah situasi yang “harus” dialami para pejuang. Logistik yang seadanya, pertempuran yang tidak seimbang, musuh dengan fasilitas yang lebih kuat, tekanan psikologis yang begitu berat, godaan untuk mudur dari perjuangan dan lain sebagainya. Penuh dengan onak dan duri. Seperti syair dalam sebuah nasyid, “Ada ujian yang datang menghadang, ada perangkap menunggu mangsa.” 
             Namun, sekali lagi situasi seperti inilah yang memunculkan pejuang sebenarnya. Mereka akan terseleksi secara otomatis, mana yang ikhlas dan mana yang tidak. Bagi yang tidak ikhlas, mereka akan terhempas, memilih menjadi budak musuh, atau keluar dari kelompok pejuang dan menjadi pendengki sejati. Maka inilah yang dialami Cypher. Ia tidak tahan dengan situasi seperti ini dan akhirnya memilih berkhianat dan menjadi budak musuh. Ia menyerahkan Morpheus kepada musuh dan membunuh beberapa pejuang. Tapi akhirnya Cypher tewas ditangan Tank (anak buah Morpheus), saat mencoba menghabisi Neo.
            Ceritanya cukup sampe disini aja ya. Karena dari sini kita sudah bisa belajar tentang sesuatu. Kata Anis Matta, “Para Pahlawan harus berhasil membangun ‘bunker’ dalam jiwa mereka. Tempat kunci-kunci daya hidup mereka tersembunyi dengan aman. Itulah yang membuat mereka selalu tampak santai dalam kesibukan, tersenyum dalam kesedihan, tenang di bawah tekanan, bekerja dalam kesulitan, optimis di depan tantangan dan gembira dalam segala situasi.” 
          Ketika berbicara tentang para pejuang, kita juga akan berbicara tentang komitmen dan konsistensi. Tetapi kekuatan yang bisa membuat seseorang tetap konsisten salah satunya adalah kesabaran. Dan kesabaran itu tentu rasanya kadang pahit. Tapi tidak usah khawatir, sebab kata Rasulullah, “Sesungguhnya kesabaran itu hanya pada benturan pertama”. (HR. Bukhari dan Muslim). 
            “Tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan. Maka, ulama kita dulu mengatakan “Keberanian itu sesungguhnya hanyalah kesabaran sesaat. Resiko adalah pajak keberanian. Dan hanya kesabaran yang dapat menyuplai seorang pemberani dengan kemampuan untuk membayar pajak itu terus menerus. Jelas Anis dalam buku 'Mencari Pahlawan Indonesia'.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More