![]() |
gambar: pngdownload.com |
“Bersisik bukannya ikan, berpayung bukannya raja.” Apakah itu? Ya,
tepat sekali, itulah nanas. Buah yang banyak tumbuh di Buton. Karenanya
wilayah ini menjadikan buah tersebut sebagai iconnya. Oh iya, selain
nanas, naga juga menjadi simbol untuk masyarakat yang berbudaya maritim
ini.
Akan tetapi, buah yang biasa terpajang di atas bumbungan
rumah tradisional ini sekaligus juga menggambarkan watak orang-orangnya.
Diantara keunikannya adalah ia memiliki kulit luar yang kasar, tapi
lembut daging buahnya. Begitupula manusia yang lahir di negri seribu
benteng ini, diantara keunikannya adalah terlihat agak kasar, tapi
sesungguhnya memiliki hati yang lembut.
Suatu hari, dengan
mengendarai roda dua, Saya dan istri menyusuri dan menikmati indahnya
pemandangan pantai Kotamara Baubau. Istriku mengenakan jilbab besar, dan
tanpa disadari, ujung kerudungnya nyaris masuk ke rantai motor.
Seorang ibu yang juga mengendarai roda dua, tiba-tiba berteriak dari
arah belakang: “Hei, jilbabmu (akan) masuk ke rantai.” Tapi itu bukan
teriakan biasa, namun sebuah bentakan keras. Kami berdua kaget, dan
istri Saya segera memperbaiki posisi kerudungnya agar tak melilit ke
rantai motor. Sesuatu yang dapat membahayakan dirinya.
Saya lalu
tersenyum pada ibu itu, sambil mengucap “terima kasih.” Tapi bagai
pesawat tempur, beliau berlalu begitu saja, tanpa respon sedikitpun atas
penghargaan kami. Well, bagi yang tak memahami hal semacam ini, bisa
jadi akan hadir rasa ketersinggungan.
Tapi coba perhatikan dengan
seksama, ternyata sang ibu begitu cinta dan peduli. Jika mau, dirinya
bisa berlalu begitu saja, tanpa memperingatkan istri Saya akan bahaya
yang bakal menimpa. Tapi itu tak dilakukannya. Mengapa? Sebab ia
memiliki cinta dan kepedulian pada orang lain. Wanita itu tak ingin
istri Saya celaka oleh sebab kerudung yang masuk dan melilit di rantai
motor. Dari mana asal kepedulian ini? Tentu dari kebaikan, kepakaan, dan
kelembutan hati.
Itulah orang Buton. Kasar secara penampakan,
tapi memiliki kelembutan hati. Walau tentu saja, dalam kehidupan
sehari-hari, tidak selalu kita menemukan perlakuan semacam itu. Banyak
kok orang Buton, dalam konteks yang sama, ketika mengingatkan seseorang
akan suatu bahaya yang menimpa, ia bertutur secara bijak dan tak
membentak. Hanya saja, sekedar info, jika mengalami situasi serupa
dengan yang Saya dan istri alami, mohon jangan tersinggung. Sebab itu
watak melekat yang kadang muncul secara alami.
Waduh, panjang
kali ya pengantarnya. Padahal, Saya cuma mau bilang bahwa ketika Allah
SWT masih menegur kita, itu adalah wujud cinta-Nya pada seorang hamba.
Yang Maha Kuasa ingin agar manusia tetap berada di jalan lurus. Jalur
keberkahan yang menuntun ke Surga.
Sebab jika manusia tak lagi
ditegur, pun tiada lagi yang mengingatkan, atau dibiarkan begitu saja
masuk dan terus terjerembab dalam palung kemaksiatan, karena si hamba
telah menutup hati, penglihatan dan pendengarannya, maka bersiaplah,
sang hamba akan berangsur-angsur masuk dalam kebinasaan dalam cara yang
sama sekali tak dipahaminya. Itulah istidraj.
0 komentar:
Posting Komentar