Suatu saat di tahun 2010, saya duduk asyik menyaksikan sebuah film menarik sekaligus luar biasa. Lewat channel sebuah stasiun televisi, di siang itu, saya terpukau dengan sajian film drama biografi yang berdurasi kurang lebih 2 (dua) jam. Judulnya adalah Invictus. Sebuah film yang diangkat dari buku Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game that Made a Nation karya John Carlin. Tak tanggung-tanggung, film ini disutradarai oleh sutradara terkenal Clint Eastwood. Pemeran-pemerannya adalah para aktor papan atas Hollywood yaitu Morgan Freeman dan Matt Damon. Film ini menceritakan tentang peristiwa di Afrika Selatan sebelum dan selama Piala Dunia Rugby tahun 1995, yang diselenggarakan di negara itu setelah pembongkaran apartheid.
Saat mengunjungi situs Wikipedia, saya akhirnya mengetahui bahwa film ini ternyata mendapatkan beberapa penghargaan bergengsi. Diantaranya adalah Broadcast Film Critics' Association Award (2010), Golden Globe (2010), NAACP Image Award, National Board of Review (2009), Screen Actors' Guild (2010) dan Penghargaan WAFCA (2009). Apakah memang film-film inspiratif seperti ini selalu mendapatkan banyak penghargaan? Mungkin saja, karena beberapa waktu yang lalu, salah satu film inspiratif lainnya, yang juga film kesukaan saya, The Kings Speech, lewat aktornya Colin Firth mendapatkan Academy Awards.
Ada kalimat menarik dalam film ini yang keluar dari lisan Nelson Mandela (Morgan Freeman) di hari perdana Ia memasuki istana kepresidenan. Mandela kaget melihat staf kepresidenan yang rata-rata berkulit putih dan memperlihatkan sikap kaku dan sibuk mengemas barang mereka. Dalam benak para 'kulit putih' ini, sekaranglah saatnya mereka didepak dari kantor itu. Saat dimana karir mereka akan memasuki jurang yang cukup dalam.
Tapi apa yang dilakukan Mandela justru diluar dugaan. Setelah semua staf itu dikumpulkan, Presiden yang pernah dipenjara dan di siksa oleh rezim kulit putih ini malah berkata: Of course, if you want to leave, that is your right. And if in your heart you feel that you can not work with your new government then it is better if you do leave right away. But if you are packing up because you fear that your language or the color of your skin or who you worked for before disqualifies you from working here, I am here to tell you to have no such fear. What is today is today, the past is the past, we look to the future now.
Segera kubuka buku 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah, karya Michael H. Hart, sekedar untuk memastikan apakah tokoh ini masuk dalam catatan pada Bab "Penghargaan dan Minat yang Terlewat". Ternyata juga tidak. Menyaksikan kenegarawanan dan ketokohan orang ini pikiran saya langsung meneropong pada buku tersebut. Pikiran sederhana saya berkata; seorang pemimpin yang lebih mengedepankan visi kenegaraan ketimbang larut dalam ego masa lalu yang biasanya berujung pada pelampiasan dendam yang dapat menghancurkan 'rumah besar' sebuah negara (Afrika Selatan), mestinya juga masuk/setidaknya ada dalam catatan pada Bab "Penghargaan dan Minat yang Terlewat"-nya Michael H. Hart. Tapi... Pastinya Nelson Mandela belum memenuhi kriteria Hart.
Memaafkan... Kata ini begitu indah di dengar dan begitu nyaman di dada. Inilah yang dilakukan Presiden 'Kulit Hitam' pertama di Afrika Selatan itu. Sebuah kata yang baik, tapi mungkin amat susah bagi sebagian orang untuk melakukannya. Dibutuhkan kebesaran jiwa, kelapangan dada, kekuatan visi yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang hebat dalam sejarah. Kata ini juga sekaligus mewakili rasa cinta dan pengabdian bagi sesama. Maka benarlah apa yang dikatakan Robert Muller: "Memaafkan adalah suatu bentuk cinta yang paling indah dan mulia. Sebagai balasannya, Anda akan mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan".
Martonis Tony dalam bukunya Nyala Satu Tumbuh Seribu memberikan informasi berharga kepada kita semua tentang sebuah riset di negeri Paman Sam. Para ilmuwan Amerika telah membuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan lebih sehat jiwa dan raganya. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang menyakiti mereka. Ada sisi lain yang menarik dari penelitian ini yang menunjukkan bahwa orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik; tidak hanya secara batin namun juga jasmani. Berdasarkan penelitian tersebut, gejala-gejala kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung akibat stres, susah tidur dan sakit perut, sangatlah berkurang pada orang-orang ini.
"Demikian sebagian isi artikel berjudul Forgiveness yang diterbitkan Healing Current Magazine edisi September-Oktober 1996", Jelas Tony. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau peristiwa dapat menimbulkan emosi negatif dalam diri orang yang marah, bahkan merusak keseimbangan emosional dan kesehatan jasmaninya. Artikel tersebut juga menyebutkan bahwa setelah orang-orang yang diteliti itu sadar tentang pengaruh buruk marah, maka mereka berkeinginan untuk memperbaiki hubungannya dengan orang lain. Mereka mengambil langkah-langkah untuk menyelematkan sesama.
Jadi, setiap kali memberi maaf dengan hati yang ikhlas dan jiwa yang tulus, tanpa disadari, kita sebenarnya tengah mengurangi risiko terkena pengakit jantung, stroke, ginjal, darah tinggi, bahkan kematian, akibat marah yang berlebihan. Tidak hanya itu, dengan memaafkan kitapun bisa mendapat teman sekaligus pengetahuan.
Dihalaman depan Harian Baubau Pos, Edisi Rabu, 12 Desember 2012, terpampang sebuah berita yang diberi judul 'Perjalanan' Proses Pilwali Jadi Catatan AS Tamrin. "...AS Tamrin juga mengungkapkan bahwa ketika menghadapi pilwali, banyak hal yang dihadapi. Sewaktu di Jakarta dia sempat berpikir untuk islah (damai-red). Karena menurutnya tidak ada gunanya terjadi kesalahpahaman antara dirinya dan siapapun". Demikian koran tersebut menulis. Ini adalah sambutan pertamanya dihadapan masyarakat dan simpatisan setelah tiba dari jakarta setelah mengikuti sidang di MK.
Ada kata-kata AS Tamrin (Walikota Baubau 2013-2018) yang juga di kutip koran tersebut:
"Tidak ada gunanya kita bertengkar terus. Tetapi juga kita punya catatan-catatan
tentang perjalanan ini, tapi tidak bisa hilang, tidak bisa,
kita difitnah orang, dihujat, itu tidak boleh,"
Tiap kita, mungkin memiliki tafsir yang berbeda terhadap statement ini. Tapi bagi saya pribadi, saya menangkap sebuah pesan baik untuk Kota Baubau. Ada kebesaran jiwa pada diri beliau, dan ini adalah salah satu syarat seorang pemimpin.
Diakhir berita Iapun berujar: "Saya tahu yang datang ini kebanyakan Tampil-Mesra, tapi ada juga yang bukan. Masih saya berjuang di rumah ini saja banyak yang lari, ada juga malah susupan, Saya tahu itu. Apalagi sekarang, tetapi saya tidak akan sentimen begitu, tidak akan dendam, seperti yang saya katakan tadi, saya tahu apa yang terjadi dan saya tahu apa yang akan saya lakukan".
Jika memang beliau tidak sentimen dan tidak dendam, dan saya yakin begitu, maka sayapun memastikan, sebagaimana tertulis dalam Healing Current Magazine di atas, bahwa beliau adalah orang yang terjaga kesehatannya.
Dalam tulisan ini, Saya sebenarnya tidak sedang membandingkan antara Nelson Mandela dan AS Tamrin. Saya hanya ingin menyampaikan sebuah makna yang mengandung kebesaran jiwa yang itu bisa dimiliki oleh semua orang. Memaafkan... Kata yang indah, enak di dengar, nyaman didada, memberi efek luar biasa pada kesehatan, serta menghadirkan kebaikan di lingkungan/daerah kita berada. Kata ini ibarat sebuah oase di tengah membudayanya politik yang tidak sehat. Dan masyarakat tentu sudah bosan dengan sajian politik yang tidak mendidik seperti ini.
Dengan memulai pada titik ini (memaafkan) saya kira akan tercipta daya dukung yang luar biasa dari masyarakat terhadap program dan suksesi pembangunan. Dan dari titik ini pula, akan tercipta Quantum Leadership. Sebuah kepemimpinan yang kata Rijalul Imam dalam bukunya Quantum Leadership of King Solomon akan melejitkan seluruh potensi kepemimpinan; bukan saja potensi pemimpinnya. Disamping bertumpu pada kualitas individu pemimpin, Quantum leadership menekankan lingkungan kepemimpinan yang mendukung hadirnya lompatan kepemimpinan (Quantum Leap Leadership). Bukan saja pemimpinnya yang melompat sendirian, tapi juga semuanya harus mengalami quantum atau lompatan bersama.
Dengan memulai pada titik ini (memaafkan) saya kira akan tercipta daya dukung yang luar biasa dari masyarakat terhadap program dan suksesi pembangunan. Dan dari titik ini pula, akan tercipta Quantum Leadership. Sebuah kepemimpinan yang kata Rijalul Imam dalam bukunya Quantum Leadership of King Solomon akan melejitkan seluruh potensi kepemimpinan; bukan saja potensi pemimpinnya. Disamping bertumpu pada kualitas individu pemimpin, Quantum leadership menekankan lingkungan kepemimpinan yang mendukung hadirnya lompatan kepemimpinan (Quantum Leap Leadership). Bukan saja pemimpinnya yang melompat sendirian, tapi juga semuanya harus mengalami quantum atau lompatan bersama.
1 komentar:
Bingung Cari Agen Slot Terlengkap Dan Terpercaya ?
Yuk Daftar Dan Bermain Di Bolavita .site
Daftar Akun Anda dan Menang jackpot Hingga Ratusan Juta.
Dapatkan Bonus New Member 10% / Cashback Hingga 10%.
.
• Slots Games
• Ding Dong
• Tembak Ikan
• Bingo
NB : Bisa dimainkan di perangkat smartphone Android / iOS
Hubungi Kontak CS BOLAVITA Di Sini (24 jam Online):
.
• BBM: BOLAVITA
• WeChat: BOLAVITA
• WA: +62812-2222-995
• Line : cs_bolavita
Posting Komentar