 |
gambar: Indopolitika.com |
(S)uatu hari, pada permulaan abad ke-18, di dalam benteng keraton Buton, lahirlah seorang putra yang kelak di kemudian hari menjadi satu-satunya Sultan Buton yang memimpin perlawanan rakyat menghadapi kongsi dagang Belanda (VOC). Anak ke-3 dari pasangan Sultan Buton ke-13 bergelar Liauddin Ismail dan Wa Ode Safura ini, lahir pada masa ketika kolonialisme Negri Kincir Angin mulai menancapkan kukunya di Nusantara. Seiring waktu, ia kemudian tumbuh menjadi anak cerdas, berwatak keras, dan memiliki postur tubuh yang tinggi, besar, dan tegap. Oleh karena perkembangan fisik yang melebihi anak seusianya masa itu, ia pun lalu dijuluki 'La Karambau', yang dalam bahasa Wolio berarti Kerbau.
(U)sia kanak-kanaknya, sebagaimana kebiasaan keluarga Buton, ia lalui pula dengan mengenyam pendidikan akhlak dan budi pekerti Islami. Nah, khusus untuk akhlak dan budi pekerti, dalam istana ia ditempa langsung oleh ayah dan ibunya. Pada tahap selanjutnya, La Karambau kecil belajar pula baca tulis dalam aksara 'Buri-Wolio', yang dibimbing oleh seorang guru ngaji dalam lingkungan keluarga. Sedang ilmu Al Qur'an secara spesifik beliau belajar dari 2 (dua) ulama besar kala itu, Syekh Syarif Al Idrus dan Syekh Alwi.
(L)aku hidup masa remajanya telah menunjukkan bakat kepemimpinan yang luar biasa, dan akhlak terpuji diantara sesamanya. Dalam pada itu, La Karambau semakin sadar bahwa kehadiran Belanda di Buton sangat merugikan pemerintah dan rakyat. Karenanya ia mulai menempa diri agar kelak mampu membebaskan negerinya dari gangguan dan tekanan bangsa lain. Ketika dewasa ia menunjukkan dedikasi dan loyalitas yang tinggi terhadap Sultan dalam menjalankan pemerintahan. Hal yang menyebabkan ia kemudian diangkat untuk menduduki beberapa jabatan penting.
(T)akdir cinta mempertemukannya dengan wanita yang menjadi belahan jiwanya, bernama Wa Ode Sabanaira, yang juga adalah putri dari Sultan Buton ke-19, bergelar Sakiyuddin Darul Alam. Ia lalu menikahi sang gadis pujaannya itu. Dari perkawinannya, La Karambau dikaruniai 3 (tiga) orang buah hati; 2 (dua) putra, yaitu Kapitalau Lawele dan La Ode Pepago, serta seorang putri yang bernama Wa Ode Wakato.
(A)pabila tinggal bersama mertuanya, Sultan Buton ke-19, La Karambau kerap mendengarkan percakapan antara Sultan dengan para pejabat kesultanan tentang perilaku kompeni Belanda yang semakin arogan, sementara Sultan dan sara kesultanan tidak dapat berbuat banyak karena terikat perjanjian dengan kompeni Belanda. Iapun bertekat bahwa bagaimanapun juga, suatu saat nanti, dirinya harus mampu melakukan perubahan untuk membebaskan rakyat Buton dari cengkraman VOC.
(N)omenklatur berbagai jabatan penting dalam pemerintahan telah ia sandang. Mula-mula La Karambau diberi tugas sebagai 'Lakina Kambowa', atau kepala wilayah 'kadie' (komunitas desa). Sukses sebagai 'Lakina Kambowa', ia kemudian diangkat menduduki jabatan 'Kapitalau Matana eo' (panglima wilayah timur), yang tugas utamanya adalah mengatur pertahanan di seluruh wilayah pemerintahan 'kadie' dan 'barata'. Pada usianya yang ke-50 tahun, ia mendapatkan amanah lagi sebagai 'kenepulu' (hakim). Hingga akhirnya, pada tahun 1751 La Karambau dikukuhkan sebagai Sultan Buton ke-20, bergelar Sultan Himayatuddin.
(H)ubungan yang dibangun oleh Kesultanan Buton dengan VOC, yang lalu dituangkan dalam kontrak 1613 (Schotte-Laelangi) ternyata merupakan konsesi tidak seimbang, lebih menguntungkan kongsi dagang Belanda. Hal tersebut semakin diperparah dengan adanya kontrak perjanjian ke-2 pada 25 Juni 1667 antara Cornelis Speelman dan Sultan Adilil Rakhim. Dimana Buton berkewajiban memusnahkan seluruh tanaman cengkeh dan pala di Wakatobi, mengirim upeti kepada Belanda, dan berkurangnya kedaulatan Buton sebab dalam urusan pergantian Sultan harus disetujui Belanda dan Ternate. Ketika Sultan Himayatuddin naik tahta, beliau tidak mengindahkan kontrak-kontrak ini. Hal yang mengakibatkan hubungan Buton-VOC memanas.
(I)nsiden Kapal 'Rust en Werk' di perairan Baubau menjadi awal konflik yang meruncing hingga berujung pada pecahnya perang Buton vs VOC. Pada bulan Juli 1752, kapal milik VOC yang sedang berlabuh di lepas pantai Kotamara itu, dirompak oleh seorang mantan juru bahasa yang juga adalah bandit pelarian dari Makassar, dan anak buahnya. Namanya adalah Frans Franz. Usai membajak bahtera berbendera Belanda itu, ia lalu melarikan diri ke Pulau Kabaena. Sultan Himayatuddin yang mengetahui peristiwa perompakan di wilayahnya, sama sekali tak memberikan bantuan pada VOC. Bagi Belanda, tindakan sang Sultan tersebut berarti telah membantu para perompak. Konsekuensinya adalah Buton harus membayar kerugian pada Kongsi Dagang Belanda, sebagai buntut dari perjanjian yang pernah dibuat antara Buton dan Kompeni. Tapi Sang Sultan menolak.
(M)elalui surat yang bertarikh 1755, Gubernur VOC yang berpusat di Makassar, memerintahkan untuk mengirim ekspedisi perang ke Buton. Sekaligus menunjuk Kapten Johan Casper Rijsweber sebagai pemegang komando tertinggi dalam penyerangan tersebut. Kategori perang dalam "kamus" VOC adalah yang teratas dalam tingkat penindakan terhadap kerusuhan, huru-hara, atau pemberontakan sekalipun.
(A)rmada VOC yang dipimpin oleh Kapten Rijsweber mulai bertolak ke Buton tanggal 19 Februari 1755, setelah mengangkut logistik tempur di Bulukumba dan menyiapkan armada kapal perangnya di Bantaeng. Iring-iringan kapal tersebut terdiri dari; Huis te Henpad, de paarl, gligis, triston, de Meermin, hey Fortuin, dan de Arnoldina. Termasuk dalam iring-iringan itu adalah 2 (dua) buah kapal yang memuat tentara bantuan dari Jawa.
(Y)ang pertama kali tiba di Buton dari dari rombongan armada tersebut adalah kapal de Paarl dan kapal Gligis. Sedangkan kapal-kapal lainnya baru tiba pada 23 Februari 1755. Saat bahtera melempar sauh, dilepaskan pula tembakan penghormatan, tapi tidak mendapat balasan dari darat. Diperoleh informasi bahwa orang Buton telah mengetahui maksud kedatangan kompeni.
(A)ngkatan perang rakyat telah bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan. Dari benteng di pesisir hingga perbukitan telah di pasang pagar runcing yang terbuat dari batang pohon kelapa. Lebih dari 5000 orang Buton telah mempersiapkan diri, yang sebagian besarnya bersenjatakan keris, parang, dan tombak.
(T)entara VOC mulai mempersiapkan serangan mendadak sejak pukul 00.00. Usai mendaratkan seluruh pasukannya pada pukul 03.30, Rijsweber memimpin prajuritnya menuju benteng keraton yang menjadi tempat pertahanan dan Ibu kota kesultanan. Tiba di kaki bukit dekat pintu gerbang masuk benteng, ia membagi pasukannya dalam 2 (dua) jurusan, masing-masing diperintahkan memasuki gerbang-gerbang yang sudah ditetapkan, yaitu Lawana Lanto dan Wandailolo.
(U)paya merebut benteng mendapat perlawanan sengit. Tidak jauh dari pintu benteng, mereka menerima tembakan balasan dari Kapitalau (panglima) Sungkuabuso, disusul tembakan dari rumah-rumah penduduk sehingga di sana-sini terdengar letusan-letusan senjata. Pertarungan fisik berhadap-hadapan terjadi di dalam benteng. Banyak rumah terbakar dan terdengar jeritan tangis anak-anak meminta pertolongan, serta orang-orang yang lari mencari keselamatan. Betapapun gigihnya Kapitalau Sungkuabuso melawan, akhirnya ia gugur juga, sedangkan para pengawal dan pengikutnya melarikan diri atau ditawan.
(D)eru gencar serangan VOC, dan persenjataan yang tak seimbang, benteng keraton Buton akhirnya dikuasai Belanda. Sultan Himayatuddin menyingkir ke benteng Sorawolio. Rijsweber beruasaha mengejar, namun setelah melihat kondisi pasukannya yang kelelahan, dan daya tempurnya sudah menurun, ia memerintahkan prajuritnya untuk mundur. Akibat penyerangan ini, banyak di kalangan punggawa dan rakyat gugur sebagai syuhada.
(D)alam memori kolektif masyarakat Buton, peristiwa penyerangan VOC yang terjadi pada 24 Februari 1755 di Benteng Wolio itu dikenang sebagai "Zamani Kaheruna Walanda" atau zaman huru-hara Belanda. La Karambau terus melanjutkan perlawanan mengusir Belanda dengan membangun basis-basis perlawanan di tengah rimba raya. Beliau berjuang hingga akhir hayatnya pada 1776. Sebab perlawanan gerilyanya, ia dikenal pula dengan julukan 'Oputa yi Koo', atau sang raja di hutan.
(I)ndonesia akhirnya menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, atau 169 tahun sesudah wafatnya Sultan Himayatuddin. Pada tahun 1951, Kesultanan Buton menggabungkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI). Dan Kesultanan yang terletak di tenggara pulau Sulawesi ini pun berakhir setelah Sultan ke-38, Muhammad Falihi meninggal dunia pada 1960.
(N)egara menetapkan Sultan Hayatuddin sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 7 November 2019. Selamat Hari Pahlawan, 10 November 2021.
Referensi:
1. Susanto Zuhdi & Muslimin A.R. Effendy, 2015, Perang Buton VS Kompeni-Belanda 1752-1776: Mengenang Kepahlawanan La Karambau, Depok, Komunitas Bambu
2. Susanto Zuhdi, 2018, Sejarah Buton yang Terabaikan, Labu Rope Labu Wana (edisi revisi), Jakarta, Penerbit Wedatama Widya Sastra
3. La Ode Abdul Munafi & Andi Tenri, 2014, Dinamika Tanah Wolio: Sejarah, Kontinuitas, dan Perubahan, Makassar, Fahmis Pustaka