Blog yang berisi catatan-catatan singkat dan sederhana. Mencoba menangkap dan menulis pesan bijak dari berbagai sumber.

About

Rabu, 07 November 2012

Energi Alam Semesta, Gelombang Elektro Magnetik & Pemimpin Baubau


gambar: google
Tahun 2008 yang lalu, M. Mufti Mubarok yang saat itu sedang menyelesaikan Program Doktor Ekonomi Politik di UNAIR menerbitkan sebuah buku yang berjudul 'Indonesia Tak Butuh Presiden'. Menariknya, dalam buku setebal 149 halaman tersebut, tokoh muda ini "menyempilkan" bahasan tentang Presiden Terpilih dan Fenomena alam yang menolak.

Menurut tokoh muda yang juga Penulis puluhan buku politik Best Seller ini, hampir dapat dipastikan momentum terpilih maupun saat kejatuhan seorang presiden, nyaris selalu diiringi munculnya berbagai bencana alam yang datang silih berganti. Fenomena alam ini seakan menunjukkan adanya resistensi (penolakan) bumi Indonesia terhadap kehadiran sosok presidennya, yang kebijakan maupun profil pribadinya dinilai tidak berpihak pada rakyat. Dengan kata lain, restu ;alam khatilistiwa seakan merefleksikan penolakan terhadap figure seorang presiden terpilih tersebut.

Mubarok menyajikan beberapa bukti sejarah yang menunjukkan fenomena penolakan alam ini berkait dengan karekter pribadi maupun corak kepemimpinan para presiden dari masa ke masa; Era presiden RI ke-1, Ir. Soekarno (datang musim paceklik dan busung lapar), Suharto (meletusnya pemberontakan G30S PKI), Habibie (lepasnya Timtim, Sipadan dan Ligitan), Abdurrahman Wahid (perang antar etnis), Susilo Bambang Yudhoyono (ditengarai dengan badai Tsunami Aceh, gempa Jabar dan Yogyakarta, Lapindo, banjir Jakarta serta gempa di Bengkulu).

Semua bencana tersebut –khususnya bencana alam- tentunya menimbulkan luka mendalam. Bayangkan, ratusan ribu jiwa meregang nyawa. Sarana dan prasarana luluh lantak. Kondisi lingkunganpun babak belur. Menurut hitungan, kerugian materiil dan kerusakan lingkungan ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah. Hingga kini, lanjut Mubarok, akal manusia belum bisa menjelaskan dengan pasti mengapa frekuensi bencana alam itu terus meningkat. Lalu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi fenomena alam yang tidak pasti datangnya itu? Tanya Mubarok.

Akhirnya Mubarok berujar, "Indonesia harus memiliki presiden yang 'ramah' lingkungan. Yakni, presiden yang bisa 'diterima' alam Indonesia, juga yang unsurnya menurut hukum kauniyah maupun hukum kauliyah, tidak bertentangan dengan alam khatulistiwa yang kita tempati ini. Tanpa memilih presiden macam itu, maka sangat dimungkinkan korban akibat bencana alam akan kembali berulang."

Barangkali diantara para pembaca sekalian ada yang tidak sepakat dengan catatan Mubarok. Atau juga bahkan para pembaca sekalian punya pendapat sendiri terhadap masalah ini. Akan tetapi, mari terlebih dahulu kita melihat bersama permasalahan lingkungan hidup terutama tentang global warming di negara kita saat ini, dan bagaimana lingkungan (kearifan ekologis) berespon terhadap perilaku manusia berdasarkan temuan-temuan ilmiah yang ada.

Ditolak atau diterimanya seorang pemimpin oleh alam, persoalan lingkungan yang kini sedang menimpa kita harus segera diselesaikan. Karena begitu banyaknya persoalan lingkungan yang sering kita hadapi seperti pembakaran dan pembalakan hutan. Akibat pembakaran dan pembalakan hutan, daerah aliran sungai sudah tidak mampu lagi menahan air dan tanah tidak lagi menyerap air. Karena tak ada pohon yang mampu menyangga tanah dan tak ada lagi yang menghalangi tanah untuk bergerak mengikuti aliran air, terjadilah tanah longsor. Belum lagi persoalan lingkungan yang diakibatkan polusi air dan limbah industry dan pertambangan, polusi udara didaerah perkotaan (akibat asap dan kabut dari kebakaran hutan, pembangunan perumahan elit di lahan pertanian), penghancuran terumbu karang, tumpahan minyak di laut, pembuangan sampah B3/radio aktif dari negara maju, pembuangan sampah tanpa emisahan dan pengolahan, dan semburan lumpur (seperti di Sidoarjo, Jawa Timur).

Usaha untuk itu, perlu ditumbuhkan sikap bersahabat dengan alam. Ajakan ini bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Kita tidak butuh waktu lama untuk mempelajari dan mempraktikkannya. Yang kita perlukan adalah sikap rendah hati untuk tidak mengeksploitasi alam sekadar untuk menghidupi diri, keluarga sendiri, dan dinikmati sampai tujuh turunan. Selanjutnya, kemauan bekerja untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup, dan kesediaan mendidik diri untuk tidak bekerja mati-matian menguras seluruh kekayaan alam. Maka benarlah apa yang diungkapakan oleh Dr. David Suzuki, sebagaimana dikutip oleh Martonis Toni dalam bukunya 'Nyala Satu Tumbuh Seribu, "Kita adalah generasi terakhir yang bisa berbuat sesuatu untuk planet ini karena setelah masa kehidupan kita, planet ini tidak akan ada."

Pemimpin yang peduli pada keberlangsungan hidup bumi akan tampak sikap pedulinya dalam perilaku sehari-hari. Misalnya, ketika ia menemukan biji buah di tepi jalan, ia mengambil dan menanamnya di halaman rumah atau kantor. Dengan perawatan tertentu, biji itu kelak menjadi pohon yang besar; daunnya rindang dan menyebar ke jalan; buahnya lebat sehingga setiap orang yang melewati jalan itu merasakan manfaatnya.

Kearifan ekologis akhir-akhir ini sangat dibutuhkan karena dampak teknologi yang diciptakan manusia justru membuat planet bumi ini mengalami pemanasan global dan merugikan orang banyak. Kearifan ekologis ini juga harus ditanamkan pada diri pemimpin dan kebijakan terkait agar memiliki dampak positif bagi keberlanjutan pembangunan kehidupan (sustainable development).

Adalah air, sumber kearifan ekologis. Temuan mutakhir Dr. Masaru Emoto mengenai air, ternyata air dapat merespons pikiran dan perasaan manusia. Air membalas keindahan "cinta" dan "syukur" yang kita sampaikan, dengan cara yang menakjubkan. Tapi air yang sama dapat pula memantulkan "kebencian" dan "kekerasan" yang kita lakukan.

Dalam laporan eksperimennya, Dr. Emoto menulis bahwa bersama sejumlah tim peneliti, ia telah melakukan sejumlah eksperimen menarik dengan mengekspos air terhadap music, bahasa yang berbeda dan symbol. Terkait penelitian ini, Rijalul Imam berkomentar, "Dengan hasil eksperimen-eksperimen ini, kami bisa mengambil hipotesa bahwa pesan-pesan dapat dikirimkan melalui 'bentuk' seperti kata-kata dan gambar-gambar. Kami tidak menduga bahwa Kristal air bisa menunjukkan perubahan yang dramatis dan jelas. Kami menjadi lebih menyadari bahwa air menyimpan dan mengirim sejumlah pesan untuk kita."

Baik music, bahasa yang berbeda, maupun simbol, dapat direspons oleh air dengan menampilkan Kristal-kristal sesuai yang diinginkan music, bahasa, dan symbol tersebut. Bila music, bahasa, dan symbol tersebut mengirim energy positif maka kristal yang terbentuk oleh air secara otomatis akan indah. Begitupula sebaliknya.

Dalam bukunya yang berjudul Super Health, Ega Zainur Ramadhani sedikit banyak menjelaskan kepada kita semua tentang penelitian Emoto tersebut.Kata Ega, Emoto melakukan percobaan dengan membacakan suatu kata atau memberi perlakukan terhadap sebotol air murni. Kemudian diambil beberapa tetes dengan pipet dan ditaruh pada piring petri untuk wadah penelitian. Selanjutnya dimasukkan kedalam alat pendingin dengan suhu sampai -25 derajat celcius.

Setelah air berubah menjadi Es, air Kristal diteliti dibawah mikroskop pada suhu ruangan 5 derajat celcius. Dalam proses melelehnya air Es karena suhu ruangan, Dr. Masaru Emoto memotret proses tersebut. Kristal air dapat dilihat pada saat kepingan Es meleleh. Hasilnya sebagai berikut:
(a). Kata "arigato" (terima kasih), terbentuk Kristal segi enam yang indah. (b). Kata "setan", Kristal berbentuk buruk. (c). Diputarkan simfoni Mozart, Kristal muncul berbentuk bunga. (d). Diperdengarkan music heavy metal, Kristal hancur. (e). 500 orang berkonsentrasi memusatkan pesan "peace", Kristal air mengembang bercabang-cabang dengan indahnya. (f). Dibacakan doa Islam, terbentuk Kristal bersegi enam (heksagonal) dengan lima cabang daun muncul berkilauan.

Dr. Masaru Emoto kemudian menyimpulkan bahwa air bersifat bisa merekam pesan, seperti pita magnetic atau compact disk. Semakin kuat konsentrasi pemberi pesan, semakin dalam pesan tercetak di air.

Eksperimen lain yang dilakukan oleh Emoto sebagaimana dipaparkan oleh Rijalul Imam dalam bukunya "Quantum Leadership of King Sulaiman" adalah meletakkan air suling disamping laptop, handphone, dan televisi dalam interval waktu tertentu. Hasilnya, ternyata Kristal air tersebut hancur. Hal ini menunjukkan bahwa airpun tidak kuasa atas gelombang elektromagnetik. Padahal, di zaman sekarang planet bumi ini telah mengalami polusi gelombang elektromagnetik yang tak terhindarkan.

Lalu Emotopun melakukan eksperimen pada air yang sama dengan benda-benda yang sama dalam interval waktu yang sama. tetapi air tersebut ditulisi terlebih dahulu dengan ungkapan cinta dan terima kasih. Hasilnya, cukup menakjubkan. Setelah air itu dilihat oleh mikroskop electron, air tersebut menampilkan Kristal yang indah. Emoto menyimpulkan bahwa air yang diberi energy positif oleh pikiran dan perasaan manusia akan tahan dari polusi gelombang elektromagnetik.

Menarik setelah itu, Emoto meyarankan agar sebelum menggunakan handphone, laptop dan televisi, terlebih dahulu pikiran dan perasaaan harus positif dan bersih. angan niatkan melihat hal-hal yang negative, seperti pornografi dan kekerasan, sebab akan merusak air hado dalam tubuh kita. Begitupula ketika menerima telepon genggam sebaiknya dibuka dengan kalimat positif dan diakhiri dengan kalimat positif agar air hado tubuh terlindungi dari gelombang elektromagnetik yang berpotensi merusak. Terakhir, katanya bila hendak mengakhiri pembicaraan di handphone hendaklah mengakhiri dengan positif pula. Dan sebaiknya jika kita ingin menyampaikan berita sedih, menjauhlah dari benda-benda yang aktif gelombang elektromagnetiknya karena air tubuh kita sedang turut sedih juga.

Fenomena air dan ucapan positif dari pikiran dan perasaan manusia ini menunjukkan bahwa air merupakan energy cerdas yang merespons secara otomatis. Air sangat paham dengan perasaan dan pikiran manusia, apapun bahasanya, sebab pada hakikatnya pikiran dan perasaan itu merupakan energy aktif yang memancar dan mempengaruhi.

Dari fenomena ini, pesan utama yang harus terbangun dalam diri kita selaku pemimpin, adalah agar kita bersyukur dengan cara meletakkan sesuatu pada tempatnya dan memanfaatkan sesuatu untuk kebaikan.

Tekait dengan fenomena alam ini, saya punya pengalaman menarik. Pada tahun 2006 lalu, saya bersama tim recovery bencana alam yang lain, pernah ditugaskan untuk membantu menolong korban gempa dan tsunami di dua tempat, yaitu di Pangandaran Jawa Barat dan Yogyakarta. Yogyakarta –khususnya kabupaten Bantul- luluh lantak, sedangkan pesisir pangandaran 'bersih' disapu tsunami. Saat bercakap dengan penduduk setempat, saya mendapatkan informasi bahwa ternyata dipesisir pangandaran yang diterjang tsunami berdiri lapak-lapak maksiat alias warung remang-remang. Pun di Bantul Yogyakarta, dimana terdapat pantai Parang Tritis yang konon menjadi tempat bermukimnya Nyi Roro Kidul alias Ratu Pantai selatan, dipesisirnya juga sering terjadi aktivitas maksiat. Di malam sebelum terjadinya gempa dan tsunami di Aceh, sebuah majalah nasional pernah mengungkapkan bahwa disuatu tempat dipesisir pantai yang di sapu tsunami, sekolompok orang melakukan aktivitas menari telanjang.

Apakah alam menjadi marah yang kemudian ditunjukkannya dalam bentuk gempa dan tsunami? Walupun saya belum menemukan literature hasil penelitian yang menyebutkan langsung kaitan antara dendam, pikiran negative, dan kemaksiatan dengan terjadinya gempa bumi dan tsunami, tetapi paling tidak, temuan Dr. Masaru Emoto tentang respon air dalam tubuh maupun air dilingkungan kita terhadap perilaku manusia sedikit memberi setitik cahaya terhadap pertanyaan ini. Walaupun juga kita ketahui bersama bahwa tsunami adalah air itu sendiri. Akan tetapi, hal yang tidak terbantahkan adalah bahwa kerusakan alam atau lingkungan adalah akibat ulah manusia.

Kembali pada persolan kepemimpinan, paling tidak, jika kita merujuk pada kajian yang dilakukan oleh Mufti Mubarok di awal opini ini, kita akan menemukan bahwa fenomena alam ini seakan menunjukkan adanya resistensi (penolakan) terhadap kehadiran sosok pemimpinnya, yang kebijakan maupun profil pribadinya dinilai tidak berpihak pada rakyat. Dengan kata lain, restu alam khatulistiwa seakan merefleksikan penolakan terhadap figure seorang pemimpin terpilih tersebut. Artinya adalah jika pemimpinnya bersih, ikhlas, track recordnya bagus, bersih dari dendam, tidak melakukan maksiat dan ribuan kebaikan lainnya maka alam akan menerimanya dengan baik. Walau sebenarnya hal ini juga tidak hanya berlaku bagi seorang pemimpin negara/daerah saja, tetapi juga berlaku bagi setiap individu yang pada prinsipnya juga adalah seorang pemimpin.

Tentu yang paling kita harapkan dari ini semua adalah munculnya pemimpin yang berjiwa bersih, yang kehadirannya direspon dengan baik oleh alam, tetapi pada saat yang bersamaan juga mampu menyelesaikan masalah lingkungan yang sedang menyelubungi kehidupan kita. Karena pemimpin yang tidak direspon baik oleh alam dan pemimpin yang tidak berespon baik kepada alam sama-sama akan membahayakan kita. Dan lebih dari itu adalah masyarakat bisa hidup "nyaman" dilingkungannya. Kita berdo'a agar Kota kita tercinta ini (Baubau) sekarang dan selanjutnya akan selalu dianugerahi dengan pemimpin yang baik.
***


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More