Blog yang berisi catatan-catatan singkat dan sederhana. Mencoba menangkap dan menulis pesan bijak dari berbagai sumber.

About

Rabu, 07 November 2012

"Bhinci-bhinciki Kuli" Untuk Baubau Bebas Konflik

gambar: google
Beberapa waktu yang lalu, seorang remaja korban pengeroyokan masuk ke RSUD kota Baubau. Wajah dan seluruh tubuhnya tampak memar. Dan yang "mengerikan" adalah luka bekas sayatan pisau memanjang di atas pelipisnya. Darah mengucur deras dari luka itu, ;membasahi tubuh dan pakaiannya yang sobek dan bercampur debu. Ketika Saya bertanya bagaimana hal ini bisa terjadi, sambil menahan sakit lelaki muda ini menjawab, "Saya dikeroyok, wajah saya ditusuk pakai pisau, dan badanku dilindas pakai motor".
Terlepas dari siapa yang memulai atau bersalah dalam peristiwa ini, kejadian yang menimpa sang korban adalah satu diantara ribuan kejadian serupa di kota ini. Hampir tiap minggu, korban pengeroyokan maupun duel satu lawan satu yang tentu saja diwarnai dengan pemukulan atau penusukan serta pembacokan tergeletak di ruang Unit Gawat darurat. 
Saya punya pengalaman menarik saat menjahit luka seorang korban tebasan pedang. Jarinya nyaris putus. Ketika mulai menjahit, beberapa teman korban mengelilingi dan memperhatikan apa yang sedang saya kerjakan. Lucunya, sebagian dari mereka menyaksikan dengan mata yang memerah dan bau minuman keras keluar dari mulut mereka. Rupanya orang-orang ini sedang mabuk. Dalam pikiran saya, kemungkinan peristiwa ini dimulai dari acara jogged, kemudian diselingi dengan mabuk-mabukan dan diakhiri dengan adu jotos alias tawuran. Mengapa saya berpikir demikian? Karena berdasarkan pengalaman pada korban-korban sebelumnya, sebagian dari mereka yang saya tanyai menjelaskan demikian.
Sayapun pernah menyaksikan sekumpulan anak muda menyerang sebuah kampung di kota ini hanya gara-gara persoalan antar individu. Di tempat yang lain –masih di kota ini- sebuah pertandingan sepak bola nyaris berubah& menjadi tawuran antar kampung, walau beberapa orang telah menjadi korban pemukulan.
Dan kalau kita menoleh lagi lebih jauh ke belakang, dalam konteks Baubau, pada tahun 2001 kita pernah mengalami peristiwa konflik dalam skala yang lebih besar dari sekedar konflik antar individu. Konflik yang terjadi antara anggota masyarakat di dua kelurahan besar. Sebuah konflik komunal yang bisa jadi mencoreng dan memberi tinta merah dalam sejarah kota semerbak yang telah sekian lama hidup harmonis dalam keteraturan. 
Tentu kita semua berharap, segala peristiwa-peristiwa seperti ini bisa diminimalisir bahkan diredam agar tidak terulang kembali. 
Konflik memang senantiasa "menemani" dalam keseharian kita. Namun, reaksi dan respon seseorang terhadap konflik yang terjadi menunjukkan jati diri orang tersebut. Jika konflik yang terjadi ditanggapi dan berakhir destruktif (negative), maka kita memiliki jati diri atau identitas yang bermasalah. 
Demikian juga sebaliknya, jika reaksi dan respon kita baik dan konstruktif (positif), maka jati diri kita adalah jati diri atau identitas yang baik. Ia semacam cahaya yang menerangi kehidupan manusia. Orang dengan jati diri positif memiliki Kharisma yang luar biasa. Kharismanya terbentuk dari gabungan wibawa dan pesona, ilmu dan akhlaq, pikiran dan tekad, keluasan wawasan dan kelapangan dada.
Sesungguhnya, budaya buton membuat rancangan khusus bagi kita, semacam model manusia yang mampu menghadirkan jati diri yang baik. Namun, dengan melihat beberapa fenomena hadirnya respon yang destruktif dari sebagian kita, maka kita patut bersedih. Tapi paling tidak, yang perlu kita lakukan sekarang ini, sebagai orang Baubau –khususnya-, adalah muhasabah massal alias introspeksi diri massal. Kita perlu melihat dan memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi padi diri kita.
Mengapa kita perlu muhasabah massal? Sederhananya adalah agar kita mampu meramu sekaligus menemukan kembali rumus cita rasa berkehidupan yang harmonis, dan damai. Budaya kita mengajarkan untuk menjunjung harkat dan martabat manusia. Tetapi kadang kita lupa, Barangkali egoisme dan ketidakdewasaan telah menguasai dan merabunkan mata kita tentang hakikat kehidupan. Dan pula telah merenggangkan kita dari kearifan local yang luar biasa. 
Membumikan kembali kerifan local kita tentang kaidah kehidupan yang elegan adalah salah satu cara mengahadirkan cita rasa itu. Karena sejarah dan budaya kita telah mengajarkan dan membuktikan kepada kita tentang hidup yang damai dan harmonis.
Orang Baubau khususnya, dan Buton secara umum, memiliki falsafah hidup bersama, yang dikenal dengan "bhincibhinciki kuli". Ia mengandung makna yang hakiki dan universal, yakni setiap orang bila mencubit kulitnya sendiri akan terasa sakit; karena itu janganlah mencoba mencubit orang lain karena akan merasa sakit pula. Semacam pepatah, "Sayangilah orang lain, sebagaimana engkau menyayangi dirimu sendiri."
Bhincibhinciki kuli tersebut dibagi atas 4 (empat) dasar pemahaman yakni: (1) pomae maeka (saling takut melanggar hak asasi orang lain), (2) po maa maasiaka (saling menyayangi), (3) po pia piara (saling memelihara), (4) po angka angkataka (saling menghormati dan menghargai jasa sesama kita).
Falsafah ini pada keempat kandungannya menganut dasar hukum kekerabatan dalam arti berasaskan kehidupan kekeluargaan, kebersamaan, seperasaan dan sepenaggungan.
Kandungan falsafah ini juga mengajarkan sebuah kehidupan social yang lebih harmonis, ketentraman, saling menghargai dan toleransi. Falsafah ini kemudian memiliki daya tahan yang cukup kuat bagi masyarakat kita kala itu.
Karena Bhincibhinciki kuli adalah dasar kehidupan dan ciri budaya kita, marilah kita membumikan kembali dasar falsafah ini. Mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata kita, sehingga menjadi salah satu solusi untuk Baubau yang damai. Bhincibhinciki Kuli tidak sekedar dasar kehidupan dan ciri budaya, ia juga merupakan identitas kemanusiaan.
Dan syair woliopun mengalun, berdendang tentang mulianya orang yang menjunjungi dentitas kemanusiaan ini:
Aposalamo amembalimo kancia, Tabeanamo pakea motopenena, Momuliana incana dunia si, Tea toangga naile i-akherati (Berbeda dengan awalnyaKecuali pakaian yang teramat baikYang mulia di dunia iniYang terhormat esok di akherat).
Nama angu kabarina tangkanapo, Ise kaea jua akalo-alo, Talu kaea apake okasi, Lima piara, anaka oincafu (Enam banyaknya hanya ituSatu malu, dua segan, Tiga takut, empat kasih sayangLima piara, enam insyaf).
Konflik memang memiliki pengertian yang bermacam-macam, tergantung latar belakang dan perspektif yang dipakai. Tetapi para ahli menyimpulkan bahwa konflik disebabkan kerena terjadi disharmoni antara elemenelemen yang ada, baik dalam skala individu maupun kelompok.
Dan biasanya, pada kondisi masyarakat yang sangat multicultural dan beragam, kecurigaan satu etnis atau kelompok terhadap etnis atau kelompok lainnya sangat besar, yang akhirnya berujung pada meledaknya konflik. 
Namun demikian, sebenarnya dalam konteks kita sebagai orang Buton, ada fakta berbeda yang ditampilkan oleh daerah ini di masa lampau. Hampir dalam setiap naskah ataupun cerita-cerita (tula-tula) sangat jarang ditemukan atau mendengar adanya pertikaian atau konflik social yang melibatkan antar etnis. 
Hal ini dikarenakan adanya system nilai dan filosofi yang dianut oleh orang-orang tua dahulu. Kemudian senantiasa diwariskan ke setiap generasi untuk hidup berdampingan dengan baik. Nilai dan filosofi yang mengajarkan kita menyayangi sesama insan, baik level antar individu, kelompok, masyarakat maupun konteks yang lebih luas yaitu antar peradaban. Inilah Bhincibhinciki Kuli untuk Baubau aman dan damai.
***

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More