 |
Sumber gambar: bolehtanya.com |
Beberapa tahun yang lalu, seorang tamu penting (pejabat) dari Jakarta berkunjung ke Kota Baubau. Alhamdulillah Saya diberi kesempatan untuk membersamai beliau. Sebelum kedatangannya ke Kota Semerbak ini, beliau sempat bertanya dalam hati, mengapa kota dengan simbol naga dan nanas ini diberi nama dengan Baubau?
Untuk menjawab rasa penasarannya, ia mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Kota yang dahulu menjadi pusat Kesultanan Buton ini. Ketika membuka peta Sulawesi Tenggara, dirinya melihat sebuah pulau kecil di sebelah timur pulau Buton yang bernama Wangi-wangi. Karena Baubau dan Wangi-wangi berada dalam satu Provinsi, maka kesimpulan sederhana muncul dalam lintasan pikirannya, bahwa secara etimologis (asal kata) Baubau berarti adalah sebuah aroma yang mengganggu indera penciuman. Tapi benarkah demikian?
Dahulu Saya pernah bertanya pada Ibu Saya, mengapa tempat lahirku ini bernama Baubau? Kata ibuku, nama tersebut berasal dari para pelaut Bugis yang menetap di sekitar kali dekat Jembatan Gantung. Kebanyakan dari para pelaut itu bermarga ‘Bau’. Sehingga tempat mereka bermukim itu akhirnya disebut dengan nama Baubau.
Belakangan Saya menemukan catatan Yusran Darmawan dalam buku ‘Menyibak Kabut di Keraton Buton’ yang menjelaskan tentang asal usul nama Baubau. Semua bermula di abad 17, saat Sultan Hasanuddin, Sang ‘Ayam Jantan dari Timur’ memimpin perlawanan rakyat Gowa menghadapi VOC. Sebuah perang dahsyat yang lalu berakhir dengan perjanjian Bongaya.
Ketegangan yang terus meningkat antara Gowa VS Kongsi Dagang Belanda di Sulawesi Selatan saat itu menyebabkan beberapa bangsawan Bugis meninggalkan daerahnya dan mencari tempat yang aman untuk bermukim. Buton menjadi salah satu pilihan mereka, sebab selain aman, daerah dengan teluk indah ini juga mudah dijangkau.
Nah, kebanyakan bangsawan Bugis yang datang ke Buton saat itu memakai gelar ‘Andi Bau’ di depan nama mereka, sebagai tanda kebangsawanan. Para imigran ini lalu menetap dipinggiran pantai, daerah sekitar kali yang membelah Kota Semerbak. Sebuah lokasi yang tak jauh dari dermaga. Dari nama para bangsawan yang bergelar ‘Andi Bau’ inilah maka daerah sekitar kali dan pinggiran pantai itu dinamakan dengan Baubau.
Tapi, ada juga yang mengatakan bahwa nama Baubau berasal dari kata ‘Bhaau’. Demikian La Ode Abdul Munafi dan Andi Tenri dalam kumpulan catatan mereka di buku ‘Dinamika Tanah Wolio’. Kata ‘bhaau’ adalah bahasa Wolio (Buton) yang berarti baru, yang dalam pengertian ini menunjuk sebuah kawasan hunian/kota baru. Mengapa disebut kota baru?
Begini ceritanya, pada abad ke-19, dimasa pemerintahan Sultan Buton ke-29, La Ode Muhammad Aydrus Qaimuddin, terjadi kebakaran hebat dalam Benteng Keraton Wolio. Nenek Saya pernah bercerita bahwa saat itu, Benteng Keraton adalah wilayah padat penduduk. Saking padatnya, atap rumah warga saling bertemu antara satu dengan lainnya. Hingga seekor kucing cukup berjalan melalui atap jika ingin berpindah ke rumah tetangga. Maka ketika api mulai membakar, dengan cepat merambat menghanguskan banyak bangunan lainnya.
Peristiwa ini kemudian membuat sebagian keluarga keraton akhirnya memutuskan untuk keluar meninggalkan benteng mencari area pemukiman baru. Beberapa menetap di kawasan perbukitan seperti Baadia dan Baariya, atau turun ke pesisir pantai wilayah Tarafu, Wameo dan Bone-bone. Sebagiannya lagi memilih untuk tinggal di sebuah kawasan yang terletak diantara Nganganaumala-Kotamara dan Bonesaala. Nah, lokasi inilah yang kemudian diberi nama Baubau (Kota Baru).
Tahun 2001, tempat yang akan dijadikan Ibu Kota calon Provinsi Kepulauan Buton (Kepton) ini, mekar dan memisahkan diri dari kabupaten Buton. Dan para pemimpin kita saat itu sepakat memberi nama daerah yang kini berpenduduk kurang lebih 160 ribu jiwa ini dengan sebutan Kota Baubau.
Pada Bulan Oktober 2017, kota yang saat ini dinakhodai oleh Bapak Drs. H. AS Thamrin, MH, akan merayakan hari jadinya yang ke-476. Sudah tua juga ya? Usia yang hanya selisih 14 tahun dengan umur kota Jakarta yang saat ini memasuki 490 tahun. Jika Ibu Kota Republik Indonesia menetapkan hari jadinya berdasarkan kemenangan Fatahillah atas portugis di tahun 1527, maka kota Baubau berpijak pada pelantikan Sultan Buton pertama yang bergelar Asulthoni Qaimuddin Khalifatul Khamis (Sultan Murhum) pada tahun 1541.
Oh Iya, pada tahun 1613, Jan Pieterszoon (JP) Coen pernah mengunjungi Baubau. Sebagaimana ditulis oleh Susanto Zuhdi dan Muslimin AR Effendy dalam ‘Perang Buton VS Kompeni-Belanda 1752-1776’, JP Coen mencatat bahwa penduduk Kesultanan Buton yang berpusat di Wolio (Baubau) itu pada umumnya miskin, sebab tidak banyak komuditas yang dapat diperjualbelikan, kecuali budak yang murah.
Tapi disisi lain, pria kelahiran Belanda yang juga adalah pendiri Kota Batavia ini menulis: “Dit is een groot, ende oock peupileert landt, hebbende schoon hout daervan men, na wens ende begeerten, vaertuych souden connen maken als men maer volck brochte”, yang berarti bahwa Buton adalah pulau besar dengan kayu yang diminati orang sebagai bahan untuk membuat perahu.
Catatan Sang meneer yang akhirnya tewas saat Sultan Agung Hanyokro Kusumo, penguasa Mataram Yogyakarta menyerang Batavia di tahun 1629 ini, cukup berkesan buat Saya. Sebab Saya mendapakan gambaran tentang wajah Kota Baubau di abad 17, walau hanya sekilas.
Berbicara soal catatan tentang Kota Baubau, tentu telah banyak buku atau literatur yang menyajikannya. Dan nyaris semua hal tentang negeri Khalifatul Khamis ini telah terungkap. Sejak zaman Majapahit, dalam kitab Negarakertagama (1365) yang ditulis oleh Mpu Prapanca, Negeri Seribu Benteng ini telah ada dalam catatan. Jauh sebelum JP Coen memandangnya dengan penuh decak kagum dari atas geladak kapalnya. Sehingga makin jelas sudah wajah kota ini dalam pandangan.
Tapi bagaimana dengan catatan masa depan kota tua ini? Maju-mundurnya, jatuh-bangunnya, baik-buruknya, tergantung dari generasi yang hadir saat ini. Sebagai warga, Saya berharap hari esok lebih baik dari hari kemarin. Tapi sekali lagi, itu tergantung kita, dan setahu Saya, pena itu masih ada di tangan kita. Maka mari kita tulis catatan indah buat negri yang ditemukan oleh mia-patamianan ini, agar kelak generasi mendatang yang hidup di tanah ini, bangga pada kita.