![]() |
gambar: clipartmax.com |
Mesin perahu tiba-tiba mati di tengah lautan. Pulau Siompu bagian
barat yang kami tuju masih lebih dari separuh perjalanan lagi jaraknya.
Sementara pelabuhan keberangkatan sudah tak tampak oleh mata. Saat itu,
maju tak kuasa, kembalipun tak bisa. Gelombang lautlah yang kini mulai
menentukan arah perahu.
Saya menoleh ke arah buritan, tempat
nakhoda mengendalikan perahu. "Bisa diperbaiki Pak?", tanyaku. Lelaki
pemilik perahu tak segera menjawab. Tapi ekspresi pesimis tampak di
wajahnya. Tak lama kemudian ia melontarkan kekata yang tak seharusnya ia
ucapkan: "Saya tak bawa peralatan tuk perbaiki masin ini".
Astaghfirullah, "ini ujian", batinku. La Ode Mu'jizat mencoba tetap
tenang.
Selama masih ada harapan, sepanjang itupula kehidupan
tetap eksis. Orang bisa bertahan tak makan selama sebulan. Sanggup tiada
meneguk setetes air selama tiga hari. Tapi ketika seseorang kehilangan
harapan dalam hidupnya, maka pada detik itu sesungguhnya ia sudah
"mati". Hari itu di atas perahu, Saya yakin masalah kami akan ada jalan
keluarnya. Niat perjalanan kami ke Siompu adalah untuk kebaikan. Allah
pasti akan memberikan pertolongan.
Kuarahkan tatapan ke lautan
biru. Yang jaraknya begitu dekat. Jika menjulurkan tangan, bisa ku
sentuh permukaannya. Saya coba menjangkau dasarnya dengan pandanganku.
Tapi tak bisa, tiada tampak dasarnya. Hanya birunya yang menari di
pandangaku. "Ini sangat dalam", batinku. Sebab tiada riak. Kebalikan
dari pepatah itu: "air beriak tanda tak dalam". Ya, memang sih, perahu
yang kami tumpangi mengapung di antara Batauga dan Pulau Siompu. Jauh di
tengah laut dalam.
Saban hari Saya sering bercerita pada para
Sahabat tentang seorang pemuda yang menumpang sebuah kapal menuju
kampung halaman. Di tengah laut, kapalnya pecah, lalu tenggelam. Sang
pemuda mengapung di lautan dengan berpegang pada puing kapal. Ia
berhasil menjangkau pulau terdekat, terpencil, dan tiada berpenghuni. Di
situ dirinya mendirikan gubuk sederhana sekedar berlindung dari rintik
hujan dan terik mentari. Berhasil pula dirinya menyalakan api,
digunakannya memanggang hasil laut. Sang pemuda bertahan hidup, sambil
terus berupaya mencari pertolongan.
Pada suatu hari saat dirinya
sedang mencari pertolongan, ia lupa mematikan api yang menyala di depan
gubuknya. Api itu membesar dan menghanguskan tempat peristirahatannya.
Ia berlari menuju gubuk, berlutut dan meratap. "Kenapa?", teriaknya. Tak
berapa lama kemudian, tiba-tiba beberapa orang tiba di pulau itu. Sang
pemuda terkejut sekaligus gembira. "Siapa kalian, dan mengapa bisa
sampai di sini?", tanyanya. "Kami tim penolong, dari kejauhan kami
melihat ada asap membumbung ke angkasa. Kami pikir di sini ada yang
membutuhkan pertolongan. Maka kami segera menuju pulau ini", jawab
seorang dari mereka.
Walau situasinya tak separah yang dialami
oleh pemuda pada kisah di atas, setidaknya Saya akhirnya merasakan
suasana batin ketika seseorang terombang-ambing di tengah lautan dan
mengharap bantuan segera datang. Saya pula teringat akan hikmah dari
kisah sang pemuda. Bahwa dalam kehidupan ini, banyak hal yang kita tidak
tahu dari mana asalnya, bagaimana prosesnya, dan apa efeknya di masa
depan, tapi ia terjadi begitu saja. Akan tetapi ternyata ada hikmah yang
muncul dibalik setiap peristiwa.
"Mana tidak ada benang", keluh
pemilik perahu tiba-tiba. Istriku lalu menarik benang pada surban yang
mengalung di leherku. Diberikannya pada sang nakhoda. Entahlah, aku tak
tahu untuk apa benang itu, tapi ku lihat ada sedikit ekspresi optimis di
wajahnya. Tak lama kemudian, bapak itu mencoba menyalakan mesin. Tapi
gagal. Lalu minta benang lagi dan berusaha nyalakan. Ternyata
keberuntungan masih belum menghampiri. Mesin tak mau nyala.
Gelombang lautan mulai menggoyang perahu. Agak kuat dari sebelumnya.
Seolah menjadikan tumpangan kami sebagai mainan. Kini rasa mual mulai
hadir. Di buritan, kulihat pemilik perahu duduk menatap mesin yang tak
mau bekerja sama. Entah cara apa lagi yang bakal dilakukannya agar
perahu bisa segera bergerak.
Dalam situasi seperti itu, sebagai
penumpang kami butuh ekspresi tenang dan optimis dari sang nakhoda.
Seperti yang ku saksikan pada seorang pramugari di pesawat yang pernah
kutumpangi. Ketika pesawat berguncang, kami para penumpang saling
memandang satu sama lain. Ada rasa cemas dalam diri. Tapi sebab sang
pramugari tetap menunjukkan wajah tenang dan optimis, maka kamipun tak
panik. Alhamdulillah pesawat yang kami tumpangi selamat sampai tujuan.
Tapi, kata-kata yang harusnya di buang jauh itu akhirnya muncul juga.
"Seumur hidup Saya baru mengalami yang seperti ini", ucap sang nakhoda.
Ia menyerah. "What?", batinku. Alih-alih ia memberi harapan dan
optimisme pada penumpangnya, dirinya malah putus harapan. Lah bagaimana
dengan kondisi psikologis penumpang? (Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar