Blog yang berisi catatan-catatan singkat dan sederhana. Mencoba menangkap dan menulis pesan bijak dari berbagai sumber.

About

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 06 Desember 2016

Anana umane & Kabuabua: Sebuah catatan tentang Remaja

Sumber gambar: Katakata.me
          Saat masih duduk di bangku SMA dulu, Saya dan beberapa sahabat pernah membantu seorang kakak untuk mendirikan dapur kecil di belakang rumah. Sebuah bangunan mungil beratap rumbia dan berlantai bambu. Melihat upaya kami, Ibu Saya lalu berucap sambil bercanda: “Kalian sudah bisa (memenuhi syarat) menikah kalo sudah bisa bikin dapur seperti itu”.
          “Hahaha”, kami tersenyum dan tertawa bersamaan saat mendengarnya. Bagi Saya pribadi, ketika itu rencana menikah belum ada dalam benak. Masih sangat jauh di sana. Seperti jauhnya neger ‘far far away’ dalam film Shrek. Hehehe. 
           Mengapa Ibu Saya berkata demikian? Sebab dalam adat Wolio (Buton), ketika keluarga laki-laki ingin menyampaikan hasrat untuk melamar seorang gadis, maka mereka akan mengirim seorang towelea (sesepuh adat) yang lalu berkata kepada keluarga sang gadis: “daangiamo bhara moumbana mosoyina lante te mopakarona rapu yi banua siy, barangkala yindapo dangia, maka oanamami La … (sebut nama lelaki) eahaejati aumbamo asoy lante tea pakarro rapu I banua siy to anamami Wa … (sebut nama gadis yang dituju)”. 
            Artinya: “apakah sudah ada yang pernah datang membuat lantai dan mendirikan dapur di rumah ini, jika sekiranya belum ada, maka anak kami La … (sebut nama lelaki) akan datang membuat lantai dan mendirikan dapur di rumah ini untuk anak kami Wa … (sebut nama gadis yang dituju)”. 
           Nah, penduduk negeri Khalifatul Khamis, perkara nikah adalah soal kedewasaan. Sebab usia dewasa dianggap telah siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Saat mendirikan dapur mungil itu, usia Saya kira-kira 15 atau 16 tahun. Berarti waktu itu Saya sudah dianggap dewasa. Bukan anak-anak lagi. Bukan pula remaja. Orang wolio menyebut Anana umane atau Kabuabua yang bermakna dewasa, setelah melalui masa kanak. Jadi, dari anak, langsung berpindah status ke dewasa. Tak ada rentang waktu yang disebut dengan remaja. Kok bisa? 
             Berbicara tentang ‘remaja’, kata ini memang unik. Jika ada pertanyaan, “bukan anak, tapi belum dewasa, siapaka dia?” Itulah remaja. Mau minta uang ke orang tua dianggap sudah besar, tidak pantas lagi, tapi jika minta nikah, malah dianggap masih anak kecil. Tidak cuma itu, mau berkumpul dengan orang dewasa dianggap masih ingusan, tapi jika bermain bersama anak kecil rasanya tak cocok lagi sebab badan sudah gede. 
           Masa ini biasanya disebut usia peralihan, perubahan, bermasalah, saat mencari identitas, dan usia yang menakutkan. Dalam literatur psikologi perkembangan, biasanya hal ini terjadi dalam rentang usia 15-21 tahun. 
         Akan tetapi, ada beberapa hal yang membingungkan jika kita berbicara tentang remaja. Coba perhatikan, dunia pendidikan hanya mengenal Pedagogi dan Andragogi (pendidikan anak dan dewasa). Dunia hukum pun begitu, hanya mengenal anak dan dewasa. Lantas dimana letak remaja? 
            Adriano Rusfi, seorang psikolog senior, mengungkap beberapa fakta bahwa ternyata seluruh literatur dunia hingga abad 19 tak mengenal terminologi remaja, istilah ini baru muncul pada zaman revolusi industri. Juga berubah-ubahnya periodisasi remaja (Hurlock), yang membuktikan bahwa fase ini tidak ajeg. 
           Selain itu, penelitian psikologi lintas budaya membuktikan bahwa fenomena remaja itu tidak universal. The sof Samoa dari Margareth Mead membuktikan bahwa di Samoa tidak ada remaja. Bahkan, periodisasi perkembangan kognitif (Piaget), Seksual (Freud), Sosial (Erikson) dan Moral (Kohberg) tak mengenal fase remaja. 
           Karenanya, Saya sependapat dengan perlunya perubahan paradigma tentang hal ini. Yaitu dari anak, langsung menuju dewasa. Tak ada masa transisi yang disebut remaja ini. Dan dalam Islam, tidak ditemukan istilah remaja. Yang ada adalah Baligh (satu paket dengan aqil, sehingga orang biasa menyebutnya dengan aqil Baligh). 
          Oh iya, apa perbedaan antara aqil dan baligh? Sekali lagi, sebenarnya keduanya satu paket dalam kata ‘Baligh’. Tapi baiklah, mari kita lihat perbedaannya. Menurut Adriani Rusfi, Psikolog dari Universitas Indonesia (UI), Aqil adalah kondisi saat seseorang telah memiliki kedewasaan mental yang hadir karena pengaruh pendidikan, masa berkembangnya akal, mengedepannya fungsi tanggung jawab dan hadirnya kemandirian. Sedangkan Baligh adalah kedewasaan fisik karena pengaruh nutrisi, saat berkembangnya nafsu, mengedepannya fungsi reproduksi, serta life and death instinct. 
           Yang terjadi sekarang adalah, kadang Baligh jauh mendahului Aqil. Sebagai contoh, kita menemukan orang berkata, “Badan besar, tapi mental kerdil”. Badan besar adalah soal Baligh, sedang mental kerdil adalah tentang Aqil. Usia 15 tahun fisik sudah gede, tapi kedewasaan nanti terpenuhi saat usia 25 tahun. Mereka tak berjalan seirama. Kita banyak menemukan fakta seperti ini. 
          Dalam sejarah, terdapat beberapa tokoh yang dalam usia 15/16 tahun, Aqil Baligh-nya sudah berjalan bersamaan. Usamah Bin Zaid telah memimpin perang dalam usianya 16 tahun. Muhammad Al Fatih menjadi penguasa Imperium Utsmani di usianya yang ke-16, lalu menaklukkan Byzantium (Romawi Timur) di usianya yang ke-23. 
           Ada juga Sentot Ali Basya Praworodirjo, yang menjadi tangan kanan Pangeran Diponegoro dalam perang paling berdarah di tanah Jawa saat usianya menginjak 17 tahun. Dan ketiga tokoh ini saat itu sudah menikah. Dalam Islam, ini disebut Baligh. Seorang Pemuda. Generasi dewasa. 
          Lantas, apa yang harus dilakukan agar aqil dan baligh berjalan selaras? Tentu perlu upaya untuk mempersiapkan generasi seperti ini. Adriano memberikan beberapa tips; (1) Didik mereka, bukan hanya ajar. (2) Boleh delegasikan tugas pengajaran (pada para guru di sekolah), namun jangan limpahkan tanggungjawab pendidikan. (3) Ayah adalah penanggung jawab utama pendidikan, sedangkan Sang Bunda adalah pelaksana utamanya. (4) Tak perlu berlindung dibalik istilah ‘kualitas pertemuan. (5) Orang tua harus smart mencari nafkah, dan (6) bangun komunitas. 
           Sebagai orang Wolio (Buton), Saya mencoba membuka beberapa literature tentang Aqil Baligh dalam kehidupan masyarakat negeri seribu benteng. DR. La Ode Abdul Munafi, seorang akademisi dan Budayawan Buton, dalam catatannya pada buku ‘Menafsir ulang Sejarah & Budaya Buton’, menjelaskan bahwa setelah anak-anak memasuki aqil-baligh, baik laki-laki maupun perempuan, selanjutnya diadakan upacara tandhaki (laki-laki) atau posusu (perempuan). 
          Tandaki atau posusu adalah sebutan upacara untuk Khitanan dalam masyarakat Wolio, yang bisa dilakukan secara sendiri-sendiri oleh sebuah keluarga, ataupun secara kolektif oleh beberapa keluarga yang umumnya berasa dari satu kerabat. Anak-anak yang telah dikhitan (disunat) lalu mengenakan pakaian adat yang disebut ajo tandaki (pakaian adat laki-laki) atau ajo posusu (pakaian adat perempuan). 
         Upacara ini berintikan pembai’atan atau pengresmian mereka sebagai orang Islam dengan diajari melafalkan dua kalimat syahadat dengan lidah, membenarkan atau meyakinkan sungguh-sungguh dengan hati, dan merefleksikannya melalui gerak dan perilaku dalam kehidupannya sehari-hari. 
           Masa dewasa bagi orang wolio secara biologi ditandai dengan apa yang disebut dengan istilah anana umanemo bagi laki-laki. Ia telah mengalami khitanan dan telah memiliki dasar-dasar kemampuan jasmani berupa ketangkasan dan keterampilan. Bagi perempuan disebut Kabuabuamo, saat mereka telah mengalami haid dan telah memiliki kemampuan membantu dalam rumah tangga. 
            Dalam masa ini, laki-laki umumnya mulai bergaul secara luas dalam lingkungan sosialnya. Lain halnya dengan anak perempuan, pihak keluarga umumnya mulai memikirkan untuk melakukan upacara pingitan yang disebut posuo, sekaligus mulai merencanakan perjodohan. Pemuda-pemudi wolio pada zaman dahulu tidak mengenal pacaran. Usaha perjodohan ini dimulai dengan inisiatif orang tua laki-laki. Adanya perkawinan menunjukkan bahwa seseorang telah memasuki usia dewasa dan dianggap telah siap mengarungi kehidupan rumah tangga. 
          Kebudayaan Buton menggambarkan sebuah upaya sistemik dari struktur sosial untuk mewujudkan kehidupan yang sarat dengan equilibrium. Kearifan lokal ini, harus disosialisasikan pada generasi muda, agar mereka tumbuh menjadi pemuda. InsyaAllah kurikulum Aqil Baligh menjadi solusinya.

Minggu, 31 Juli 2016

Neuropsikologis Pembunuhan di Kota Baubau

Sumber gambar: www.clipart-kiste.de
               Masih ingat dengan konfrontasi Cicak melawan Buaya di tahun 2009 yang lalu? Ya, kedua reptil tersebut “diperkenalkan” oleh Susno Duadji, seorang mantan Kabareskrim Mabes Polri, sebagai ikon kasus KPK vs Polri. Istilah yang kemudian menjadi simbol perlawanan pendukung institusi yang pernah dinakhodai oleh Abraham Samad ini terhadap Polri. Waktu itu KPK dipersonifikasikan sebagai Cicak, sementara Kepolisian sebagai Buaya. 
              Tapi maaf, mengenai kasus antara KPK dan Polri tersebut tidak akan dibahas pada tulisan ini. Saya Cuma tertarik pada kata ‘Reptil’ yang melekat pada Cicak dan Buaya yang dijadikan ikon oleh mantan Kabareskrim Polri tersebut. 
            Begini, para ahli otak menggunakan kata ‘Reptil’ untuk memberi istilah pada salah satu bagian otak manusia. Mengapa bisa begitu? Karena bagian tersebut sama persis dengan bagian otak yang dimiliki reptil, seperti kadal atau buaya. Dan bagian yang lalu disebut dengan ‘Otak Reptil’ ini dianggap memiliki kaitan dengan kejahatan (termasuk pembunuhan). Kok bisa? 
              Sebagaimana kita ketahui bersama, Dr Paul Maclean, menyebutkan bahwa manusia memiliki tiga bagian otak yang ia sebut sebagai ‘Otak triune’. Mereka adalah Batang atau otak reptile, Sistem limbik atau otak mamalia, dan Neokorteks. Masing-masing bagian mempunyai struktur syaraf tertentu dan mengatur tugas-tugas yang harus dilakukan. 
            Beberapa literatur menyebutkan bahwa otak reptil bertugas untuk mengendalikan fungsi-fungsi motor sensorik (yakni untuk mengetahui rangsangan yang berasal dari panca indera), dan mempertahankan hidup secara naluriah (yang terfokus pada makanan, tempat tinggal, perkembangbiakan, dan perlindungan diri). Ketika seseorang mengalami suatu bahaya, otak reptil ini memberikan komando kepada anggota tubuh yang lain untuk menghadapi atau lari dari situasi berbahaya tersebut. 
             Otak mamalia berfungsi sebagai tempat menyimpan memori, mengendalikan bioritme (seperti pola tidur, lapar, haus, tekanan darah, detak jantung, gairah seksual, temperatur, kimia tubuh, metabolisme, dan sistem kekebalan), sebagai pusat perasaan atau emosi, dan mengendalikan semua bagian anggota tubuh. Karenanya, keadaan emosi sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Segala sesuatu yang datang dari indra penglihatan, pendengaran, penciuman, dan peraba masuk ke otak ini, kemudian didistribusikan ke "otak pemikir" atau neokorteks. 
           Sementara tugas neokorteks adalah berpikir, berbicara, melihat, dan mencipta. Otak ini merupakan tempat kecerdasan. Di otak ini pula bersemayam kecerdasan yang lebih tinggi, yaitu intuisi, sebuah kemampuan menerima informasi yang tidak dapat diterima oleh panca indra. 
          Slamet Wahyudi dalam tulisannya yang berjudul ‘Otak Manakah Yang Sedang Anda Pakai..,??!’ menjelaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memiliki keseimbangan ketiganya, tidak satupun yang mendominasi, dan dengan bimbingan wahyu, manusia akan mampu memberdayakan semua fungsi otak ini sehingga cara berpikir dan perilakunya selaras, seimbang, sempurna menjadi Al Ihsan
             Allah SWT, menyebutnya dalam Al Qur’an, Surah Al A’raf ayat 179, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” 
             Sayangnya, tanpa disadari, kadang manusia didominasi oleh otak reptilnya. Seperti halnya bangsa reptil, manusia yang didominasi otak ini, dapat berperilaku seperti reptil, dan tidak dapat berpikir pada tingkat yang lebih tinggi. Seseorang hanya bertindak berdasarkan nafsunya. Misalnya, ketika merasakan lapar, maka apapun akan dilakukannya demi terselesaikannya masalah lapar tersebut. 
          Saat bahaya datang maka bangsa reptil akan serta merta berlari atau berhadapan untuk membela/mempertahankan diri. Otak reptil aktif bila seseorang kurang tidur, terancam, takut, stress, atau pada saat kondisi tubuh dan pikiran yang lelah. 
           Herulono Murtopo, dalam artikelnya di Kompasiana yang berjudul ‘Berotak Dasar Reptil, Semua Manusia’, mengatakan bahwa karena berotak dasar reptil, maka semua manusia berpotensi menjadi jahat. Kenapa orang yang tampaknya baik-baik bisa menjadi sedemikian jahat? Kita kadang menemukan dalam siaran berita di televisi, seorang anak yang membacok kakak kandungnya, lalu akhirnya menyesal setelah Sang kakak akhirnya meninggal di Rumah Sakit. 
             Menurut Herulono, dalam pendekatan Neuropsikologis, para pembunuh yang sedemikian sadis itu, bukanlah orang yang terbiasa melakukan tindakan-tindakan sadis. Banyak kejahatan yang dilakukan dengan spontan, kemudian muncul penyesalan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh dominannya reptilian brain dalam diri manusia. 
               Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, otak reptil akan diaktifkan oleh suatu perasaan negatif seperti emosi, marah, stress, takut, tertekan, cinta, dan perasaan lainnya. Ia bergerak dengan sangat spontan. Yang lalu menjadikan seseorang agresif dan cenderung mengikuti instingnya. Kalau otak ini sering digunakan, dia bekerja semakin canggih dan kalau tidak hati-hati bisa cenderung jahat, yang lalu menyebabkan hal-hal yang tidak dinginkan, diantaranya adalah pembunuhan. Seperti yang terjadi belum lama ini di Kota Baubau. 
                Lalu, bagaimana cara mengendalikan otak reptil agar tidak menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan? Baiklah, kita mulai dari pertanyaan, apa yang terjadi ketika manusia dikuasai emosi? David Pranata (seorang speaker, trainer dan writer) dalam david-pranata.com menjelaskan bahwa ketika seseorang dikuasai emosi sehingga tidak lagi bisa mengendalikan diri adalah sebuah kondisi yang disebut dengan “amygdala hijack“. Amgydala adalah bagian dari otak primitif (otak reptil) yang kemudian membajak neocortex. Ketika seseorang dibajak, berarti ia akan kehilangan kendali. Bagian otak reptil-lah yang akhirnya mengambil alih kendali perkataan atau tindakan. Menurut David, ada empat langkah kilat untuk mengendalikan diri: 
             Pertama, Akuilah Perasaan Anda. Banyak orang yang justru menyangkal perasaan mereka dan mengatakan hal yang sebaliknya. Misalnya saja seorang yang sedang kecewa atau sedih kemudian menyangkal apa yang ia rasakan. Dia terus berkata kepada diri sendiri bahwa dia tidak apa-apa, sama sekali tidak ada perasaan kecewa atau sedih. Jangan mengingkari apa yang sedang dirasakan, yang harus dilakukan adalah justru menyadari dan mengakui perasaan tersebut. Inilah yang disebut proses ber-empati pada diri sendiri. Katakan kepada diri sendiri apa yang sedang dirasakan. 
             Kedua, Aturlah nafas anda dan berusahalah untuk relax. Setelah mengakui apa yang anda rasakan, cobalah untuk bernafas secara dalam dan lambat secara teratur. Mengatur pernafasan adalah langkah pertama untuk mengubah emosi. Ketika sedang diliputi emosi negatif, nafas kebanyakan akan menjadi tidak teratur. Pernahkan melihat orang marah besar dengan nafas tetap teratur? Tentu tidak. Nafas mereka akan tersengal-sengal, bahkan pada beberapa kondisi mereka sampai kesulitan bernafas. Oleh karena itu ubah nafas menjadi teratur. Lakukan ini sampai kondisi menjadi lebih seimbang. 
              Ketiga, Ubah fisiologi anda. Yang artinya adalah emosi diciptakan oleh gerakan (fisiologi) kita. Bahasa tubuh anda akan mempengaruhi kondisi emosi. Jadi yang dilakukan berikutnya adalah dengan mengubah bahasa tubuh sesuai dengan kondisi emosi yang kita inginkan. Bahasa tubuh dan emosi akan selalu sinkron. Tidak ada orang sedih yang rauh wajahnya ceria, posturnya tegak dan tersenyum. Oleh karena itu ketika seseorang mengubah fisiologinya, maka emosi pun akan ikut berubah. Menurut riset dibutuhkan waktu 2 menit untuk merubah emosi yang ada di tubuh. 
         Keempat, Mulailah untuk berpikir apa yang bisa anda lakukan. Setelah mulai bisa mengendalikan emosi dan perasaan, sekaranglah saatnya mengembalikan kendali ke bagian neocortex. Di saat inilah seseorang baru bisa mulai berpikir dan menganalisa secara rasional.

Selasa, 26 Juli 2016

Otak Cerdas Orang Buton

Sumber gambr: duniaanakkitia.blogspot.com
             Saya teringat dengan kata-kata seorang ahli Bedah Jantung, saat menjadi instruktur kami pada pelatihan BTCLS (Basic Trauma Cardiac Life Support), di awal tahun 2015 yang lalu. Kata beliau, “mengajari (memberi pelatihan) orang Buton, tidak begitu sulit. Otaknya pintar-pintar, sebab rajin makan ikan.” Demikian kata beliau, sambil bercanda. 
             Benarkah demikian? Bahwa orang yang tinggal di daerah kepulauan Buton ini otaknya pintar-pintar? Benar!!! Orang Buton memang pintar-pintar. Tapi, tidak saja orang Buton yang demikian, semua orang di dunia ini, siapapun dia, pasti pintar-pintar. Asalkan masih memiliki otak, ia pasti pintar. Begitu kata seorang pakar pendidikan. 
              Dan kalau (misalnya) batok kepala orang Buton di bedah alias di buka untuk melihat otak. Maka pastilah juga model dan bentuknya sama dengan otak orang-orang di seluruh dunia. Tidak ada bedanya. Sebab sama-sama ciptaan Tuhan. Yang beda adalah sejauh mana tiap-tiap individu mampu mengoptimalkan potensi “raksasa tidur” otak itu. 
               Para ahli punya pernyataan menarik tentang organ yang berada dalam batok kepala tersebut. Prof. Albert Einstein, berkata: “di dunia ini hanya 2 hal yang tidak terbatas, yaitu alam semesta dan otak manusia.” Menurut Prof. Pyott Anokhin, otak manusia dapat menyimpan satuan informasi sebanyak angka 1 yang diikuti angka nol yang panjangnya 10,5 juta kilometer! Sedangkan Prof. Rosenweig berujar: ”bila kita mengingat 10 satuan informasi setiap detiknya, dan kita kalikan 24 jam/hari, lalu dikalikan 365 hari/tahun, lalu dikalikan 100 tahun, maka kita baru memakai kapasitas otak kita sebesar 10 % saja!” 
              Oh iya, mungkin kita perlu mengenal sedikit tentang organ yang ada dalam batok kepala ini. Sekedar me-refresh saja, sebab Saya pernah menyampaikannya beberapa waktu yang lalu, dalam tulisan (opini) yang berjudul ‘Materi Seksualitas, Otak & Delta Fos-B’. Beberapa literature menyebutkan bahwa otak manusia mempunyai 3 bagian dasar, yaitu: (1). 
            Batang Otak atau Otak Reptil, (2). Sistem Limbik atau Otak Mamalia (3). Neokorteks. Dr. Paul MacLean menyebut ketiga bagian dasar otak tersebut sebagai TRIUNE (3 in 1). Batang Otak, mengendalikan fungsi-fungsi penyangga kehidupan dasar misalnya pernapasan dan laju denyut jantung, mengontrol tingkat kesiagaan, menyiagakan seseorang terhadap informasi sensorik yang masuk, mengendalikan suhu, mengendalikan proses pencernaan, menyampaikan informasi dari serebelum atau otak kecil. 
            Sistem Limbik atau otak tengah, yang posisinya sedikit lebih ke depan dan terdiri atas Talamus dan Ganglia Basal atau otak tengah. Sistem Limbik penting bagi pembelajaran dan ingatan jangka pendek tetapi juga menjaga homeostatis di dalam tubuh. Terlibat dalam emosi ketahanan hidup dari hasrat seksual atau perlindungan diri. Sistem Limbik mengandung Hipotalamus, yang sering dianggap sebagian bagian terpenting dari 'otak mamalia'. 
           Serebrum atau korteks serebral, membungkus seluruh otak dan posisinya berada di depan. Serebrum adalah bertanggung jawab atas berbagai keterampilan termasuk ingatan, komunikasi, pembuatan keputusan dan kreativitas. Fungsi: pengaturan, ingatan, pemahaman, komunikasi, kreativitas, pembuatan keputusan, mind mapping, bicara, musik. Serebrum dibungkus oleh suatu lapisan berkerut-kerut berupa sel-sel saraf setebal seperdelapan inci yang amat sangat menakjubkan, yang dikenal sebagai korteks serebral. 
            Tanggal 24 April yang lalu, yayasan kami (Yayasan Suluwina Wolio), mengadakan seminar dan pelatihan pendidikan yang bertajuk ’95 Strategi Mengajar Multiple Intelligences’. Alhamdulillah kami bisa menghadirkan Bapak Alamsyah Said S.Pd.,M.Si, seorang trainer dan konsultan pendidikan, sekaligus penulis buku ’95 Strategi Mengajar Multiple Intelligences’ dan buku ‘Sekolah Anak-anak Juara’, sebagai narasumber. 
            Kata Pak Alamsyah, jika ada seorang anak lahir, coba periksa, bila masih ada otak di dalam batok kepalanya, maka anak itu bisa menjadi orang pandai. Beliau berbicara demikian sambil bercanda. “Tidak ada kecerdasan tanpa otak, siswa bodoh itu mitos”. Lanjutnya. 
            Dalam bukunya yang berjudul ’95 Strategi Mengajar Multiple Intelligences’, pria kelahiran Kolaka ini menjelaskan bahwa otak adalah mesin kepandaian. Namun manusia tidak akan pandai jika tidak ada proses belajar. Maka caranya adalah otak harus selalu digunakan. Dan cara menggunakan otak adalah dengan berpikir. 
           Sel-sel otak adalah wadah kecerdasan. Dari sini, selama proses belajar berlangsung proses karya pikir diproduksi dan berkembang sampai tahap manusia mencapai puncak kompetensi maksimalnya. Kecerdasan sesorang berkembang seiring kualitas belajar yang dialaminya. 
          Menurut Kazuo Murakami, Genetik pewaris kecerdasan anak tidak bersifat mutlak namun bersifat potensial. Kualitas positif lingkungan dan kualitas asupan makanan turut andil memberikan pengaruh terhadap perkembangan kecerdasan seseorang. Polah Asuh dalam pendidikan dengan penuh kasih sayang, berpengaruh terhadap arsitektur otak. Kuantitas (jumlah informasi) dan kualitas informasi (informasi yang diulang-ulang) mampu membuat synaps (jaringan antar sel otak) menjadi banyak dan kuat. Kecerdasan anak ditentukan seberapa banyak dan kuatnya synaps. 
         Penelitian otak masa kini telah menghadirkan sudut pandang yang lebih luas tentang kecerdasan. Kata Hawkins dan Blakesle, Otak adalah mesin kecerdasan. Kecerdasan itu seluas samudera. Hingga kini, ilmuwan belum selesai memecahkan rahasia otak yang tak terbatas. Makna logisnya adalah: jika kecerdasan seluas rahasia “alam semesta” otak, maka kecerdasan tidak hanya sebatas angka-angka hasil tes. 
          Pada proses belajar, semuanya bersumber dari otak. Otak memiliki susunan saraf yang kompleks dan canggih, jika diberi stimulus melalui proses fun learning, maka terbentuk jembatan-jembatan pengetahuan baru. Simpul koneksi antar jembatan pengetahuan dibangun oleh ikatan antar-myelin pada neuron-neuron otak. 
           Semakin banyak simpul antar jembatan yang terbangun, maka semakin berkualitas otak tersebut alias semakin cerdas. Dalam batok kepala manusia, milyaran saraf dan bahan dasar lain tersusun sangat rapi dan kompleks. 
              Masalahnya adalah kadang terjadi apa yang disebut dengan ‘hambatan belajar’. Sebuah hal yang kadang terjadi dalam proses belajar mengajar di sekolah. Metode atau cara yang digunakan tidak bisa diterima dengan baik oleh otak beberapa atau sebagian peserta didik. Akibatnya potensi otak mereka tidak bisa ”meledak”. 
              Disinilah pula kadang para oknum guru begitu latah mengucap kata ‘bodoh’ pada anak didik mereka, jika tak mampu memahami pelajaran dengan baik. Padahal, sekali lagi, tidak ada anak yang bodoh. Semua anak adalah pintar atau cerdas. Yang perlu dievaluasi adalah metode mengajarnya. 
          Yang harus dilakukan berikutnya adalah menghadirkan cara mengajar yang disukai otak. Bagaimana melakukannya? Pak Alamsyah Said menyampaikan 9 (Sembilan) hal yang harus dipahami: Pertama, kenali tipe-tipe kecepatan belajar peserta didik dengan baik, diantaranya fast learner, normaly learner, slow lerner, dan very slow learner. 
              Kedua, bangun rasa percaya diri dan motovasi berprestasi peserta didik. Ketiga, mengajarlah dengan hati. Keempat, mengajarlah sesuai dengan kecerdasan jamak dan gaya belajar peserta didik. Kelima, gunakan strategi pengajaran yang sesuai gaya peserta didik. Keenam, mengajarlah sesuai modalitas terbaik peserta didik. Ketujuh, libatkan peserta didik aktif secara kinestetik dan visual. Kedelapan, sabarlah dalam mengajar. Dan kesembilan, memainkan apersepsi alfa zone dan scene setting dalam proses mengajar (humorislah dalam proses pembelajaran).

Homoseks di Kota Baubau

Sumber gambar: Sharing_Dhani91blogspot.com
         Awal tahun 2016 yang lalu, Saya mendapat sms dari seorang teman, berdomisili di Kota Baubau, yang bertanya tentang perilaku suka sesama jenis (Homoseks). Pesan tersebut beliau sampaikan sebab ada tetangganya yang berprilaku demikian. Ini “laporan resmi” pertama yang masuk ke handphone (HP) Saya, setelah sebelumnya hanya (sekedar) mendengar informasi sejenis dari beberapa orang. 
         Oh iya, homoseks adalah salah satu istilah dalam dunia LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender). Berbicara tentang LGBT, ia adalah fenomena gunung es. Secara langsung maupun tidak langsung, ada orang yang bermasalah dengan LGBT, hanya saja mereka tak tahu harus berbicara pada siapa dan bagaimana solusinya. Pada saat yang sama, mereka juga malu dengan apa yang sedang dialaminya. 
         Saya mencoba mencari-cari data tentang jumlah LGBT di Indonesia. Laporan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) yang dikutip dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (Republika.co.id, 23 Januari 2016) mengungkap bahwa jumlah laki-laki yang berhubungan sex dengan laki-laki (LSL) alias Gay, sudah mencapai angka jutaan. 
           Berdasarkan estimasi Kemenkes pada 2012, terdapat 1.095.970 LSL baik yang tampak maupun tidak. Lebih dari lima persennya (66.180) mengidap HIV. Sementara, badan kesehatan dunia (WHO) memprediksi jumlah LGBT jauh lebih banyak, yakni tiga juta jiwa pada tahun 2011. 
         Beritapenatajam.com (25 Januari 2016), mengabarkan Indonesia menjadi negara kelima terbesar di dunia dalam menyumbang LGBT (lesbi, gay, biseksual dan trangender), setelah China, India, Eropa dan Amerika. Sejumlah lembaga survey independen dalam dan luar negeri menyebutkan bahwa negara kita memiliki populasi 3% LGBT. 
            Ini juga berarti bahwa sekitar 7,5 juta dari 250 juta penduduk Indonesia adalah LGBT. Artinya, dari 100 orang yang berkumpul pada suatu tempat, 3 (tiga) diantaranya memungkinkan mereka adalah LGBT. 
           Pertanyaannya adalah berapa jumlah LGBT di Kota Baubau? Jawabannya Saya tidak tahu. Tapi kalau ditanya, “adakah LGBT di Kota Baubau?” Maka jawabannya adalah Ada. 
             Sebelum kita berbicara lebih lanjut, ada beberapa istilah yang perlu dipahami terlebih dahulu. Agung Sugiarto (Sinyo) dalam bukunya yang berjudul ‘Anakku Bertanya tentng LGBT’, mengatakan bahwa banyaknya istilah yang dipakai oleh masyarakat Indonesia dalam dunia LGBT kadang menimbulkan salah pemahaman. 
           Menurutnya, agar tidak salah kaprah, ada 2 (dua) hal yang harus dipahami terkait hadirnya istilah dalam dunia LGBT: Pertama, Orientasi Seksual, yaitu keinginan mendasar dari individu untuk memenuhi kebutuhan akan cinta, berhubungan dengan kedekatan atau rasa intim. Bisa jadi akan berkembang sehingga terjadilah ikatan antara 2 (dua) insan. 
         Kedua, Tindakan atau aktivitas seksual. Diartikan sebagai perilaku yang menggambarkan ekspresi dengan erotisme. Sedangkan erotisme adalah kemampuan secara sadar dalam mengalami hasrat akan dorongan seks, orgasme atau mungkin hal lain yang menyenangkan berkaitan dengan seks. 
            Dari dua komponen tersebut, maka nantinya akan mudah membedakan istilah-istilah seperti: Same-sex Attraction (SSA), Gay dan Lesbian, Homoseks, MSM atau WSW, Biseksual, Transeksual dan Transgender, Interseks, Sex Worker, Aseksual, LGBT, Straight (heteroseksual), Homophobia, Banci dan Waria (shemale). 
          LGBT sendiri merupakan istilah yang digunakan pada awal tahun 90-an sampai sekarang. Lebih mudahnya, orang yang mempunyai orientasi seksual dan identitas homoseksual, biseksual atau yang lain (selain heteroseksual), dapat disebut LGBT. 
         Sedangkan homoseks, mengacu pada pemahaman kebanyakan negara, yaitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan dan menekankan tindakan atau hubungan seksual sesama jenis. 
            Menurut Indra Kusumah, S.Psi., M.Si., CHt. (Pakar psikologi, Terapis, Trainer TRUSTCO dan Penulis buku 'Keajaiban MotivAksi: Rahasia Sukses Sang Juara), dalam indonesiaamanah.com (2 Maret 2015), LGBT didapat dari faktor eksternal seperti pola asuh, pergaulan, hingga media. Ketika ditanyakan padanya apakah homoseksual bisa disembuhkan? “Insya Allah bisa!” jawab Indra. 
            Sekedar informasi, hari Sabtu yang lalu (24 April 2016), Saya diminta untuk berbicara tentang LGBT pada seminar yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga kemahasiswaan di Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan). Saat itu Saya dipanelkan dengan Bapak Agus Sugeng Widodo SST, MM. Beliau adalah seorang Ustadz yang juga saat ini menjabat sebagai Kepala Bandara Betoambari Kota Baubau. 
          Ust Agus, begitu para peserta menyapanya, memaparkan LGBT dari sudut pandang Islam. Kata Beliau, dalam Islam, LGBT adalah haram. “Selesai!!!”, tegasnya. Maaf, Saya perlu menyampaikan pernyataan Kepala Bandara ini, untuk menegaskan jikalau ada yang menanyakan pandangan Islam tentang LGBT. 
          Adakah dampak yang ditimbulkan oleh LGBT? Ada!!!. Siti Nurhayati, S.Kep, dalam artikelnya di dakwatuna.com, merinci beberapa diantaranya. Ia mengutip pendapat Prof. DR. Abdul Hamid El-Qudah, spesialis penyakit kelamin menular dan AIDS di asosiasi kedokteran Islam dunia (FIMA) di dalam bukunya yang berjudul ‘Kaum Luth Masa Kini’: 
         Pertama, Dampak kesehatan. 78% pelaku homo seksual terjangkit penyakit kelamin menular. Rata-rata usia kaum gay adalah 42 tahun dan menurun menjadi 39 tahun jika korban AIDS dari golongan gay dimasukkan ke dalamnya. Sedangkan rata-rata usia lelaki yang menikah dan normal adalah 75 tahun. Rata-rata usia Kaum lesbian adalah 45 tahun sedangkan rata-rata wanita yang bersuami dan normal 79 tahun. 
          Kedua, Dampak sosial. Penelitian menyatakan bahwa seorang gay mempunyai pasangan antara 20-106 orang per tahunnya. Sedangkan pasangan zina seseorang tidak lebih dari 8 orang seumur hidupnya. 43% dari golongan kaum gay yang berhasil didata dan diteliti menyatakan bahwasanya selama hidupnya mereka melakukan homo seksual dengan lebih dari 500 orang. 28% melakukannya dengan lebih dari 1000 orang. 
         Ketiga, Dampak Pendidikan. Adapun dampak pendidikan di antaranya yaitu siswa ataupun siswi yang menganggap dirinya sebagai homo menghadapi permasalahan putus sekolah 5 kali lebih besar daripada siswa normal karena mereka merasakan ketidakamanan. Dan 28% dari mereka dipaksa meninggalkan sekolah. 
           Keempat Dampak Keamanan. Kaum homo seksual menyebabkan 33% pelecehan seksual pada anak-anak di Amerika Serikat; padahal populasi mereka hanyalah 2% dari keseluruhan penduduk Amerika. Hal ini berarti 1 dari 20 kasus homo seksual merupakan pelecehan seksual pada anak-anak, sedangkan dari 490 kasus perzinaan 1 di antaranya merupakan pelecehan seksual pada anak-anak. 
      Lantas, bagaimana cara menyikapi pelaku LGBT? Ummi-online.com (29 Juni 2015) menyampaikan beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk menyikapi LGBT: Pertama, berhenti mencaci maki dan sumpah serapah terhadap LGBT. Kedua, Ganti menyebar sumpah serapah dengan menyebarkan fakta-fakta mengenai bahaya LGBT. Ketiga, Jika ada keluarga sendiri yang terkena LGBT, cari tahulah apa alasannya melakukan LGBT, jangan malah dikucilkan! 
          Keempat, Manfaatkan isu LGBT yang semakin meluas ini untuk mencari tahu apa itu LGBT, apa saja yang mereka lakukan, cirri-ciri, dan cara pengobatan serta pencegahannya, agar kita bisa menjadikannya sebagai ladang amal untuk saling mengingatkan dalam kebaikan. Dan Kelima, Bukalah diri untuk menjadi penyembuh, bukan penyebar kebencian.

Senin, 25 Juli 2016

Wolio Archery Community; Membangun Karakter Lewat Olahraga Panahan

Sumber gambar: Kidnesia.com
          Usiaku menginjak 11 tahun, saat menyaksikan Antonio Rebollo, seorang atlet panah paralimpic melepaskan anak panah berapi melewati kerumunan orang dan tepat mengenai Kaldron untuk menyalakannya. Wow!!! Api olimpiade lalu berkobar diiringi tepuk dan riuh para peserta dari seluruh pelosok jagad. Hari itu, di tahun 1992, Saya menonton secara langsung dari layar televisi, upacara pembukaan olimpiade di Barcelona Spanyol. 
          Aksi Rebollo ini menurut Saya sangat memukau. Inilah pula yang membuat olimpiade di negeri Matador itu melekat kuat dalam ingatanku. Disamping memang pada ajang tersebut Indonesia berhasil meraih 2 (dua) medali Emas yang dipersembahkan oleh cabang bulu tangkis, lewat Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma. Selanjutnya, sampai saat ini belum pernah lagi Kaldron Olimpiade menyala oleh anak panah berapi yang dilepaskan dari jarak jauh. 
         Aksi Rebollo tersebut juga akhirnya berhasil menyita perhatian Saya terhadap panahan. Apalagi di waktu yang sama, Sahabat Saya semasa kecil dulu sering bercerita tentang Robin Hood. Seorang pemanah pembela kebenaran dari negeri Ratu Elizabeth. Iapun lalu meminjami Saya buku tentang Legenda pemanah hebat itu, yang membuat ketertarikanku pada olahraga ini berlipat pangkat. 
         Seingatku, di awal tahun 90-an, tokoh Robin Hood cukup familiar juga. Walau tak sementereng para tokoh film animasi ‘Frozen’ saat ini yang gambarnya muncul dimana-mana dan digandrungi banyak orang, tapi pemanah dari negerinya Pangeran Charles tersebut memang sedang mencuri perhatian publik saat itu. 
       Belakangan akhirnya Saya mengetahui bahwa pada tahun 1991, setahun sebelum Antonio Robello melepaskan anak panah bersejarahnya di Olimpiade Barcelona, Hollywood merilis film yang berjudul ‘Robin Hood: Prince of thieves’. Film yang dibintangi oleh Kevin Costner ini lalu menjadi Box Office dengan pendapatan hampir 400.000.000 US Dollar di seluruh dunia dan Amerika. Rekor penjualannya tahun itu hanya dikalahkan oleh ‘terminator 2’ yang dibintangi Arnold Schwarzeneger. 
         Oh iya, tahun-tahun belakangan ini Saya juga menyaksikan beberapa film Box Office yang di dalamnya terdapat para jagoan pemanah tangguh. Diantaranya adalah tokoh Hawkee dalam ‘The Avenger’ yang diperankan oleh Jeremy Renner dan tokoh Legolas yang diperankan oleh Orlando Bloom di film ‘Lord of the Ring’. 
        Baiklah, maaf pengantarnya kepanjangan. Tapi izinkan Saya pada kesempatan ini berbicara tentang Panahan. Apa yang menarik dari olahraga memanah? Bagi Saya pribadi, keahlian yang dimiliki oleh Arjuna dalam film 'Mahabharata' ini menjadi menarik untuk digeluti, sebab Nabi akhir zaman menyebutkannya dalam Hadits. Dan jika disebutkan dalam hadits, berarti memanah memiliki hikmah yang sangat luar biasa. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Memanah dan berkudalah, dan kalian memanah lebih aku sukai dari pada berkuda.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Hadits ini Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani) 
        Ada apa dengan memanah? Ternyata memanah bukan hanya melepaskan anak panah. Pendidikan karakter bisa diperoleh dari olah raga ini. Presiden INASP (Indonesia Archery Schools Program), Defrizal Siregar,.Or.,MM dalam situs KBK (Kantor Berita Kemanusiaan), mengatakan bahwa olahraga ini memiliki banyak keunggulan dan manfaat bagi pegiatnya. Bahkan, olahraga ini menjadi sarana pembelajaran karakter anak bangsa. Ia menjelaskan, setidaknya ada empat benefit yang bisa didapat dari memanah, yaitu: ketenangan, konsentrasi, keberanian, dan mental juara. 
          “Seseorang tidak akan bisa tepat membidik sasaran jika tidak tenang dan fokus. Nah, maka, bila ingin memanah dengan baik, yang pertama kali harus dilatih adalah ketenangan dan konsentrasi. Bila dua karakter ini sudah terlatih, itu akan positif ketika diterapkan di seluruh aspek kehidupan,” ujarnya 
         Defrizal menambahkan, dalam panahan sendiri, untuk melepaskan anak panah, butuh keberanian untuk memutuskan. Kadang, ada yang sudah menarik tali busur, tapi tidak berani melepas karena takut meleset atau mengenai orang lain. Ketakutan itu tidak akan terjadi apabila seorang pemanah sudah tenang dan fokus, karena ia yakin pada tujuannya, atau pada bidikannya. 
          Keberanian dalam aktivitas panahan ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan keseharian. Keputusan-keputusan yang berani dan positif akan bisa diambil. Keputusan yang didasari akal sehat. Keputusan sehat lahir dari situasi yang tenang dan fokus. 
             Beberapa literatur menyebutkan bahwa belajar memanah dapat melatih emosi dan fisik untuk meletakkan target pada sasaran. Memanah sangat menitik-beratkan keseimbangan tubuh. Maka jika pemanah emosinya tertekan, maka anak panah amat mudah meleset dari sasaran. Secara tidak langsung, olahraga ini melatih manusia untuk tenang dan menstabilkan emosi. Maka memanah juga merupakan latihan holistik kepada diri seseorang dari segi fisik dan mental. 
           Sebagaimana juga dijelaskan dalam situs sekolah bumi.com, ada 4 (empat) prinsip dalam memanah: Pertama, Calm. Seorang pemanah harus memiliki ketenangan hati dan tubuh yang rileks Ketenangan ini diperoleh melalui pengendalian diri. Nafsu-nafsu negatif seperti amarah, harus bisa dikendalikan saat akan memanah. Membuat diri setenang mungkin dan melepaskan semua hal yang mengganggu pikiran tentu perlu latihan terus-menerus. Jika tidak, sangat sulit bisa mengendalikan anak panah dan melepaskannya menuju target. Latihan yang rutin bisa membuat kita terlatih mengendalikan pikiran, sehingga bisa lebih tenang merespon sekeliling dalam aktivitas sehari-hari. 
            Kedua, Focus. Seorang pemanah berusaha konsentrasi dengan sasaran target yang ingin diraih dan meyakini anak panah masuk sesuai target yang diinginkan. Setelah seluruh tubuh dan jiwa tenang, hal berikutnya yang diperlukan adalah fokus. Fokus pada tujuan, dan memindahkan papan target mendekati jarak pandang meski jarak aslinya 5 m, 7 m, 10 m atau 15 m. Kita akan berlatih memusatkan pikiran pada satu titik, yaitu target yang akan dicapai. Singkirkan hal-hal yang bisa mendistraksi fokus. Begitu otak terpusat di sana, tubuh pun akan merespon dan bergerak menuju target itu. 
         Ketiga, Brave. Seorang pemanah berani melepas anak panah tanpa ragu dan tidak melepas sebelum yakin dapat melepas dengan berani! Menarik busur panah itu perlu keberanian, dan kekuatan tentunya. Berani mengeluarkan energi yang ada dan mengarahkannya dengan penuh keyakinan. Tak boleh ragu. Hal ini yang dilatih dalam proses memanah. Tanpanya, tak mungkin anak panah akan melesat menuju sasaran yang tidak dekat jaraknya. 
           Keempat, Win. Seorang pemanah bermental menang dengan keyakinan yang dimiliki dan anak panah yang dilepaskan. Meraih kemenangan adalah harapan semua orang. Apapun bentuknya, semua tergatung target kita. Untuk mencapainya butuh semangat. Tidak ada yang mudah. Dalam memanah pun, kita perlu perjuangan. Ada tubuh yang lelah, badan pegal, dan sebagainya. Namun, demi meraih kemenangan hal-hal itu harus dipinggirkan lebih dahulu. 
          Inilah luar biasanya olahraga panahan. Karena ternyata empat karakter, calm-focus-brave-win, yang akan terbentuk, menjadi sebuah kebiasaan dan membentuk karakter diri pemanah. 
        Sekedar informasi, di Kota Baubau, telah ada komunitas panahan yang diberi nama ‘Wolio Archery Community’ (WAC), berdiri pada bulan Mei 2016. Komunitas yang berada dalam binaan INASP (Indonesia Archery Schools Program) ini, berlamat di jalan poros STM-KPU. Alhamdulillah seluruh pelatih di WAC telah mendapatkan serifikat kepelatihan dari INASP (yang berpusat di Jakarta).
         Saat ini kami telah memiliki kurang lebih 50 orang member, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Dengan intensitas latihan 2 (dua) kali seminggu untuk tiap kelas/segmen. Fasilitas yang kami siapkan berstandar nasional, dengan area panahan yang luas dan nyaman. Anda tertarik? Mari gabung bersama kami, di olah raga yang unik, menyenangkan, menyehatkan, berpahala (sunnah Rasul), membentuk karakter positif dan beribu manfaat lainnya.

Selasa, 01 Maret 2016

Sex Bebas di Kota Baubau: Family Disease VS Ketahanan Keluarga

Sumber gambar: Butikaini.com
                Namanya adalah Gaetan Dugas. Seorang pria yang berprofesi sebagai pramugara. Salim A Fillah dalam bukunya yang berjudul ‘Jalan Cinta para Pejuang’ mencontohkan orang ini untuk menjelaskan tentang ‘The Law of The Few’-nya Malcolm Gladwell. Ada apa dengan Gaetan Dugas? Orang ini sungguh keterlaluan. Berdasarkan pengakuannya, ia telah berkencan dengan 2500 orang di seluruh Amerika Utara, dan tersangkut setidaknya 40 kasus penularan HIV di California dan New York saja. Gila!!! 
            Ini tentang seks bebas. Kasus Gaetan Dugas diatas menunjukkan kepada kita bahwa begitu parahnya perilaku seks bebas di Amerika. Dan dampaknya, HIV/AIDS juga menyebar begitu mudah di sana. Menyadari efek berbahaya tersebut, maka negara Swedia, pelopor seks bebas di Eropa, dan negara-negara benua biru lainnya kini terus berbenah untuk memperbaiki karakter masyarakatnya. Sebab mereka sudah merasakan dampak negatif akibat seks bebas itu. 
           Baiklah, bagaimana dengan seks bebas di Kota Baubau? Beberapa minggu yang lalu, usai menyelesaikan tugasnya selama kurang lebih 1 (satu) tahun di Kota Semerbak ini, seorang dokter berpesan pada kami: “Selama Saya bertugas di sini, Saya banyak menangani kasus kehamilan di luar nikah. Lembaga Anda harus lebih giat lagi melakukan pembinaan moral bagi para remaja.” 
            Sebenarnya Saya tidak terlalu kaget mendengar informasi ini. Bahwa seks bebas terutama dikalangan remaja telah merebak di Baubau. Sebab, beberapa tahun lalu seorang teman yang bekerja di sebuah apotik pun pernah menyampaikan kepada kami tentang keprihatinannya menyaksikan para bocah SMP (Sekolah Menengah Pertama) yang dengan berbagai cara berusaha mendapatkan kondom di Apotik tempatnya bekerja. 
            Berbicara tentang seks bebas dikalangan remaja, selain memprihatinkan banyak pihak, ini juga sekaligus peringatan akan hadirnya dampak yang mengancam dan membahayakan Kota Baubau. Sebelumnya, mari kita coba mengintip fenomena seks bebas pada kota-kota lain di Indonesia. Jika kita melihat data beberapa tahun lalu, berdasarkan berita yang di muat di Media Indonesia, 6 Januari 2007, 85% remaja 15 tahun berhubungan sex. Warta Kota, 11 Februari 2007 melaporkan bahwa separuh siswa di Cianjur melakukan hubungan seksual. Sedangkan di Republika, 1 Maret 2007, mewartakan bahwa 50% remaja perempuan di Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah. 
              Dampak dari itu semua adalah ancaman terkena PMS alias Penyakit Menular Seksual. PMS adalah berbagai infeksi yang dapat menular dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual. Menurut The Centers for Disease Control (CDC) terdapat lebih dari 15 juta kasus PMS dilaporkan per tahun. Hampir seluruh PMS dapat diobati. Namun, bahkan PMS yang mudah diobati seperti gonore telah menjadi resisten terhadap berbagai antibiotik generasi lama. PMS lain, seperti herpes, AIDS, dan kutil kelamin, seluruhnya adalah PMS yang disebabkan oleh virus, tidak dapat disembuhkan. 
                Beberapa dari infeksi tersebut sangat tidak mengenakkan, sementara yang lainnya bahkan dapat mematikan. Sifilis, AIDS, kutil kelamin, herpes, hepatitis, dan bahkan gonore seluruhnya sudah pernah dikenal sebagai penyebab kematian. Beberapa PMS dapat berlanjut pada berbagai kondisi seperti Penyakit Radang Panggul (PRP), kanker serviks dan berbagai komplikasi kehamilan. HIV/AIDS merupakan PMS paling menakutkan. 
               AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV yang biasanya akan membawa kematian pada akhirnya. HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus yang menyebabkan rusaknya/melemahnya sistem kekebalan tubuh manusia. 
              Di Kota Baubau sendiri, Jumlah penderita HIV/AIDS terus merangkak naik. Data dari Dinas Kesehatan Kota Baubau menyebutkan, dari tahun 2007 hingga bulan Maret 2014, tercatat jumlah penderita sebanyak 126 orang. Sungguh mengkhawatirkan. 
             Berdasar pada kenyataan ini, sangat dituntut peranan keluarga ataupun orang tua untuk mengarahkan anak-anaknya, agar tidak terjerumus pada seks bebas. Tetapi pada saat yang sama, masyarakat juga harus turut berpartisipasi untuk mencegah timbulnya hal semacam ini, karena adaiah kewajiban setiap orang untuk ikut berpikir dan bertindak mengarahkan para remaja menuju kehidupan yang sehat dan positif. Dituntut pula peranan instansi yang berwenang dalam mengatasi dan mengantisipasinya.
               Nah, berbicara tentang keluarga, ternyata keluarga yang tidak sehat (sakit), memiliki andil bagi terjadinya seks bebas. Inilah yang disebut dengan Family Disease. Saya pertama kali mengetahui istilah ini dari Prof. DR. dr Dadang Hawari (psikiater). Family Disease adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan bahwa keluarga secara sadar atau tidak, telah menyeret anggotanya kearah perbuatan negatif atau terlarang. Contohnya adalah sex bebas. Mengapa bisa begitu? Karena keluarga tidak menciptakan lingkungan yang baik untuk tumbuh kembang para anggotanya. Sehingga pada akhirnya anak-anak memilih untuk mencari lingkungan yang “nyaman” di luar rumah mereka. 
                Sayangnya, banyak diantara remaja yang tidak sadar bahwa beberapa pengalaman (di luar rumah) yang tampaknya menyenangkan, justru dapat menjerumuskan. Oleh karena itu tidak sedikit diantara mereka yang jatuh kedalam perbuatan negatif, salah satunya adalah sex bebas. 
             Maka solusi dari masalah ini adalah keharusan untuk membangun ketahanan keluarga. Yang di dalamnya mencakup optimalisasi Fungsi Keluarga. Ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin (pasal 1 angka 15 UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera). 
            Adapun fungsi keluarga adalah untuk menciptakan anggota masyarakat yang baru yang sesuai dengan norma-norma atau ukuran pada masyarakat tersebut. Secara umum fungsi keluarga adalah untuk sosialisasi, reproduksi, dan legalitas status (Witrianto, 2009). Menurut Goode (1983), ada empat fungsi universal keluarga inti, yaitu fungsi seksual, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, dan fungsi pendidikan. Keempat fungsi tersebut bersifat universal dan mendasar bagi kehidupan manusia. 
         BKKBN (Badan Keluarga Berencana Nasional), sebagaimana di muat dalam situs pikm.akbidyo.ac.id, membagi fungsi keluarga menjadi 8 (delapan). Fungsi ini juga senanda dengan fungsi keluarga menurut PP No. 21 tahun 1994, yaitu: Pertama, Fungsi Keagamaan, yaitu dengan memperkenalkan dan mengajak seluruh anggota keluarga dalam kehidupan beragama. Tugas kepala keluarga adalah menanamkan tentang adanya Tuhan yang mengatur kehidupan ini, serta adanya kehidupan setelah kematian. 
              Kedua, Fungsi Sosial Budaya, yaitu membina dan melakukan sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak, serta meneruskan nilai-nilai keluarga. Ketiga, Fungsi Cinta Kasih, yaitu memberikan kasih sayang dan rasa aman, serta perhatian diantara anggota keluarga. 
               Keempat, Fungsi Melindungi, bertujuan untuk melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga terlindung dan merasa aman. Kelima, Fungsi Reproduksi, bertujuan meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, serta merawat anggota keluarga. 
              Keenam, Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan. Merupakan fungsi keluarga yang dilakukan dengan cara mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya dan menyekolahkan anak. Sosialisasi dalam keluarga juga dilakukan untuk mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik. 
           Ketujuh, Fungsi Ekonomi, dilakukan dengan cara mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan menabung untuk memenuhi keperluan hidup dimasa datang. Dan Kedelapan, Fungsi Pembinaan Lingkungan, yaitu menciptakan kehidupan harmonis dengan lingkungan masyarakat sekitar dan alam. 
            Akhirnya, membangun ketahanan dalam keluarga menjadi kewajiban bagi setiap kita. Karena dengan melaksanakan hal ini berarti keluarga telah memberikan kontribusi besar terhadap masyarakat dan bangsa. Terpeliharanya keluarga dari berbagai hal yang membahayakan, berarti kitapun telah menyelamatkan generasi dan negara tercinta.***

Senin, 15 Februari 2016

‘Bahagianya Tuh di Sini’ VS Perilaku Bunuh Diri

Sumber gambar: muslimahcorner.com
             ‘Sakitnya Tuh di Sini’. Ini adalah judul lagu yang dipopulerkan olah Cita Citata. Di awal-awal tembang ini muncul, Saya sering melihat orang melantunkannya sambil menggerakkan jari tangan menunjuk kearah dada. Mengapa begitu? Ya, sebab disitulah letaknya perasaan. Baik perasaan sedih (galau) maupun bahagia. Maka jika orang sedang senang, Iapun akan menunjuk kearah dada, sambil mengucap: “Bahagianya tuh di sini.” Dan kalau sudah bahagia, apalagi ditambah dengan Iman yang mantap, maka orang tidak akan bunuh diri. 
                Saya memulai tulisan ini dengan kalimat ‘Sakitnya Tuh di Sini’, untuk menjelaskan tentang bunuh diri. Menurut para ahli, ternyata keinginan bunuh diri dilandasi pada mood dan suasana hati seseorang. Suasana hati yang sangat buruk (Sakitnya Tuh di Sini), bisa membuat seseorang mengakhiri nyawanya sendiri. Tapi tentu saja hal ini hanya berlaku bagi mereka-mereka yang tidak punya mekanisme penyelesaian masalah yang baik. 
                Baiklah, sebelum lanjut, Saya ingin bercerita sedikit tentang peristiwa heboh sekitar 2 (dua) minggu lalu. Pagi itu kami dikagetkan dengan aksi nekat seorang pemuda yang memanjat menara telkomsel setinggi beberapa puluh meter. Kejadiannya tak begitu jauh dari rumah kami. Tapi tunggu!!! Lelaki itu tidak sedang melakukan pertunjukan panjat memanjat. Saat itu Ia sedang melakukan percobaan bunuh diri. Menurut informasi dari beberapa warga yang hadir di lokasi kejadian, sang pemuda ingin mengakhiri hidupnya sebab sedang dirundung masalah yang tak sanggup diselesaikannya. 
                Biasanya Saya hanya menyaksikan upaya percobaan bunuh diri lewat layar televisi. Tapi di hari itu, ku tonton secara live di TKP (tempat kejadian perkara). Alhamdulillah aksi nekat pria muda itu tidak berakhir dengan kematian. Iapun akhirnya turun dari ketinggian dan berkumpul kembali dengan keluarganya. Mudah-mudahan peristiwa semacam ini tidak terulang kembali. 
               Tahun-tahun belakangan ini, Saya mendengar beberapa informasi tentang upaya bunuh diri beberapa warga Kota Baubau. Ada yang berujung pada kematian, ada pula yang tidak. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa mengakhiri hidup menjadi sebuah opsi atau pelarian dari masalah yang tak kunjung terpecahkan. 
               Bunuh diri merupakan masalah psikologis dunia yang sangat mengancam. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa setiap tahun, satu juta orang melakukan bunuh diri. Itu juga berarti bahwa setiap 40 detik ada orang yang mengakhiri hidupnya sendiri. Tentu ini sangat mengkhawatirkan, sebab jika dibandingkan dengan hilangnya nyawa akibat pembunuhan dan perang, ternyata hilangnya nyawa akibat bunuh diri jauh lebih besar. Data tahun 2012 menunjukkan, dalam 20 kali upaya percobaan bunuh diri, 1 diantaranya berhasil dilakukan. 
            Di Indonesia sendiri, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), orang yang melakukan upaya bunuh diri hingga akhirnya meninggal, pada tahun 2012 mencapai angka sekitar 10.000 jiwa pertahun. Sekitar 4 atau 5 orang per 100.000 jiwa penduduk.
              Dalam bukunya yang berjudul ‘Keperawatan Jiwa’, Iyus Yoseph (2009), menjelaskan bahwa sejak tahun 1958, dari 100.000 penduduk Jepang 25 orang diantaranya meninggal akibat bunuh diri. Sedangkan untuk negara Austria, Denmark, Inggris, rata-rata 23 orang. Urutan pertama diduduki Jerman dengan angka 37 orang per 100.000 penduduk. 
            Di Amerika, tiap 24 menit seorang meninggal akibat bunuh diri. Jumlah usaha bunuh diri yang sebenarnya adalah 10 kali lebih besar dari angka tersebut, tetapi cepat tertolong. Kini yang mengkhawatirkan trend bunuh diri mulai tampak meningkat terjadi pada anak-anak dan remaja. 
              Lalu, apa sesungguhnya pemicu keinginan mengakhiri hidup sendiri itu? Ternyata keinginan bunuh diri dilandasi pada mood dan suasana hati seseorang. Suasana hati yang sangat buruk, bisa membuat seseorang mengakhiri nyawanya sendiri. 
             Ahli psikiatri Kaplan Sadock (1997), berkata: “seorang anak yang berupaya bunuh diri sangat rentan terhadap pengaruh stressos sosial, seperti percekcokan keluarga yang kronis, penyiksaan, penelantaran, kehilangan sesuatu yang dicintai, kegagalan akademik, dan lingkingan yang buruk. Menurut hasil riset, ciri universal penyebab anak dan remaja bunuh diri adalah ketidakmampuan mereka memecahkan masalah dalam menghadapi percekcokan keluarga, penolakan dan kegagalan.”
             Menurut Iyus Yoseph (2009), rata-rata anak-anak menonton TV di rumah selama 8 jam sehari. Bila 2 jam saja acara tersebut berisi kekerasan, maka menurut Learning Theory ia akan merekam kejadian tersebut sebagai cara pemecahan masalah. Bila ia saksikan juga di rumah pertengkaran ayah ibunya, maka metoda pemecahan masalah dengan kekerasan makin terekam. Bila saat di luar rumah ia saksikan penggusuran dan premanisme oknum aparat, maka kekerasan itu maki dalam terekam pada diri anak. 
           Bila di sekolah ia menyaksikan perangai guru yang galak, ia yakin kekerasan itulah pemecahan masalah. Bila saat mengurus aktenya dilayani oleh aparat pemerintah yang kasar, maka makin yakinlah ia bahwa kekerasan adalah problem solving. 
            Bila pulang sekolah ia menyaksikan bentrokan antar kampung, maka itulah pemecahan masalah. Akumulasi rekaman berbagai kekerasan dan bentuk kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri itulah bunuh diri (self mutilation). 
            Kata Vygotsky, lingkungan terdekat anak (zone of proximal development) akan sangat berkontribusi dalam membentuk karakter kepribadian anak. Sedangkan menurut Psychiatric Nursing Stuart Sundeen (1995) jenis kepribadian yang paling sering melakukan bunuh diri adalah tipe agresif, bermusuhan, putua asa, harga diri rendah, dan kepribadian anti sosial. Anak akan memiliki resiko besar untuk melakukan bunuh diri bila berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter atau keluarga yang pernah melakukan bunuh diri, gangguan emosi dan keluarga dengan alkoholisme. 
              Nah, bagaimana Langkah-langkah menolong orang yang Ingin bunuh diri? Menurut Dr. L Suryantha Chandra SpKJ, sebagaimana dimuat dalam website islampos (16 Agustus 2014), ada sejumlah nasihat bagi orang yang ingin melakukan bunuh diri agar keinginannya tidak berlanjut. Penderita bisa ditolong dengan terapi dan bisa hidup lebih baik, mau berbicara dan mendengar dalam upaya memecahkan persoalan, serta tidak ada alasan melalui kesulitan sendirian tanpa bantuan orang lain. 
             Pertama, Sebagai anggota keluarga, kerabat, teman dekat atau tetangga sekalipun, jangan biarkan orang itu merasa sendirian. Ajaklah berbicara. Bila menolak berbicara, jangan dipaksakan. Tunggu sampai orang tersebut mau berbagi keluhan. 
               Kedua, Bila mendapati ada orang yang hendak melakukan bunuh diri, sebaiknya dengarkan apa yang dia keluhkan. Berikan dukungan agar dia tabah dan tetap berpandangan bahwa hidup ini bermanfaat, buat lingkungan tempat dia tinggal aman dengan cara menjauhkan alat-alat yang bisa digunakan untuk bunuh diri. 
            Ketiga, Lingkungan sosial, termasuk keluarga, juga menjadi sarana yang baik untuk membantu mengurangi atau menghilangkan keinginan orang untuk bunuh diri. Obat-obatan antidepresi memang bisa diberikan kepada pasien yang mengalami gangguan kejiwaan. Terapi lainnya adalah membuat orang itu menjadi lebih berarti. 
               Chandra juga menegaskan bahwa terapi kedua-duanya harus berjalan ditambah lagi dengan pendekatan agama. Yang paling penting adalah jangan membiarkan orang tersebut terisolasi. Yang juga bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk mencegah terjadinya bunuh diri adalah menerapkan pola hidup sehat dengan pola makan sehat, olahraga, berdoa dan bersosialisasi dengan lingkungan terdekat seperti keluarga, masyarakat merupakan terapi yang baik untuk menyehatkan jiwa. 
         Keempat, Para orang tua hendaknya lebih memperhatikan anak-anak mereka dengan memberikan pedidikan moral dan agama sejak dini, sehingga mental anak-anak menjadi kuat. Kita sebagai bagian dari masyarakat sebaiknya juga memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap kondisi lingkungan sekitar. Jika melihat tetangga atau lingkungan susah, bantulah sebisanya. Bantuan tak hanya materi, bantuan moril seperti empati dan dukungan pun bisa memperkuat mental siapa saja yang tengah dilanda masalah.***

Sabtu, 16 Januari 2016

Bom Sarinah & Pola Baru Kehidupan

Sumber gambar: Tribun.com
           Jakarta kembali diguncang Bom. Kali ini di Jalan MH Thamrin, kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Selubung awan duka merundung Ibu Kota pada Kamis, 14 Januari 2016. Dan seingat Saya, sudah beberapa kali peristiwa yang sama terjadi di pusat pemerintahan Indonesia itu. 
           Tahun 2003 bom meledak di kawasan Mega Kuningan dan menghancurkan hotel JW Marriott. Tahun 2004, bom meledak lagi di depan Kedubes Australia, kawasan Kuningan Jakarta. Selanjutnya di tahun 2009, bom kembali meledak di hotel mewah Ritz-Carlton dan JW Marriott, yang berakibat batalnya juara Liga Inggris, Manchester United (MU) bertandang ke Gelora Bung Karno.
           Tujuan teror semacam ini tentu untuk menghadirkan ketakutan, kepanikan dan kecemasan pada warga masyarakat. Walau sebagian penduduk Jakarta kemudian bereaksi dengan mengucap: “Kami tidak takut teror”, tapi seorang pakar psokologi yang Saya tonton tadi pagi di sebuah TV berita (swasta) nasional mengatakan: “Tujuan teror berhasil…!!!”. 
            Baiklah, pada kesempatan ini Saya tidak membahas tentang dampak sosial, politik, ekonomi dan global dari Bom Sarinah ini. Biarlah para ahli yang menjelaskannya. Dan detail tentangnya bisa kita simak di berbagai sajian pemberitaan media. Saya hanya membahas hal yang sederhana, tapi masih ada hubungannya dengan bom meledak, yaitu tentang perubahan pola. Oh iya, apa yang terjadi pada Anda saat sedang terlibat pembicaraan, lalu tiba-tiba mendengar bom meledak atau petir menggelegar? Tentu akan keget dan percakapan terhenti saat itu juga. Namun, setelah rasa kaget hilang, apa yang terjadi dengan percakapan Anda sebelumnya? Ya, topik pembicaraan benar-benar terlupakan. 
          Terkait hilangnya topik pembicaraan tersebut, Bong Chandra dalam bukunya yang berjudul ‘The Science of Luck’ berujar: “Kenapa tiba-tiba kita lupa topik yang sedang kita bicarakan sebelumnya? Itu terjadi karena pola kita telah dirusak oleh sesuatu yang ekstrem…”. Dan sesuatu yang ekstrem itu adalah petir dan bom. 
           Nah, apa yang dimaksud dengan ‘Pola’? Sebelum kita menjawabnya, Saya akan bercerita sedikit tentang tokoh Patrick dalam film kartun Sponge Bob Square Pants. Si Bintang laut yang juga sahabat Sponge Bob ini adalah anak yang pemalas. Rutinitas hariannya tidak patut untuk di contoh. Ia bangun di pagi hari setelah jam wekernya berdering berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama. Usai terbangun dan menghancurkan jam wekernya, ia lalu menuju kulkas. Hanya sedikit makanan kaleng pada kulkas yang terdapat sarang laba-laba di dalamnya. Di dapurnya, sisa makanan berserakan di mana-mana. 
            Sudah itu ia ke kamar mandi. Lalu membersihkan diri dengan cara yang agak menjijikkan. Sekedar info, selain pemalas, Si Patrick ini adalah sahabat sponge bob yang konyol, lucu sekaligus menjengkelkan. Usai menyelesaikan rutinitasnya di dalam rumah, ia lalu melanjutkan kekonyolannya ke luar rumah, dalam keseharian di Bikini Buttom. Tiap hari begitu modelnya. 
           Rutinitas atau kebiasaan buruk Patrick ini, adalah Pola. Semakin Si Bintang Laut ini mengalir mengikuti pola-nya, maka semakin sulit ia keluar dari pola tersebut. Dan setiap orang tentu memiliki pola. Baik itu pola yang baik, atau pola yang buruk. Pola yang baik harus dipertahankan. Tetapi pola buruk, tentu harus di ubah. Sebab hal buruk dapat merugikan kehidupan seseorang dalam segala hal. 
             Bayangkan saja, manajemen waktu yang buruk, kebiasaan menunda, selalu menyalahkan orang lain, sulit berkonsentrasi, pesimisme berlebihan, stress yang berkepanjangan dan lain sebagainya, semua ini adalah pola buruk. Tentu ini sekaligus berdampak buruk pada karir dan kehidupan seseorang. 
             Pertanyaannya adalah, bagaimana cara mengubah pola buruk? Salah satu jawabannya adalah dengan melakukan suatu hal yang ekstrem. Mendengar bom meledak atau suara petir yang menggelegar adalah analoginya. Sebagaimana telah disinggung pada paragraph di atas, orang-orang yang sedang asyik bercakap, lalu tiba-tiba kaget mendengar suara bom meletus atau petir menggelegar, akan terlupa dengan topik pembicaraan sebelumnya, ketika rasa kagetnya hilang. 
         Begini penjelasannya. Kata Bong Candra, kebiasaan buruk bisa diubah secara ilmiah. Menurut Developer-Author-Motivator ini, yang harus dilakukan adalah: Pertama, merusak pola (buruk) tersebut dengan melakukan hal lain yang tidak berhubungan (melakukan hal ekstrim positif yang tidak berhubungan). “Contohnya: seseorang yang sedang dalam keadaan marah, akan mendadak tenang hatinya setelah ia mandi dengan air yang sangat dingin”. Jelas Chandra. Inilah yang dimaksud dengan analogi mendengar bom meletus atau petir menggelegar. 
         Kedua, Lakukan dengan cepat. Hal kedua yang perlu diperhatikan dalam merusak pola adalah kecepatan. Kecepatan akan membuat kesempatan untuk berpikir semakin sempit. Jika kita sedang terjebak dalam pola (mood) yang buruk, segera lakukan lari pagi untuk merusak pola itu. Sebab sesuatu yang dilakukan dengan cepat akan membuat otak sulit berkonsentrasi pada pola yang lama, dan inilah kesempatan terbaik untuk memasukkan pola baru yang lebih positif. 
            Ketiga, Ganti Suasana. Salah satu klub sepak bola terbesar di dunia mengajak para pemainnya untuk bersenang-senang satu hari sebelum pertandingan final. Hal ini dipercaya dapat merusak pola ketegangan yang dihadapi para pemainnya saat menjelang pertandingan final. Ternyata strategi ini terbukti efektif, para pemain bermain dengan lepas tanpa tekanan dan berhasil meraih kemenangan. 
          Suasana memegang andil penting dalam membentuk sebuah pola. Sama halnya yang terjadi di kota besar seperti Jakarta. Banyak penduduk ibu kota memiliki tingkat stress yang sangt tinggi, disebabkan polusi, macet dan banjir. Dalam keadaan stress, tentu akan sulit menemukan ide. Maka warga Jakarta sering memanfaatkan waktu liburnya untuk mertamasya ke luar kota, mencari suasana baru. Cara ini dinilai sangat efektif dalam menghadirkan ide-ide yang kreatif. 
          Keempat, Mengubah Gerakan. Hal terakhir yang dapat mengubah pola adalah gerakan. Gerakan pada saat orang tertidur merangsang otak untuk bermalas-malasan. Lain halnya jika seseorang berdiri, berjalan, berlari atau melompat. Otak akan merespon informasi melalui gerakan tubuh. Jadi, jika ingin merubah pola lama (malas), ubahlah gerakan tubuh. “Ingat, keberuntungan akan berpihak kepada orang yang rajin, kerajinan kita dibentuk dari mood, dan mood kita dibentuk oleh gerakan”. Pungkas Chandra. 
            OK, sudah tahu khan cara merubah pola? Baiklah kita kembali lagi ke Bom Sarinah yang Saya tulis di paragraph paling awal. Ternyata suara bom tidak saja membuat orang benar-benar lupa pada topik pembicaraan sebelumnya. Bahkan membuat orang nyaris lupa pada peristiwa sejarah. Setidaknya itu yang terjadi dengan Saya. 
            Akibat pemberitaan media yang begitu massif tentang tragedi bom sarinah, sebagai orang yang pernah ikut aktif dalam dunia gerakan mahasiswa, Saya hampir saja lupa bahwa tanggal 15 Januari ada peristiwa penting dalam sejarah gerakan Mahasiswa di tanah air. Para aktivis menyebutnya dengan MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari), yang terjadi pada tahun 1974. 
            Aksi ribuan Mahasiswa di Jakarta yang menyebar ke beberapa daerah, dilakukan untuk memprotes hegemoni intervensi asing di Indonesia. Demonstrasi besar-besaran ini berujung bentrok. Dan peristiwa ini sekaligus menjadi tonggak awal represi Orde Baru hingga 32 tahun lamanya. 
          Itulah hebatnya Bom. Bisa membuat orang lupa. Saran saya, gunakanlah analogi bom ini untuk merubah pola kebisaan buruk menjadi kebisaan baru yang positif. Dan mulailah melakukannya, sebab kita tidak akan pernah menjadi sesuatu sebelum memulai.

Selasa, 12 Januari 2016

Hukum Alam & Pengembangan Kapasitas Diri

Sumber gambar: diaryrima22.blogspot.com
          Archimedes dan bak mandi. Pernah dengar kisah unik Archimedes yang melompat keluar dari bak mandi? Baiklah, bagi yang belum, akan Saya ceritakan, tapi dengan sedikit penambahan bumbu cerita. Archimedes adalah seorang ahli matematika yang terkenal dan mendunia. Suatu hari Ia diundang olah Raja untuk menghitung volume kandungan emas pada mahkota Sang penguasa itu. Ahli matematika itupun setuju untuk memenuhi permintaan tersebut. 
          “Bagaimana cara Anda melakukannya?” Tanya Sang Raja kemudian. 
         “Saya akan meleburnya terlebih dahulu, lalu menghitung volumenya”. Jawab Archimedes. 
      “(Lah) kalo cuman begitu caranya, Saya juga bisa menghitung volumenya. Maka untuk apa Saya mengundang Anda? Maka (mohon) hitunglah volume kandungan emas pada mahkota Saya tanpa meleburnya.” Titah Sang raja. 
         Cukup lama Archimedes berpikir dan berusaha memecahkan problem matamatika dari Sang Raja. Dan pikiran itu Ia bawa sampai ke kamar mandinya. Sambil berendam di bak mandi, ia terus berpikir dan berpikir. Sampai akhirnya Ia berteriak “Eureka! Eureka! Eureka”. Teriakan ini diucapkannya sambil melompat keluar dari bak mandi. Rupanya Sang matematikawan ini menemukan inspirasi menghitung volume mahkota raja dari bak mandinya. 
         Kira-kira begitulah inti ceritanya. Saya ingin memulai tulisan ini dari kisah legendaris tentang Archimedes dan bak mandinya, untuk menjelaskan tentang pengembangan kapasitas diri. Jika Archimedes menemukan inspirasi dari bak mandi, maka sayapun menulis pengembangan kapasitas diri terinpirasi dari bak mandi. 
           Ada apa dengan bak mandi? Sebelum berbicara panjang lebar tentangnya, Saya ingin bererita sedikit tentang beberapa momen yang terjadi setahun lalu. Selama tahun 2015, beberapa kali Kota Baubau kedatangan pribadi-pribadi yang menurut Saya sungguh luar biasa. Mereka adalah trainer, motivator, hipnoterapis, public speaker dan penulis buku. Alhamdulillah Saya berkesempatan mengikuti seminar dan pelatihan yang mereka lakukan. 
          Diantara mereka ada yang Saya undang secara pribadi, yaitu Bapak Asep Bruder, CHt, IBH, CI, untuk berbicara pada Seminar Keluarga yang bertema ‘Meraih Keluarga Harmonis dengan Hipno Tauhid’. Sementara Bapak DR. Anshar Akill dan beberapa trainer nasional lainnya hadir memenuhi undangan berbagai instansi di Kota Semerbak. 
           Gaya mereka tentu berbeda. Maksud Saya, ada spesifikasi khusus yang ditampilkan tiap pembicara itu. Tapi sebutan yang disematkan untuk pribadi-pribadi itu tetap sama. Mereka adalah Trainer, Motivator, Hipnoterapis, Public Speaker dan Penulis Buku. Semua kualifikasi ini menyatu dalam diri mereka masing-masing. Luar biasa. 
        Seorang Sahabat sempat berbisik kepada Saya: “Kok mereka bisa sehebat itu?” Saya hanya tersenyum mendengarnya. Tentu jawaban paling umum yang bisa kita berikan untuk pertanyaan Sahabat Saya tersebut adalah bahwa segala sesuatunya bisa dicapai jika kita senantiasa belajar dan bekerja keras untuk menggapainya. Atau dalam bahasa lain adalah memperluas daya tampung diri. 
           Nah, sekarang kita kembali ke bak mandi. Berbicara tentang daya tampung, Saya jadi teringat dengan Bak Mandi di rumah kami. Ukurannya tidak besar, tapi juga tidak kecil. Volumenya hampir sama dengan box/tangki air langganan kami yang di pesan (kira-kira) 2 (dua) minggu sekali. Itu tuh yang biasa diantar keliling dengan mobil L-300 atau sejenisnya. Oh iya, kenapa kami pesan tiap 2 (dua) munggu sekali? Maklum, sudah berbulan-bulan, sampai tulisan ini di buat, air PDAM gak mengalir. Hehehe 
            Ada apa dengan Bak Mandi di rumah kami? Ini tentang kapasitas atau daya tampung. Ia hanya bisa menampung untuk sekali pesanan. Karena hanya sebesar itu volume daya tampungnya. Tak bisa lebih dari itu. Sebab jika dipaksakan untuk menampung lebih dari kapasitasnya, air akan tumpah membanjiri sekitarnya. Jika kami ingin menambah kebutuhan air lebih banyak lagi, maka tentu kami harus memperbesar daya tampungnya. 
           Bak mandi kami adalah analogi kapasitas manusia. Maksudnya? Selain sahabat Saya di atas, mungkin kita semua juga bertanya-tanya, mengapa para trainer yang Saya sebutkan pada tulisan ini memiliki kualifikasi yang luar biasa? 
            Jawabannya adalah karena orang-orang itu memperluas daya tampung diri mereka. Dan “cara terbaik yang dapat dilakukan untuk memperluas daya tampung tersebut adalah dengan meningkatkan pengetahuan”, Kata Bong Chandra (Seorang developer-Author-Motivator), dalam bukunya yang bejudul ‘Science of Luck’. Jadi, Belajar dan belajar. Membaca dan membaca. Fokus, konsisten dan berkesinambungan. Sehingga kapasitas pengetahuan semakin luas. Dan dari sinilah setiap orang bisa menjadi unggul. 
            Saya punya seorang teman. Beliau seorang pembelajar sejati. Saat kerumahnya, Saya menyaksikan tumpukan buku di beberapa lemari. Tapi itu bukan untuk dipajang begitu saja. Buku-buku itu beliau lahap tiap hari. Menariknya adalah Ia juga mengalokasikan sebagian penghasilannya, yang digunakan khusus mengikuti seminar dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dirinya. Tak tanggung-tanggung, beberapa kota besar di tanah air khusus ia sambangi demi mengikuti pelatihan. Maka Saya tak kaget jika dirinya berada diatas rata-rata kebanyakan orang. 
            Dalam buku The 8th Habit-nya, Stephen R. Covey menjelaskan bahwa manusia diberi anugerah yang luar biasa sejak lahir. Berbagai bakat, kemampuan, kecerdasan, kesempatan yang sebagian besarnya masih tertutup dengan rapi. Hanya melalui keputusan dan upaya sendirilah, manusia bisa membukanya. 
         Diantara anugerah tersebut yang paling penting adalah pertama, kebebasan memilih. Kedua, hukum-hukum alam atau prinsip-prinsip, yang universal dan tidak pernah berubah. Dan ketiga, empat kecerdasan/kemampuan kita (fisik/ekonomi, emosional/social, mental dan spiritual). Keempat kecerdasan/kemampuan ini berkaitan langsung dengan keempat bagian dari kodrat manusiawi manusia, yang dilambangkan dengan tubuh, hati, pikiran dan jiwa. 
             Oh iya, tentang anugerah kedua di atas, yaitu hukum-hukum alam atau prinsip-prinsip yang universal dan tidak pernah berubah. Hal ini sangat menarik. ‘Hukum alam yang tidak pernah berubah’. Dan menurutku, “kita bisa menjadi unggul, jika kita mau memperluas kapasitas atau daya tampung diri kita”, adalah sebuah ‘hukum alam’.

Senin, 04 Januari 2016

Antrian Tiket Baubau-Kendari & Hukum Pikiran

Sumber gambar: kolom.abatasa.co.id
            Kemarin (3 Januari 2016) pagi, Saya diberi tugas untuk membeli tiket kapal cepat Baubau-Kendari. Maka pergilah Aku ke sebuah loket penjualan tiket dekat pelabuhan Murhum. Dan sesuai prediksiku, calon penumpang sedang padat-padatnya di tempat itu. Maklum, hari itu adalah hari terakhir dari liburan panjang akhir tahun. Keesokan harinya mereka harus kembali ke tempat rutinitas mereka sehari-hari, baik sebagai mahasiswa, karyawan atau aktivitas lainnya. Karenanya Sayapun tidak kaget ketika dari kejauhan kusaksikan mereka sedikit berdesakan, saling dorong, berebut mendapatkan tiket. 
          Saat itu, Saya berdiri di belakang kerumunan. Mencoba mengantri. Calon penumpang yang datang kemudian juga berdiri setelahku. Tampaknya mereka juga mencoba untuk mengantri. Beberapa saat, usaha itu (antri) berjalan dengan baik. Tapi niat baik itu tiba-tiba dirusak oleh beberapa orang. Mereka baru saja datang, tapi langsung nyerobot ke depan loket. Seketika para calon penumpang seperti tak lagi mempedulikan antrian. Antrin jadi kacau. 
          Bagaimana dengan diriku? Saya keluar dari kumpulan. Kembali lagi ke belakang. Coba lagi mengantri. Tak mengapa, sebab saat itu baru pukul 08.00-an, kapal baru akan berangkat sekitar 13.00 Wita. Selain itu, Saya tak suka berdesak-desakan. Pada saat yang sama mencoba berprasangka baik, mereka yang nyelonong itu bisa jadi kesehariannya adalah orang-orang yang suka ngantri. Tapi hari itu, mereka melakukan yang sebaliknya, mungkin ada alasan yang sangat penting dan mendesak, sehingga nyelonong begitu saja. 
           Oh iya, lantas apa kaitan antara antri kacau dengan hukum pikiran? Baiklah, sebelum pertanyaan ini terjawab, Saya ingin menyelesaikan dulu cerita tentang antrian ini. Biar tuntas. Lanjut lagi ya. Untuk beberapa saat, Saya masih berdiri di belakang kerumunan yang berdesakan itu. Tetap mengantri seperti biasa. Dan ternyata (entah bagaimana caranya) tanpa perlu menunggu lama, Saya sudah berada nyaris berhadapan langsung dengan petugas penjual tiket. Di depanku tinggal seorang Ibu yang sedang membayar tiket. 
         Saat itu, tepat di sampingku, ada seorang Bapak muda yang juga sedari tadi antri bersamaku. Sebenarnya, jika mau, Ia bisa saja menyalipku dan langsung mendapatkan tiket setelah si Ibu. Tapi itu tidak dilakukannya. Mungkin beliau sedari tadi memperhatikan usahaku untuk antri. Yang dilakukannya justru mempersilahkanku untuk membeli tiket lebih dulu, sambil berusaha menahan desakan dan dorongan dari arah belakang. Alhamdulillah kami mendapatkan tiket secara bersamaan. “Terima kasih Pak”, ingin kuucapkan kalimat ini padanya. Tapi terlambat alias tak sempat lagi, Ia sudah jauh beranjak pergi. 
            Rupanya pagi itu ada orang-orang yang sengaja memuluskan jalanku agar segera mendapatkan tiket. Usaha antriku ternyata berbuah manis. Saya jadi ingat dengan kisah yang pernah diceritakan oleh Ary Ginanjar Agustian, Sang penulis ‘ESQ Power’. Di sebuah bandara terkenal, seorang pengusaha bersiap terbang ke luar negeri. Aktivitas bisnis penting akan dilakoninya di negeri tetangga. Jika ia tak berangkat dengan penerbangan hari itu, maka kerugian besar akan dialaminya. Sayang sungguh sayang, penerbangan hari itu harus ditunda sampai keesokan harinya. 
            Seketika puluhan penumpang yang sedari tadi menunggu tak bisa menahan kekecewaannya. Mereka protes dan marah sejadinya. Sesuatu yang manusiawi menurut Saya. Sebab ada janji yang tak ditepati, pertemuan yang tertunda, akan ada kerugian bisnis yang besar, dan lain sebagainya. Maka wajar jika mereka bereaksi seperti itu. 
           Tapi reaksi seperti diatas tak dilakukan oleh Bapak yang diceritakan ini. Beliau memang kecewa, tapi segera bisa mengendalikan diri. Tak marah, apalagi protes. Ia begitu tenang. Tapi tanpa sepengetahuan Bapak itu, pihak manajemen penerbangan rupanya memperhatikannya. Sebuah pengendalian diri yang akhirnya berbuah manis untuk Si Bapak. 
          Beberapa jam kemudian akan ada penerbangan pesawat cargo dengan tujuan yang sama dengan Sang Bapak. Sebuah kursi kosong (satu-satunya) di pesawat itu, tepat samping pilot, ditawarkan oleh pihak manajemen untuknya jika ia tak keberatan. Tentu saja beliau menerimanya. Lalu dengan penerbangan itu ia selamat sampai tujuan, dan aktivitas bisnisnya berjalan sesuai rencana. Dari kisah ini, Saya juga teringat pesan seorang motivator: “Berbuatlah yang positif, sekecil dan sesederhana apapun itu, sebab ia akan berbuah manis untukmu”. Sebuah pesan moral yang super. 
         OK, baiklah. Kita kembali ke pertanyaan di atas: “lantas apa kaitan antara antri kacau dengan kekuatan pikiran?” Dalam keseharian, kadang kita dihadapkan pada hal-hal yang tidak menyenangkan. Kasus antrian tiket diatas misalnya. Atau berbagai hal lainnya. Hasil dari respon kita kadang juga destruktif. Membahayakan diri sendiri dan orang lain. 
        Solusi yang dilakukan agar perilaku destruktif tidak terjadi adalah segera selesaikan sumber masalahnya. Dalam kasus antrian diatas, menegur (dengan baik) si penyelonong agar tak merusak antrian. Tapi jika hal ini tak bisa dilakukan dengan pertimbangan bahwa jika orang yang ditegur malah berespon negatif, maka yang bisa dilakukan selanjutnya adalah merubah cara pandang kita terhadap masalah tersebut. Berprasangka baik misalnya. 
         “Manusia adalah subyek atas pikiran dan perilakunya sendiri”. Kata Efvy Zamidra Zam, dalam bukunya yang berjudul ‘Hipnotis untuk Kehidupan Sehari-hari’. “Oleh karena itu,” Lanjut Efvy, “semua yang kita pikirkan dan lakukan haruslah berasal dari keputusannya sendiri”. 
           Ada beberapa “hukum” pikiran yang dikemukakan oleh Efvy: Pertama, Tidak ada orang yang bisa melukai perasaan Anda, selain Anda sendiri yang membuka pikiran untuk hal tersebut. Kedua, Tidak ada orang yang bisa membuat diri Anda bahagia karena bahagia adalah keputusan Anda sendiri dan bukan tergantung pada orang lain. Dan ketiga, Tidak ada orang yang menjadi sebab atas segala kesalahan perbuatan kita, karena kita sendirilah yang bertanggung jawab atas segala tindakan.
            DR. Anshar Akil, seorang trainer dan penulis buku pernah berkata: “Apa yang kita pikirkan saat ini, pada saat yang sama akan berpengaruh pada tubuh kita”. Artinya, jika pikiran kita disibukkan dengan kegalauan, kekecewaan atau respon (psikologis) negatif lainnya, maka akan membuat tubuh menjadi tidak sehat. Daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi berkurang. 
          So, saran Saya, jika dihadapkan pada sesuatu yang kadang tidak menyenangkan, selesaikanlah secara konstruktif, dan hadirkan (saja) dalam pikiran kita pengalaman-pengalaman bahagia dan menyenangkan yang pernah dilami. Maka hasilnya kita akan merasa nyaman dan tubuh menjadi sehat. Dan tetaplah setia dengan sikap dan perilaku positif, sebab akan indah pada akhirnya.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More