![]() |
gambar: png download.id |
Hawai, 7 Desember 1941, menjadi saksi, penyerbuan tentara Jepang atas Pearl Harbor (pangkalan angkatan laut AS) yang menenggelamkan sedikitnya 21 kapal perang, menghancurkan 200 pesawat tempur, dan menewaskan sekitar 3000 personil Angkatan Laut Amerika Serikat. Peristiwa ini semakin memperlebar front perang dunia II, setelah dua tahun sebelumnya, tepatnya tahun 1939, Jerman menginvasi Polandia yang menandai awal mula meletusnya perang paling tragis dalam sejarah.
Salim A Fillah, dalam tulisannya berjudul Teluk Mutiara menjelaskan bahwa Laksamana Isoroku Yamamoto, inisiator penyerbuan gemilang itu, telah menunjukkan kepada kita tentang nilai penting warisan leluhur. Jika kita perhatikan, rudal-rudal torpedik Jepang yang menghancurkan kapal-kapal Amerika itu, ternyata didesain untuk mengambang di dekat permukaan begitu dijatuhkan dari pesawat tempur ke lautan.
Artinya, pesawat tempur Jepang tidak menjatuhkan bom di atas kapal hingga mudah menjadi sasaran tembak meriam anti-pesawat AS. Mereka cukup menjatuhkan rudal torpedik dengan arah yang tepat dari kejauhan, dan rudal itu akan meluncur di permukaan air lalu menghantam tepat di lambung kapal. Dan ternyata, dengan menggunakan kayu dan bambu yang di desain sedemikian rupa, rudal-rudal tersebut bisa mengambang.
Memakai kayu dan bambu adalah salah satu nilai tradisi Jepang. Seperti kita ketahui bersama, bangsa Jepang dikenal dengan komitmennya pada warisan nenek moyang. Tetapi Jepang harus melalui perang dunia II dengan kepahitan terlebih dahulu untuk bisa sedikit memilah mana warisan leluhur yang dihidupkan, dan mana yang tidak.
Kaisar Hirohito merasa, bahwa titik tolak politik ekspansif yang membawa Jepang pada kesengsaraan itu adalah anggapan rakyat dan para prajurit Jepang bahwa dirinya Sang Tenno, merupakan turunan langsung Amaterasu Omikami, dewa matahari.
Dengan asumsi itulah, para prajurit Jepang tega membumihanguskan banyak negeribahkan dengan kamikaze karena merasa sedang memberikan pengabdian tertinggi, dan membawa tugas suci menebarkan cahaya Sang Matahari ke seluruh penjuru bumi. Betapa mengerikan! Maka dengan bijak, pada tanggal 1 Januari 1946, Kaisar Hirohito mengumumkan dengan tegas bahwa dirinya adalah manusia biasa yang sama sekali tidak bersangkiut paut dengan kedewaan.
Hirohito telah sukses mematahkan salah satu tradisi nenek moyangnya yang membahayakan.
Dan akhirnya, bertahun-tahun kemudian pasca peristiwa bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima, Jepang menjelma menjadi salah satu negara maju dengan akar budaya yang kuat.
Bangsa Jepang dan bangsabangsa lainnya di dunia, termasuk kita di Buton adalah adalah ”makhluq historis”, kata Anton Bakker. Yang berkembang berdasarkan pengalaman dan pikiran bersama lingkungan dan zamannya. Bila perkembangan itu bersifat positif, maka warisan masa lalu akan membentuk karakter masa kini yang lebih baik dan menentukan masa depan yang dicitacitakan.
Dengan demikian, kita dapat mengembangkan kapasitas belajar untuk membentuk identitas genuin sebagai bangsa merdeka dan berdaulat penuh. Yakni, kemampuan untuk mempelajari perkara yang dibutuhkan di masa kini (learning how to learn), dan mempelajari perkara yang harus ditinggalkan dari masa lalu (lerning how to unlearn), dan mempelajari perkara yang diperlukan untuk merancang masa depan (learning how to relearn).
Proses belajar yang dinamik dan bersifat sistemik itu akan membuat kita lebih obyektif dengan warisan sejarah manapun, tidak lagi sekedar menyesali dan mencaci-maki sejarah karena menimbulkan luka yang dalam, atau sebaliknya juga tidak memuji-muji dan membanggabanggakan masa lalu tanpa sikap kritis.
Nilai-nilai Budaya Buton
Manusia sebagai ”makhluq budaya” dibentuk oleh nilai dan simbol yang diyakininya, dan memiliki kemampuan untuk memberi makna serta penafsiran atas kehidupan yang dijalaninya.
Manusia Indonesia juga dipengaruhi lingkungan fisik dan demografis, serta nilai yang diwarisi dari zaman ke zaman. Pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha, dilanjutkan dengan kebudayaan Islam dan Barat, saling berinteraksi dengan nilai-nilai lokal. Pergulatan nilai itu membentuk karakter manusia Indonesia yang bergerak dinamik. Karena itu kita perlu menelaah karakter manusia Indonesia secara jujur dari sisi positif maupun negatifnya, lalu meramu suatu perpaduan nilai yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman di masa kini dan mendatang.
Mochtar Lubis, salah seorang budayawan, mengungkapkan karakter asli manusia Indonesia sebagai bentuk pertanggung jawaban intelektualnya. Lubis membeberkan sejumlah ciri negatif (misalnya: sifat munafik, enggan bertanggungjawab, feodalistik, percaya takhayul, berwatak lemah, boros, malas, suka menggerutu, cepat cemburu, mengambil jalan pintas, mabuk kuasa, tukang tiru dll), disamping mengakui sifat positifnya (dekat dengan alam, artistik dan spiritualistik).
Sebagai masyarakat Buton, selain menguliti manusia Indonesia secara obyektif, kita perlu melacak dimensi lokal dari identitas kemanusiaan yang tercermin dari budaya kita.
Menurut Dr. Tasrifin Tahara, secara harfiah, kata ’Buton’ memiliki banyak arti. Pertama, ’Buton’ berarti ’Pulau Buton’, yang terletak di Semenanjung Sulawesi Tenggara. Kedua, ’Buton’ secara wilayah yang terdiri atas beberapa bagian selatan Pulau Buton, dan bagian selatan pulau Muna, Kepulauan Tukang Besi, Pulau Kabaena dan beberapa pulau kecil, dan sebagian dari semenanjung Sulawesi Tenggara. Dahulu, daerah-daerah tersebut berada dibawah kakuasaan Kesultanan Buton, yang berpusat di Keraton Wolio.
Tidak ada bahasa pemersatu untuk masyarakat Buton (selain bahasa Indonesia) dan orang-orang Buton menggunakan lebih dari 14 bahasa.
Masih menurut Doktor bidang antropologi ini, sebagai suatu wilayah bekas kesultanan, Buton, sudah pasti banyak memiliki nilai-nilai budaya yang sampai saat ini masih membekas dalam memori kolektif masyarakat Buton.
Nilai-nilai budaya Buton yang bersumber dari falsafah bhincibhinciki kuli yang mengandung makna yang hakiki dan universal yakni setiap orang bila mencubit dirinya sendiri akan terasa sakit; karena itu janganlah mencoba mencubit orang lain sebab iapun merasa sakit, dan karena itu kemungkinan besar akan menimbulkan reaksi yang sama, ia akan membalas mencubit kulit anda.
Falsafah dasar bhincibhinciki kuli mengandung empat nilai yang menjadi pedoman masyarakat Buton dalam berperilaku sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Keempat nilai tersebut yakni: (1) pomae maeka (saling takut melanggar hak asasi orang lain), (2) po maa maasiaka (saling menyayangi), (3) po pia piara (saling memelihara), (4) po angka angkataka (saling menghormati dan menghargai jasa sesama kita).
Idealnya nilai-nilai budaya itu akan menjadi pedoman bagi tindakan masyarakat Buton.
Nilai-nilai budaya itu merupakan Blueprint yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup manusia, Ia menjadi pedoman dalam tingkah laku.
Titik Temu
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya Buton, tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Inilah yang kemudian kita sebut sebagai globalisasi.
Globalisasi merupakan fenomena multidimensional yang tak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia dewasa ini. Sesungguhnya globalisasi tidak lain merupakan sebuah proses dalam kehidupan umat manusia menuju masyarakat yang meliputi seluruh bola dunia.
Dampaknya adalah bukan mustahil kalau di Kota Baubau khususnya sebagai pusat Kesultanan Buton akan terkena virus globalisasi yang berdampak pada perubahan sosial budaya.
Oleh karena itu, perubahan secara terus menerus ini menuntut perlunya penguatanpenguatan terhadap kearifan lokal agar masyarakat Buton bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tetapi tetap mempertahankan tradisi leluhur.
Namun, suka atau tidak, laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini ternyata menuntut kualifikasikualifikasi baru yang harus dipenuhi oleh setiap orang. Jika kualifikasi ini tidak segera dipenuhi, maka kita akan semakin jauh ketinggalan.
Biasanya, dunia kampus menjawabnya dengan cara memperkaya kurikulum yang ada dengan kompetensikompetensi tambahan, sekaligus menghadirkan kreatifitas baru dalam metode pembelajaran. Maka, lahirlah apa yang dikenal sekarang sebagai kurikulum berbasis kompetensi.
Pekerjaan rumah kita sekarang adalah bagaimana mempertemukan kualifikasikualifikasi tersebut dengan nila-nilai budaya lokal kita, dalam hal ini adalah budaya Buton.
Jika kita membicarakan bangsa Jepang, biasanya kata yang keluar dari lisan kita adalah disiplin, tepat waktu, profesional, semangat kerja tinggi, kualitas, dll. Kenapa? Singkatnya adalah karena itu sudah menjadi trade mark mereka.
Nah, sekarang, kalau kita berbicara tentang Buton, bisanya apa yang muncul dalam benak dan lisan kita? Biasanya yang sering muncul adalah aspal, benteng keraton, masjid agung, atau yang lainnya yang kebanyakan bersifat materil.
Tetapi jarang muncul kalimat disiplin, tepat waktu, profesional, semangat kerja tinggi, kualitas. Karena hal tersebut belum melekat sebagai atribut orang Buton.
Sekali lagi, jika orang melihat Jepang, akan sampai pada kesimpulan bahwa itu semua berasal dari budayanya.
Salah satu trend global yang harus dimiliki oleh setiap orang adalah pemenuhan Soft Skill. Yaitu pembangunan mentalitas manusia yang luar biasa. Yang bila dijabarkan secara sederhana, memuat; Kreatifitas, vitalitas, semangat kerja, kepemimpinan, berjiwa besar, percaya diri, tanggung jawab dan seabrek pesona keindahan spiritual dan emosional manusia.
Jika kita menggali budaya Buton, ternyata semua hal tersebut merupakan khazanah budaya kita. Budaya kita ternyata mengajarkan semua hal itu.
Belajar dari bangsa Jepang, maka yang harus kita lakukan adalah bagaimana mengaplikasikan Budaya kita tersebut dalam sertap aktivitas dan interaksi kita sehingga ketika orang berbicara tentang sumber daya manusia dari buton, orang akan berbicara tentang mentalitas luar biasa, kedisiplinan, karakter, kepemimpinan, dll.
Mari kita mulai! Khusus bagi para pemuda, harus memiliki kesadaran yang tinggi dan harus mengambil peran penting terhadap masalah ini.
Oleh karena itu, sekali lagi diperlukan kesadaran dan motovasi pada diri setiap pemuda Buton. Dan tugas kita bersama untuk menghadirkan momentum tersebut.
Quantum dan Momentum
Berbicara tentang kualifikasi global, pada saat yang sama kita juga akan berbicara tentang standarisasi. Trend yang sangat didambakan oleh perubahan yang cepat ini adalah terkait dengan quantum atau lompatan. Yaitu bagaimana orang mampu melakukan lompatan kualitas sehingga mampu berada diatas rata-rata orang kebanyakan. Dan yang paling penting dari itu semua adalah bagaimana menghadirkan orang diatas rata-rata ini dalam jumlah yang begitu banyak. Karenanya kita butuh momentum.
Dan formula Momentum diperlukan dalam kerangka menciptakan momentum baru menyingkap embun pagi menuju masa-masa produktivitas pemuda. Ada keyakinan bahwa momentum itu, selain ia hadir karena pergesekan realitas berbagai sejarah besar, juga sebenarnya momentum dapat diciptakan. Momentum apa pun yang ingin kita ciptakan, rumusannya sama. Dan ia harus mengikuti ketentuan umum, yakni massa dikali kecepatan.
Rijalul Imam menyebutnya sebagai Fisika Gerakan dan menyederhanakannya manjadi: m x v.
Rijal menerjemahkan rumusan fisika di atas ke dalam bahasa pergerakan sosial. Bahwa yang disebut dengan massa adalah masyarakat, umat, atau aktivis pergerakan itu sendiri.
Sedangkan kecepatan adalah upaya dan tindakan terjadinya berbagai akselerasi perubahan.
Mengikuti rumusan di atas, jika kita ingin menciptakan momentum, maka rumusnya adalah perbanyaklah kuantitas massa kita bersamaan dengan itu perbesarlah tingkat akselerasi kita dalam banyak hal.
Perlu diperhatikan.
Rumus Momentum bukanlah massa ditambah kecepatan melainkan dikalikan. Itu artinya, satuan kekuatan kita sebagai seorang pemuda bukan ditambah dengan satuan pemuda lainnya, melainkan seorang dan seorang lainnya—yang tentunya bukan dua orang—digandakan berlipat ganda dalam sebuah sistem pergerakan yang akseleratif. Maka dalam sebuah upaya perubahan terhadap pemuda, sistem pengkaderan perlu dirancang secara heroik (psikomotorik) , menjiwai hingga tingkat kesadaran yang tinggi (afektif), dan memantik daya pikir (kognitif) mereka pada persoalan dan kemampuannya menjadi problem solver, bukan sekedar problem speaker, atau malah problem maker.
Kerja-kerja ini juga tidak akan berhasil jika tidak ditopang dengan sistem gerakan yang terpadu di semua aspeknya, baik dari sisi tata keorganisasian, kecepatan menanggapi persoalan (tidak sekedar cepat bersikap), kemampuan menjaring relasi perubahan, dan daya dukung lainnya secara operasional.
Di atas itu semua, diperlukan kesadaran dan motivasi tinggi akan keberhasilan proyek ini.
Pengkaderan adalah kultur proyek/usaha, yang berarti pekerjaan mengkader adalah mentalitas kader dan orang/institusi (yang mengupayakan) itu sendiri. Masingmasing mereka adalah orang-orang pembelajar dan secara terbuka terbiasa menularkan kemampuannya pada yang lainnya. Mereka memiliki tradisi berguru pada orang-orang terbaik di zamannya, pada ustadznya, dosennya, kawan mahasiswa yang menjadi teladannya, pakar di bidangnya, organisasi kepemudaan, khazanah para ulama yang telah meninggalkan warisan ilmunya, bahkan teknologi, maupun kajian stratejik yang dimiliki Barat maupun Timur. Mereka pegiat di lapangan, kokoh secara akhlak dan valid secara konsepsional.
Rancangan usaha/upaya dengan spirit menuju pemuda dengan kualifikasi luar biasa adalah tantangan kita semua untuk menciptakan momentum baru pemuda di jazirah Buton. Seperti apakah bentuk konkritnya kelak, ia hanya akan dicapai bentuknya oleh rumusan tadi: kuantitas banyaknya pemudapemuda terbaik yang akseleratif dan progresif dalam mempelajari berbagai hal secara terpadu dan terinterkoneksi satu sama lainnya. Lebih dari itu mereka adalah orang-orang yang ketika diam duduk dengan tenang dan bergerak dengan semangat.
Memadukan Trend Global dengan Nilai-nilai Budaya Buton (Kompetensi)
Perubahan yang terjadi secara secara terus menerus akibat pengaruh globalisasi, menuntut perlunya strategi internalisasi tradisi budaya yang positif, termasuk formulasi kualifikasi pemuda Buton untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa meninggalkan warisan budaya Buton.
Untuk itu upaya internalisasai nilai-nilai budaya Buton harus dilakukan secara menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia, yakni aspek-aspek moral, akhlaq, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga dan perilaku.
Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life skill) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi pemuda untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. Dengan demikian pemuda Buton akan memiliki ketangguhan, kemandirian dan jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
Sekedar informasi, dalam SK Mendiknas No. 045/U/2002, dijelaskan bahwa kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.
Menurut saya, terdapat tujuh karakter khusus (berbasis trend global) yang harus dipenuhi agar tetap memiliki daya saing di era sekarang ini,:
1. Kokoh dan Mandiri
Kokoh yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah karakter pemuda yang memiliki kekuatan, kematangan dan kedewasaan secara spiritual, pemikiran/wawasan dan jasmani.
Inilah pemuda yang memiliki ketajaman spiritual, kebeningan dan kejernihan jiwa juga pemuda yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan, wawasan global dan kekuatan mengimplementasikan keilmuannya dalam realitas kehidupannya. Ini pulalah pemuda yang mampu tenang dan memiliki komitmen dalam kehidupan meskipun gelombang ujian silih berganti menghadangnya.
Dan seorang pemuda yang memiliki kebugaran dan kesehatan jasmani, sehingga mampu mengemban tanggung jawab dan senantiasa dinamis dan energik. Tanpa mengenal lelah, lesu dan loyo dalam merespon setiap upaya dalam menghadirkan hal-hal positif.
Hasan Al Banna, seorang Ulama Mesir dalam sebuah tulisannya secara eksplisit menginginkan pemuda yang memiliki kekokohan dan kemandirian untuk mengemban tanggung jawab, Beliau berkata: ”Kami menginginkan jiwa-jiwa yang hidup, kuat dan selalu muda. Hati yang baru yang senantiasa berkibar-kibar dan ruh yang selalu menggelora dan berobsesi untuk menuju cita-cita yang tinggi...”
Mandiri dalam tulisan ini adalah kemampuan seorang pemuda dalam melakukan pengembangan diri dan pembelajaran secara mandiri serta kemandirian dalam dimensi keuangan.
Seorang pemuda harus memiliki kemandirian dalam urusan keuangan. Ia tidak boleh bergantung dengan orang lain dalam masalah ini. Bagaimana dapat melakukan pengorbanan, jika tidak mandiri dalam masalah pembelajaran maupun keuangan. Bahkan tidak adanya kemandirian yang dimiliki pemuda dapat menjadi faktor ke-malasan.
2. Dinamis dan Kreatif
Ada beberapa pandangan tentang makna dinamis dan kreatif, salah satunya adalah kemampuan mental manusia untuk dapat melahirkan sesuatu yang unik, berbeda, orisinal, baru, indah, efisien, tepat sasaran dan tepat guna. Intinya adalah yakin dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru yang lebih baik untuk mengerjakan apa saja.
Dinamis dan kreatif adalah perpaduan antara kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual.
3. Spesialis dan Berwawasan Global
Dimasa kini dan di masa mendatang, tantangan kehidupan semakin berat. Salah satunya isu globalisasi yang sekarang ini melanda dunia. Globalisasi membuat dunia seakan-akan menjadi desa yang menyatu (global village). Informasi semakin cepat dapat diakses dan up to date, distribusi barang dan jasa menjadi tak terbatasi, manusia dan kebudayaannya semakin seragam, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin cepat berkembang, sehingga hal itu menimbulkan hal yang serius bagi pengembangan karakter.
Guna menghadap tangtangan era globalisasi tersebut, profil pemuda yang ingin dihadirkan adalah pemuda yang memiliki spesialisasi pada bidang tertentu dan berwawasan global. Dengan spesialisasi, diharapkan setiap pemuda fokus pada keahlian atau keterampilan tertentu, sehingga memiliki daya saing yang tinggi. Sebab tanpa spesialisasi akan sulit bagi pemuda untuk memiliki daya saing yang tinggi terhadap pihak lain yang saat ini semakin fokus dan terspesialisasi menggarap berbagai bidang kehidupan. Sedang berwawasan global diharapkan akan membuat pemuda tidak berpikiran sempit dan ’terkotak-kotak’, pada bidang tertentu sehingga melupakan kepaduan pemahaman terhadap ilmu dan pengembangan dunia kontemporer.
Hal ini nampaknya paradoks, sebab memadukan dalam satu kepribadian dua sifat yang berbeda, sifat yang semakin spesialis (khusus) dengan sifat yang semakin umum (luas). Namun hal ini sebenarnya tidak paradoks. Sebab yang satu (yakni spesialis) berada pada tataran aktifitas (amal), sedang yang satu lagi (yakni global) berada pada tataran pengetahuan (pemikiran).
4. Pengajar Produktif
Secara sederhana, Pengajar dapat diartikan sebagai orang yang melakukan tugas mendidik. Menumbuhkan sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan lain sampai menjadi sempurna. Dalam hal ini adalah pemuda yang memiliki kualifikasi pemberi teladan dan penyebar kebaikan di lingkungannya.
5. Kapasitas Organisasi
Berorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan secara kolektif dimana seorang pemuda memenuhi kualifikasi kedewasaan mental, manajemen dan kepemimpinan.
6. Pelopor Perubahan
Yang dimaksud dengan pelopor perubahan adalah sikap mental yang ofensif, senantiasa berada digarda terdepan dalam merespon setiap perubahan positif yang terjadi di masyarakat serta berusaha meminimalisir kejumudan, status quo dan perubahan negatif.
7. Ketokohan Sosial
Yang dimaksud dengan ketokohan sosial adalah pribadi atau individu yang jujur dan kredibel baik secara moral maupun intelektual, sehingga dirinya menjadi rujukan publik (public reference) dan menjadi tumpuan masyarakat untuk dimintakan saran dan solusi atas permasalahan mereka (problem solving). Ia pun menjadi contoh teladan dalam hal kepribadian, akhlaq, kebersihan dan kepedulian serta menjadi motor penggerak kesadaran politik masyarakat.
Ketokohan sosial dapat dilahirkan dan ditumbuhkan oleh faktor dominan yang dimiliki oleh seseorang, seperti faktor keilmuan, ekonomi, politik dan genelogis (nasab).
Inilah tujuh karakter yang harus dibangun pada diri setiap pemuda, jika ingin memenangkan persaingan dimasa depan.
Belajar dari bangsa Jepang, nilai-nilai tradisi budaya Buton yang positif harus menjadi bagian dari kualifikasi dari para pemuda Buton.
Tanggal 27 April adalah hari jadi Provinsi Sulawesi Tenggara. Bertambahnya usia, harus dibarengi dengan evaluasi yang ketat. Salah satunya adalah bagaimana setiap stakeholder di provinsi ini khususnya di Kota Baubau mampu memberikan peran optimal bagi kemajuan provinsi ini di masa mendatang.
Dan yang paling penting dari itu semua adalah semoga acara hari ulang tahun provinsi yang dilaksanakan di kota semerbak ini menjadi momentum bagi setiap kita terutama pemuda Buton untuk memenuhi segenap kompetensi yang dibutuhkan di era global ini, dan pada saat yang sama menjadikan tradisi nilai-nilai Budaya Buton sebagai ke-khasan kita yang kemudian akan menjadi Model kita dalam bersaing di dunia global dan lebih khusus adalah untuk mewujudkan provinsi kita yang adil, makmur dan sejahtera.
***
0 komentar:
Posting Komentar