![]() |
Sumber gambar: www. gramediapustakautama.com |
Desa Burukene, jaraknya tidak begitu jauh dari polsek Batauga. Saya pernah ke sana sekali, khusus mengunjungi rumah duka dan keluarga pasien yang meninggal di RSUD Kota Baubau. Sang pasien menghembuskan nafas terakhir dengan 'luka bakar' akibat si jago merah yang menjilat nyaris sekujur tubuhnya. Kurang lebih sebulan kami merawatnya, tapi nyawanya tak tertolong lagi. Desa itu begitu asri. Saat menapaki jalan setapak berbatu di tempat itu, rasa nyaman tiba-tiba hinggap di dada. Saat itu siang hari, tapi rasanya begitu tenang, sunyi, senyap. Ahh.. Mungkin memang beginilah suasana pedesaan.
Tapi, beberapa hari ini Burukene begitu terkenal. Sejumlah media lokal Kota Baubau memberitakan kejadian pembunuhan seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi kesehatan di Kota Semerbak. Pelakunya adalah Sang mantan pacar, yang juga adalah seorang mahasiswa dari perguruan tinggi terkemuka di Kota Baubau. Saya memang tidak sempat melihat langsung Sang korban saat tergeletak tanpa nyawa di Unit Gawat Darurat RSUD Kota Baubau. Karena saat itu saya memang tidak sedang bertugas. Tetapi sehari sesudahnya, seorang teman memperlihatkan foto mahasiswi itu kepada saya. Sadis!!! responku ketika melihat foto itu. Hanya sekian detik saya melihatnya. Bukan karena ngeri melihat luka sehingga saya memalingkan wajah dari foto itu. Saya hanya berpikir, bagaimana orang bisa setega itu mengakhiri nyawa seseorang dengan cara "memainkan" parang secara membabi buta. Nauudzubillah.... Dan... Tempat kejadiannya di Burukene. Desa kecil yang asri itu.
Cemburu... Kata inilah yang menjadi motif pembunuhan itu. Lewat salah satu koran lokal, seorang petinggi kepolisian menceritakan bahwa si pembunuh begitu cemburu ketika sang korban (mantan pacar) telah menjalin kasih dengan lelaki lain. Di Burukene, Ia mencoba mengajaknya "kembali". Sang korban menolak. Dan akhirnya peristiwa sadis inipun terjadi.
Mungkin ini yang di sebut dengan pembunuhan karena cinta. Tapi, apakah memang cinta bisa se ekstrim itu ya? Mampu membuat seseorang melakukan "kegilaan". Salim A Fillah dalam bukunya Jalan Cinta Para Pejuang, mengutip pernyataan Lauren Slater dalam Majalah National Geographic edisi Februari 2006. Dalam kajian yang mengangkat tema 'Love, The Chemical Reaction', Slater mengetengahkan keterkaitan antara cinta dengan kegilaan. Adakah hubungan antara cinta dengan kegilaan? Kata Slater: "Love and obsessive compulsive disorder could have a similar chemical profile." Artinya, demikian Slater menjelaskan setengah bercanda, mungkin sulit untuk membicarakan cinta dan penyakit mental secara terpisah.
Saya jadi teringat tentang "debat" saya dan teman waktu SMA dulu. Masing-masing dari kami mengartikan berbeda sebuah kalimat dalam bahasa Inggris: "I Miss you like crazy". Karena baru belajar bahasa Inggris, ada yang mengartikan kalimat ini dengan "Aku mencintaimu seperti orang gila", sedangkan yang lain mengartikannya dengan "Aku tergila-gila padamu". Tapi terlepas siapa yang benar dalam mengartikan kalimat ini, setidaknya keduanya "sepakat" menyandingkan ekspresi cinta dan kata gila dalam kalimat itu. Dan pastinya, hal ini mendukung pernyataan Slater di atas. Ya, cinta dan gila.
"Nah kita punya contoh". Kata Salim. "Cinta ala Qais yang menjadikannya gila (Majnun). Cinta ala romeo dan juliet yang membuat mereka bunuh diri. Cinta San Pek yang putus asa. Cinta Rara Mendut dan Pronocitro. Semua itu sulit untuk dikatakan bukan penyakit mental. Kesemuanya menggambarkan kegilaan, sesat pikir, dan keputusasaan dari kasih sayang yang lebih agung; kasih sayang Allah". Jelas Salim.
Kalau begitu, sekali lagi, apakah sebenarnya memang cintalah yang membuat semua kegilaan ini? "Kita menderita, bukan karena kita mencintai. Dan mungkin juga bukan karena cinta itu sendiri". Jelas Anis Matta dalam Serial Cinta. "Tapi karena kita meletakkan kebahagiaan kita pada cinta yang diterjemahkan sebagai kebersamaan". Dalam Cinta, Lanjut Anis, Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. "Kita mencintai seseorang lalu kita menggantungkan kebahagiaan kita pada sebuah kehidupan bersamanya. Maka ketika ia menolak, -atau tak beroleh kesempatan-, untuk hidup bersama kita, itu menjadi sumber kesengsaraan". Seolah-olah kalau tidak dengan si dia, dunia ini tidak ada artinya lagi.
Maka inilah yang dilakukan Sang pembunuh itu di Burukene. Ia menerjemahkan cintanya sebagai keharusan hidup bersama Sang korban. Kalau tak dapat hidup bersama, maka iapun tak boleh hidup bersama orang lain. Maka ia (Sang korban) harus mati, di situ, di desa yang asri itu. Ia membunuh kekasih hatinya bukan karena mencintai. Sang pembunuh melakukannya bukan karena cinta itu sendiri. Tapi karena meletakkan kebahagiaan pada cinta yang diterjemahkan secara salah.
Mungkin agak berat bagi sebagian orang jika ingin mengaktualisasikan kalimat "Mencintai tapi tak harus memiliki". Kayaknya agak berat. Tetapi lebih arif dan tentu saja elegan jika kita menempatkan cinta pada tempatnya. Pada jalurnya.
Dr. 'Aidh al-Qarni dalam bukunya La Tahzan, berujar: "Kebahagiaan seseorang akan semakin bertambah, berkembang, dan mengakar adalah manakala ia mampu mengabaikan semua hal sepele yang tak berguna. Karena, orang yang berambisi tinggi adalah yang lebih memilih akhirat.
Syahdan, seorang ulama memberi wasiat kepada saudaranya demikian, "Bawalah ambisimu itu ke satu arah saja, yakni bertemu dengan Allah, bahagia di akhirat, dan damai di sisi-Nya".
0 komentar:
Posting Komentar